Jumat, Oktober 3, 2025
30 C
Indonesia
Beranda blog Halaman 2

Terbongkar! DJP Bisa Lacak Arus Uang Grup Usaha Lewat Pemeriksaan dan Buka Rekening

0
pemeriksaan pajak di wilayah tambang
pemeriksaan pajak di wilayah tambang

Banyak orang masih beranggapan bahwa jika mereka membagi usaha ke dalam beberapa entitas—baik berbentuk perorangan, CV, firma, maupun PT—maka arus keuangan mereka akan lebih sulit dilacak oleh pajak. Sayangnya, di era digital ini, anggapan itu sudah ketinggalan zaman.

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) kini memiliki kewenangan untuk melakukan pemeriksaan grup usaha dan bahkan menjalankan prosedur Buka Rekening. Artinya, perputaran uang tidak hanya dilihat dari satu perusahaan saja, tapi juga bisa ditelusuri antar entitas dalam satu kelompok usaha, bahkan sampai ke rekening pribadi pemiliknya.

Dasar Hukum Kewenangan DJP

  1. UU No. 6 Tahun 1983 tentang KUP (diubah terakhir dengan UU HPP) → memberi dasar pemeriksaan pajak.
  2. UU No. 9 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan → membuka akses rekening bank.
  3. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 15 Tahun 2025 → mengatur tata cara pemeriksaan pajak, termasuk pemeriksaan terintegrasi pada grup usaha.

Dengan dasar hukum ini, kerahasiaan bank tidak lagi mutlak dan bisa dibuka untuk kepentingan pajak.

Apa Itu Pemeriksaan Grup Usaha?

Pemeriksaan grup usaha adalah langkah DJP untuk melihat aktivitas keuangan tidak hanya pada satu entitas, tetapi secara menyeluruh. Pemeriksaan ini biasanya dilakukan ketika:

  • Ada indikasi perpindahan laba antar perusahaan (profit shifting).
  • Ada transaksi hubungan istimewa antar entitas (transfer pricing).
  • Ada dugaan pemilik usaha menyamarkan omzet dengan membagi transaksi ke beberapa perusahaan kecil.

📌 Jadi, jangan mengira dengan punya banyak PT atau CV lalu memecah omzet, otomatis pajaknya aman. DJP bisa menelusuri benang merahnya.

Prosedur Buka Rekening oleh DJP

Istilah “buka rekening” bukan berarti DJP membuka rekening baru, melainkan membuka data rekening bank wajib pajak untuk dilihat perputaran uangnya.

Prosesnya:

  1. DJP mengajukan permintaan resmi kepada bank berdasarkan dasar hukum.
  2. Bank wajib menyerahkan data saldo, mutasi, hingga transaksi tertentu.
  3. Data tersebut dianalisis oleh DJP untuk mencocokkan dengan laporan pajak wajib pajak.

Dengan mekanisme ini, DJP bisa mengetahui:

  • Adanya aliran dana antar perusahaan dalam satu grup.
  • Adanya pemasukan besar ke rekening pribadi pemilik yang tidak dilaporkan di SPT.
  • Adanya pola “split omzet” untuk menghindari batasan omzet tertentu (misalnya PP 23/2018 UMKM).

Contoh Kasus yang Sering Terjadi

Kasus 1: Pemilik Banyak PT

Seorang pengusaha memiliki 3 PT berbeda di bidang yang sama. Masing-masing melaporkan omzet di bawah Rp4,8 miliar agar tetap bisa pakai tarif UMKM. Tapi setelah DJP melakukan buka rekening, ternyata aliran dana masuk ke rekening pribadi sang pemilik mencapai puluhan miliar. Hasilnya: DJP melakukan koreksi dan menerbitkan tagihan pajak.

Kasus 2: Grup Usaha dengan Transfer Pricing

Sebuah grup usaha konstruksi melakukan transaksi antar perusahaan di bawah harga pasar untuk mengurangi laba salah satu entitas. Dengan buka rekening, DJP menemukan aliran pembayaran yang tidak sesuai laporan. Akhirnya, dilakukan pemeriksaan transfer pricing.

Risiko Jika Terbukti Menyembunyikan Omzet

  1. Koreksi Pajak → DJP akan menambahkan penghasilan yang tidak dilaporkan.
  2. Sanksi Administrasi → bunga dan denda hingga 200%.
  3. Pidana Pajak → jika ada indikasi penghindaran pajak secara sengaja.
  4. Lawan Transaksi Ikut Terseret → karena faktur pajak masukan mereka bisa dianggap tidak sah jika lawannya bermasalah.

Kenapa DJP Fokus ke Grup Usaha?

  • Banyak modus penghindaran pajak terjadi lewat pembagian usaha.
  • Keadilan pajak harus dijaga, agar yang patuh tidak dirugikan oleh yang bermain curang.
  • Potensi penerimaan besar karena grup usaha biasanya memiliki omzet signifikan.

Tips Agar Aman dari Pemeriksaan

  1. Laporkan seluruh omzet dengan benar → jangan pecah omzet hanya untuk cari tarif kecil.
  2. Pisahkan rekening usaha dan pribadi → agar mudah ditelusuri.
  3. Gunakan transfer pricing sesuai aturan (arm’s length principle) jika ada hubungan istimewa.
  4. Konsultasi dengan AR di KPP jika ada keraguan dalam pelaporan.

Kesimpulan

Era keterbukaan data membuat tidak ada lagi ruang aman untuk menyembunyikan omzet melalui grup usaha. DJP punya kewenangan memeriksa entitas per entitas, lalu menghubungkannya, bahkan sampai menelusuri rekening pemilik usaha.

👉 Jadi, daripada menunggu ketahuan lewat prosedur buka rekening, lebih baik sejak awal jujur dan patuh dalam melaporkan pajak. Ingat, membayar pajak yang benar bukan hanya kewajiban, tapi juga investasi ketenangan bisnis Anda.

Jangan Kaget! Jual Beli Tanah & Bangunan Kena PPh Final – Ini Aturannya Sesuai PP 34/2016

0
pph final jual beli tanah bangunan
pph final jual beli tanah bangunan

Banyak orang yang bermimpi punya rumah, apartemen, atau tanah sendiri. Tapi tahukah Anda bahwa setiap transaksi jual beli tanah dan/atau bangunan dikenakan pajak khusus berupa PPh Final? Pajak ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2016 yang kemudian dijabarkan lebih teknis melalui PMK-261/PMK.03/2016.

Bagi penjual maupun pembeli, memahami ketentuan ini penting agar tidak salah hitung dan tidak kaget saat berurusan di kantor notaris atau Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Artikel ini akan membahas secara lengkap mulai dari dasar hukum, siapa yang wajib bayar, tarif, pengecualian, hingga contoh perhitungan.

Apa Itu PPh Final Jual Beli Tanah & Bangunan?

PPh Final adalah pajak penghasilan yang dipotong langsung atas transaksi tertentu dan bersifat final alias tidak bisa dikreditkan di SPT Tahunan. Untuk jual beli tanah/bangunan, PPh Final dikenakan pada pihak yang menjual atau mengalihkan hak atas tanah dan/atau bangunan.

Dasar hukum:

  • PP 34 Tahun 2016 → mengatur tarif umum dan pengecualian.
  • PMK-261/PMK.03/2016 → mengatur tata cara pemotongan, penyetoran, dan pelaporan.

👉 Jadi, setiap kali ada akta jual beli tanah atau bangunan, penjual wajib melunasi PPh Final terlebih dahulu sebelum akta ditandatangani PPAT.

Siapa yang Wajib Membayar?

Pihak yang menjual atau mengalihkan hak atas tanah dan/atau bangunan. Termasuk:

  • Orang pribadi yang menjual rumah, ruko, atau tanah.
  • Badan usaha developer yang menjual rumah tapak, apartemen, atau kavling.
  • Badan usaha non-developer yang mengalihkan aset berupa tanah/bangunan.

📌 Catatan: Pembeli tidak dikenakan PPh Final, tapi wajib membayar BPHTB (Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan).

Tarif PPh Final Jual Beli Tanah & Bangunan

Berdasarkan PP 34 Tahun 2016, tarif PPh Final dibedakan:

  1. Tarif umum
    • 2,5% dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan.
  2. Tarif khusus untuk developer
    • Jika menjual rumah sederhana atau rumah susun sederhana → 1% dari jumlah bruto nilai pengalihan.
  3. Pengecualian (tidak dikenakan PPh Final):
    • Hibah kepada keluarga inti (dengan syarat tertentu).
    • Hibah ke badan keagamaan, pendidikan, sosial, dan yayasan.
    • Pengalihan hak untuk kepentingan negara.

Contoh Perhitungan PPh Final

Contoh 1: Penjualan Rumah Biasa

Pak Budi menjual rumah di Jakarta dengan harga Rp1 miliar. Karena bukan rumah sederhana, maka tarifnya 2,5%.

  • PPh Final = 2,5% × Rp1.000.000.000 = Rp25.000.000

👉 Pak Budi harus membayar Rp25 juta sebelum akta jual beli bisa ditandatangani PPAT.

Contoh 2: Penjualan Rumah Sederhana oleh Developer

PT Sejahtera menjual rumah subsidi sederhana seharga Rp200 juta. Tarif khusus berlaku yaitu 1%.

  • PPh Final = 1% × Rp200.000.000 = Rp2.000.000

👉 Developer cukup menyetor Rp2 juta untuk transaksi ini.

Contoh 3: Hibah Tanah untuk Anak

Pak Andi menghibahkan sebidang tanah kepada anak kandungnya. Karena hibah kepada keluarga inti dikecualikan, maka tidak dikenakan PPh Final.

Tata Cara Pembayaran & Pelaporan

1. Penyetoran Pajak

  • Penjual membuat kode billing melalui e-Billing Coretax dengan KAP 411128 (PPh Final) dan KJS 402 (jual beli tanah/bangunan).
  • Setor ke bank persepsi atau kanal pembayaran online (Mobile Banking, Internet Banking).

2. Bukti Setor

  • Bukti setor (SSP/SSPB elektronik) harus diserahkan ke PPAT dan dilakukan divalidasi PHTB.

3. Pelaporan

  • PPh Final ini dilaporkan dalam SPT Masa PPh Final.
  • Juga tetap dicantumkan di SPT Tahunan PPh sebagai penghasilan final.

Risiko Jika Tidak Membayar PPh Final

  1. Akta tidak bisa ditandatangani PPAT karena bukti setor wajib dilampirkan.
  2. Sanksi administrasi berupa bunga/denda jika terlambat setor.
  3. Potensi pemeriksaan pajak jika ditemukan pengalihan hak tanpa pembayaran PPh Final.

Kelebihan Aturan PP 34/2016 dan PMK-261/2016

  • Kepastian hukum → jelas siapa wajib bayar dan berapa tarifnya.
  • Tarif lebih ringan untuk rumah sederhana → mendukung program pemerintah menyediakan hunian murah.
  • Ada pengecualian tertentu → misalnya untuk hibah keluarga inti atau untuk kepentingan sosial.

Tips Agar Lancar dalam Transaksi Jual Beli Tanah/Bangunan

  • Siapkan dana PPh Final sejak awal agar tidak menghambat proses di PPAT.
  • Periksa status tanah/bangunan apakah masuk kategori rumah sederhana atau tidak.
  • Gunakan notaris/PPAT terpercaya untuk memastikan administrasi pajak dan legalitas terpenuhi.
  • Konsultasi ke Account Representative (AR) di KPP jika ada keraguan.

Kesimpulan

Jual beli tanah dan/atau bangunan memang selalu jadi urusan besar dalam hidup banyak orang. Namun, jangan sampai lupa bahwa ada kewajiban PPh Final yang harus dibayar. Sesuai PP 34 Tahun 2016 dan PMK-261/PMK.03/2016, penjual wajib menyetor PPh Final sebesar 2,5% dari nilai transaksi, atau 1% jika menjual rumah sederhana.

Dengan memahami aturan ini, penjual tidak akan kaget, pembeli pun tenang karena proses di PPAT lancar.

Tarif PPh Final Jasa Konstruksi: Perbandingan Lama vs Baru (PP No. 9 Tahun 2022)

0
pph jasa konstruksi dan tarifnya
pph jasa konstruksi dan tarifnya

Bagi para pelaku usaha di bidang jasa konstruksi, memahami aturan perpajakan adalah hal wajib. Salah satu yang sering menimbulkan pertanyaan adalah mengenai tarif PPh Final atas jasa konstruksi.

Sebelum tahun 2022, tarif jasa konstruksi diatur dalam PP No. 51 Tahun 2008 jo. PP No. 40 Tahun 2009. Namun, sejak diberlakukannya PP No. 9 Tahun 2022, tarif ini mengalami perubahan signifikan.

Artikel ini akan membandingkan tarif lama dengan tarif baru, sehingga pelaku usaha bisa lebih mudah menentukan besaran pajak yang harus dipotong atau disetor.

Dasar Hukum

  • PP No. 51 Tahun 2008 jo. PP No. 40 Tahun 2009 (aturan lama).
  • PP No. 9 Tahun 2022 (aturan terbaru).

1. Tarif Lama (PP 51/2008 jo. PP 40/2009)

Jasa Pelaksana Konstruksi

  • 2% → untuk kualifikasi usaha kecil.
  • 3% → untuk kualifikasi usaha menengah/besar.
  • 4% → untuk usaha tidak memiliki sertifikat.

Jasa Perencana/Pengawas Konstruksi

  • 4% → dengan sertifikat.
  • 6% → tanpa sertifikat.

2. Tarif Baru (PP No. 9 Tahun 2022)

Jasa Pelaksana Konstruksi

  • 1,75% → untuk penyedia jasa dengan kualifikasi kecil.
  • 2,65% → untuk penyedia jasa dengan kualifikasi menengah/besar, atau tidak berkualifikasi tapi memiliki sertifikat badan usaha (SBU).
  • 4% → untuk penyedia jasa tanpa SBU.

Jasa Perencana/Pengawas Konstruksi

  • 3,5% → dengan sertifikat badan usaha.
  • 6% → tanpa sertifikat badan usaha.

3. Tabel Perbandingan Tarif Lama vs Tarif Baru

Jenis JasaTarif Lama (PP 51/2008 jo. PP 40/2009)Tarif Baru (PP 9/2022)
Pelaksana Konstruksi – Kualifikasi Kecil2%1,75%
Pelaksana Konstruksi – Menengah/Besar3%2,65%
Pelaksana Konstruksi – Tanpa Sertifikat4%4%
Perencana/Pengawas – Bersertifikat4%3,5%
Perencana/Pengawas – Tanpa Sertifikat6%6%

4. Analisis Perubahan

Dari tabel di atas, terlihat beberapa perubahan penting:

  1. Lebih ringan untuk usaha kecil → dari 2% turun jadi 1,75%.
  2. Lebih ringan untuk menengah/besar → dari 3% turun jadi 2,65%.
  3. Tidak berubah untuk tanpa sertifikat → tetap 4% (pelaksana) dan 6% (perencana/pengawas).
  4. Lebih ringan untuk perencana/pengawas bersertifikat → dari 4% turun jadi 3,5%.

👉 Artinya, pemerintah memberi insentif lebih bagi pelaku usaha jasa konstruksi yang memiliki sertifikat badan usaha (SBU), sekaligus mendorong formalitas dan kepatuhan di sektor konstruksi.

5. Contoh Kasus Perhitungan

Kasus A: Kontraktor Kecil Bersertifikat

PT Maju Jaya mendapat proyek Rp2 miliar sebagai kontraktor kecil.

  • Tarif lama: 2% × Rp2 miliar = Rp40 juta.
  • Tarif baru: 1,75% × Rp2 miliar = Rp35 juta.
    👉 Selisih hemat Rp5 juta.

Kasus B: Kontraktor Besar Bersertifikat

PT Karya Utama mendapat proyek Rp10 miliar.

  • Tarif lama: 3% × Rp10 miliar = Rp300 juta.
  • Tarif baru: 2,65% × Rp10 miliar = Rp265 juta.
    👉 Selisih hemat Rp35 juta.

6. Implikasi Bagi Wajib Pajak

  • Lebih ringan bagi yang patuh → tarif lebih rendah berlaku bagi yang memiliki sertifikat.
  • Mendorong sertifikasi → perusahaan tanpa SBU tetap kena tarif lebih tinggi.
  • Mengurangi beban UMKM konstruksi → kontraktor kecil kini lebih ringan beban pajaknya.

Penutup

Perubahan tarif jasa konstruksi melalui PP No. 9 Tahun 2022 adalah langkah positif untuk menciptakan iklim usaha konstruksi yang lebih sehat. Tarif baru ini lebih rendah bagi usaha kecil dan perusahaan bersertifikat, sehingga memberi insentif bagi pelaku usaha yang tertib administrasi.

Bagi pelaku jasa konstruksi, kuncinya ada pada kepemilikan sertifikat badan usaha (SBU). Selain meningkatkan kredibilitas, sertifikat ini juga memberi keuntungan nyata berupa tarif pajak yang lebih rendah.

👉 Jadi, pastikan perusahaan Anda sudah mengurus sertifikasi yang diperlukan, agar bisa menikmati tarif PPh Final yang lebih ringan sesuai aturan terbaru.

Terlanjur Dipotong PPh 2%? Padahal UMKM Cuma Wajib Bayar 0,5% Final! Ini Solusinya

0
bukti potong umkm
bukti potong umkm

Pendahuluan

Banyak pelaku UMKM pernah mengalami hal yang bikin kaget: saat bertransaksi dengan perusahaan besar atau instansi, tiba-tiba pembayaran mereka dipotong PPh 23 sebesar 2%. Padahal omzet usaha mereka masih di bawah Rp4,8 miliar setahun, dan seharusnya hanya dikenakan PPh Final UMKM 0,5% sesuai PP 23/2018 yang kini dilanjutkan dengan PP 55/2022.

Lalu muncul pertanyaan:
👉 “Bagaimana kalau sudah terlanjur dipotong 2%? Apa uangnya bisa kembali? Harus lapor apa?”

Mari kita bahas satu per satu, supaya Anda sebagai pelaku UMKM tidak lagi bingung.

Kenapa Bisa Terjadi Pemotongan 2%?

Ada beberapa alasan umum kenapa UMKM terlanjur dipotong 2%:

  1. Tidak Punya Surat Keterangan (SK) UMKM PP 23/PP 55
    • Tanpa SK, lawan transaksi (pemotong) tidak tahu Anda berhak atas tarif final 0,5%.
    • Akibatnya, mereka menggunakan aturan umum: memotong PPh Pasal 23 sebesar 2% atas jasa atau sewa.
  2. Kurangnya Pemahaman Lawan Transaksi
    • Kadang, pihak pemotong tidak update soal aturan UMKM. Jadi mereka main aman dengan potongan PPh 23.
  3. Salah Komunikasi atau Administrasi
    • Misalnya Anda sudah punya SK UMKM, tapi tidak memberikannya ke bagian pajak lawan transaksi.

Apa Perbedaan PPh 23 dan PPh Final UMKM?

  • PPh Final UMKM (0,5%) → bersifat final, cukup sekali setor, tidak bisa dikreditkan. Berlaku untuk omzet UMKM maksimal Rp4,8 miliar setahun.
  • PPh 23 (2%) → bukan final, artinya potongan ini bisa dikreditkan saat Anda menghitung PPh Tahunan (baik orang pribadi maupun badan).

📌 Jadi, kalau UMKM terlanjur dipotong PPh 23, sebenarnya uangnya tidak hilang. Potongan ini bisa digunakan sebagai kredit pajak di SPT Tahunan.

Perlakuan Jika Terlanjur Dipotong 2%

1. Pastikan Anda Punya SK UMKM

  • Jika belum punya, segera urus Surat Keterangan (SK) PP 23/PP 55 di KPP atau melalui DJP Online/Coretax.
  • SK ini jadi bukti bahwa seharusnya Anda dikenakan tarif final 0,5%, bukan dipotong 2%.

2. Komunikasi dengan Lawan Transaksi

  • Tunjukkan SK UMKM kepada lawan transaksi agar ke depan mereka tidak lagi memotong 2%.
  • Ingat, pemotong pajak tidak bisa seenaknya mengembalikan potongan yang sudah disetor. Jadi solusi ke depan adalah mencegah salah potong lagi.

3. Perlakuan Pajak untuk Potongan 2% yang Sudah Terjadi

  • Jika sudah dipotong PPh 23, potongan itu bisa diperlakukan sebagai kredit pajak di SPT Tahunan.
  • Caranya:
    • Lampirkan bukti potong PPh 23 dari lawan transaksi.
    • Saat isi SPT Tahunan, masukkan bukti potong tersebut.
    • Potongan itu mengurangi kewajiban PPh Tahunan Anda.

📌 Artinya: meskipun seharusnya cukup bayar 0,5% final, jika terlanjur dipotong 2%, maka uang itu tetap berguna untuk mengurangi kewajiban pajak di laporan tahunan.

4. Klaim Restitusi Jika Terjadi Lebih Bayar

  • Jika potongan 2% membuat posisi Anda lebih bayar (misalnya omzet kecil, tapi potongan besar), maka Anda bisa ajukan restitusi (pengembalian kelebihan pajak).
  • Proses ini butuh waktu dan pemeriksaan dari DJP, tapi secara hukum Anda berhak.

Contoh Kasus Nyata

Kasus 1: UMKM tanpa SK

  • Omzet tahun 2024 = Rp600 juta.
  • Seharusnya: Bebas pajak Rp500 juta, sisanya Rp100 juta kena 0,5% = Rp500 ribu.
  • Tapi karena tidak punya SK, lawan transaksi potong PPh 23 sebesar Rp12 juta.

Perlakuan:

  • Rp12 juta dianggap kredit pajak di SPT Tahunan.
  • Hasilnya, posisi pajak bisa nihil atau lebih bayar.

Kasus 2: UMKM dengan SK (tapi tidak ditunjukkan)

  • Omzet Rp1 miliar.
  • Seharusnya: PPh Final 0,5% × (Rp1 miliar – Rp500 juta) = Rp2,5 juta.
  • Tapi lawan transaksi potong PPh 23 sebesar Rp20 juta.

Perlakuan:

  • Rp20 juta jadi kredit pajak di SPT Tahunan.
  • Jika lebih besar dari kewajiban, bisa diajukan restitusi.

Tips Agar Tidak Salah Potong Lagi

  1. Urus SK UMKM Secepatnya → ini senjata utama Anda.
  2. Selalu berikan SK kepada lawan transaksi sebelum kontrak atau pembayaran.
  3. Gunakan kalkulator pajak UMKM di https://kalkulator.konsulpajak.com untuk tahu persis berapa pajak Anda.
  4. Konsultasikan ke Account Representative (AR) di KPP jika ada potongan yang tidak sesuai.

Penutup

Terlanjur dipotong PPh 23 sebesar 2% padahal Anda seharusnya hanya kena PPh Final UMKM 0,5% memang bikin jengkel. Tapi tenang, uang itu tidak hilang. Potongan tersebut bisa jadi kredit pajak di SPT Tahunan atau bahkan diajukan restitusi kalau posisinya lebih bayar.

Agar hal ini tidak berulang, kuncinya ada dua:

  1. Segera urus SK UMKM PP 23/PP 55.
  2. Komunikasikan SK kepada lawan transaksi.

Dengan begitu, Anda bisa fokus mengembangkan bisnis tanpa was-was soal pajak. Dan jangan lupa, manfaatkan kalkulator pajak UMKM di https://kalkulator.konsulpajak.com supaya perhitungan pajak jadi lebih mudah, akurat, dan bebas pusing.

Hati-Hati! DJP Bisa Mengintip Rekening Anda Jika Tidak Lapor Pajak

0
buka rekening pemeriksaan pajak
buka rekening pemeriksaan pajak

Pernahkah Anda mendengar istilah “pajak itu self-assessment”? Artinya, negara memberi kepercayaan penuh kepada kita sebagai wajib pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan sendiri pajak yang terutang. Namun, jangan salah sangka—meskipun sistemnya berbasis kepercayaan, bukan berarti Direktorat Jenderal Pajak (DJP) tutup mata.

Faktanya, DJP punya kewenangan luas untuk mengakses data keuangan, termasuk rekening bank, dan bahkan melakukan pemeriksaan jika ditemukan kejanggalan. Jadi, kalau ada wajib pajak yang sengaja tidak melaporkan kegiatan usahanya, jangan kaget kalau suatu hari mendapat “surat cinta” dari DJP.

Dasar Hukum DJP Mengintip Rekening

Kewenangan ini bukan tiba-tiba muncul, melainkan sudah diatur secara jelas:

  1. UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) – memberi dasar pemeriksaan pajak.
  2. UU No. 9 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan – mengatur keterbukaan data rekening bank.
  3. Peraturan OJK dan Bank Indonesia – mendukung pelaksanaan keterbukaan informasi keuangan.

Dengan regulasi ini, kerahasiaan bank tidak lagi menjadi alasan untuk menutup informasi dari otoritas pajak.

Bagaimana DJP Bisa Mengetahui Aktivitas Keuangan Anda?

Banyak wajib pajak yang masih berpikir, “Kalau saya tidak lapor, siapa yang tahu?” Padahal, DJP memiliki beragam sumber data untuk mendeteksi aktivitas usaha dan keuangan Anda:

  1. Data Perbankan
    • Saldo rekening, mutasi, bahkan transaksi besar bisa dipantau.
    • Jika ada aliran dana besar tapi SPT nihil, DJP bisa curiga.
  2. Data dari Pihak Ketiga
    • Laporan pembelian rumah, kendaraan, dan harta berharga lainnya.
    • Data dari notaris, dealer mobil, hingga PPAT.
  3. Data Transaksi Pajak
    • Faktur pajak elektronik (e-Faktur).
    • Bukti potong PPh Pasal 21, 23, dan lainnya.
  4. Automatic Exchange of Information (AEoI)
    • DJP bisa menerima data rekening dari luar negeri.

Dengan kata lain, menyembunyikan kegiatan usaha sudah bukan strategi yang aman.

Apa yang Terjadi Jika Tidak Lapor Kegiatan Usaha?

Kalau wajib pajak tidak melaporkan kegiatan usaha, DJP bisa melakukan langkah-langkah berikut:

1. Penerbitan SP2DK

Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan (SP2DK) adalah teguran halus. DJP akan menanyakan kenapa ada transaksi di rekening tapi tidak ada laporan di SPT.

2. Pemeriksaan Pajak

Jika penjelasan tidak memuaskan, DJP dapat langsung melakukan pemeriksaan. Pemeriksaan ini sifatnya mendalam, mencakup laporan keuangan, rekening, kontrak bisnis, hingga bukti transaksi.

3. Koreksi dan Sanksi

Kalau terbukti ada penghasilan yang tidak dilaporkan, DJP akan menerbitkan SKPKB (Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar) ditambah sanksi bunga hingga denda.

4. Potensi Pidana Pajak

Dalam kasus berat, misalnya ada unsur kesengajaan menggelapkan pajak, bisa masuk ke ranah pidana pajak dengan ancaman kurungan.

Contoh Kasus Nyata

  • Kasus 1: Seorang pengusaha online shop tidak pernah melaporkan omzet. Namun, mutasi rekening menunjukkan perputaran uang miliaran rupiah. DJP menerbitkan SP2DK dan akhirnya dilakukan pemeriksaan.
  • Kasus 2: Seorang profesional (dokter/advokat) hanya melaporkan sebagian penghasilan. Setelah dicocokkan dengan data bukti potong dari klien, ditemukan selisih besar. Akhirnya harus bayar kekurangan pajak beserta denda.

Kenapa DJP Harus Sampai Mengintip Rekening?

Langkah ini bukan berarti negara ingin ikut campur urusan pribadi Anda. Tujuannya jelas:

  • Menjaga keadilan pajak → jangan sampai yang patuh merasa dirugikan karena ada yang mangkir.
  • Meningkatkan penerimaan negara → pajak adalah sumber utama APBN.
  • Menutup celah penghindaran pajak → terutama dari sektor informal atau usaha digital.

Tips Agar Aman dari Pemeriksaan

  1. Selalu laporkan penghasilan dengan benar → sekecil apapun omzet usaha Anda, sebaiknya dicatat.
  2. Pisahkan rekening usaha dan pribadi → agar lebih mudah membedakan transaksi bisnis.
  3. Gunakan pembukuan sederhana atau aplikasi keuangan → tidak perlu rumit, yang penting rapi.
  4. Konsultasi dengan AR (Account Representative) di KPP → jika ragu dalam pelaporan.

Kesimpulan

Di era keterbukaan data, mustahil lagi menyembunyikan kegiatan usaha dari DJP. Dengan akses ke rekening bank dan berbagai sumber data lain, DJP bisa mengetahui aktivitas keuangan Anda bahkan sebelum Anda melaporkannya.

👉 Jadi, daripada menunggu “surat cinta” atau pemeriksaan pajak, lebih baik jujur sejak awal. Ingat, lapor pajak bukan sekadar kewajiban, tapi juga investasi ketenangan dalam berusaha.

Kena Sanksi Pajak? Begini Cara Resmi Mengajukan Penghapusan Sanksi Administrasi Sesuai Pasal 36 KUP!

0
penghapusan sanksi pajak
penghapusan sanksi pajak

Bayangkan Anda sudah sibuk mengurus bisnis, tiba-tiba mendapat surat cinta dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP) berisi sanksi administrasi. Bentuknya bisa macam-macam: bunga karena telat setor, denda karena telat lapor, atau bahkan kena kenaikan pajak karena pembetulan.

Banyak wajib pajak langsung panik:
👉 “Waduh, harus bayar semua ya? Nggak bisa dihapus gitu?”

Kabar baiknya, UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), khususnya Pasal 36, memberikan jalan keluar berupa permohonan penghapusan atau pengurangan sanksi administrasi. Artinya, sanksi itu tidak selalu final, tapi bisa diajukan permohonan untuk dihapus atau dikurangi, dengan syarat tertentu.

Apa Itu Sanksi Administrasi Pajak?

Sanksi administrasi adalah hukuman finansial yang dikenakan kepada wajib pajak karena tidak patuh pada ketentuan perpajakan.

Beberapa bentuk sanksi administrasi antara lain:

  1. Denda – misalnya telat lapor SPT Masa PPN → denda Rp500 ribu.
  2. Bunga – misalnya telat setor PPh → kena bunga per bulan sesuai tarif bunga Kemenkeu.
  3. Kenaikan – misalnya ada SKPKB (Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar) → pajak ditambah sanksi 50% atau bahkan 100%.

Bagi UMKM maupun perusahaan besar, sanksi ini bisa sangat memberatkan.

Dasar Hukum Pasal 36 UU KUP

Menurut Pasal 36 ayat (1) huruf a UU KUP, Direktur Jenderal Pajak dapat mengurangkan atau menghapus sanksi administrasi berupa bunga, denda, atau kenaikan pajak.

Namun, ada syaratnya:

  • Penghapusan sanksi diajukan oleh wajib pajak melalui permohonan tertulis.
  • Wajib pajak harus bisa membuktikan bahwa sanksi tersebut timbul bukan karena kesalahan wajib pajak.

📌 Artinya: kalau Anda memang lalai (misalnya sengaja tidak lapor SPT), peluang penghapusan kecil. Tapi kalau ada alasan kuat, misalnya sistem error atau force majeure, maka permohonan bisa dikabulkan.

Kapan Bisa Mengajukan Penghapusan Sanksi?

Beberapa situasi di mana wajib pajak bisa mengajukan penghapusan sanksi administrasi:

  1. Kesalahan bukan dari wajib pajak
    Misalnya gagal setor karena sistem bank atau server DJP error.
  2. Keterlambatan akibat force majeure
    Seperti bencana alam, kebakaran, atau kondisi darurat lain.
  3. Keterlambatan akibat peraturan yang belum jelas
    Kadang ada aturan baru, tapi sosialisasi terlambat sehingga banyak wajib pajak tidak tahu.
  4. Koreksi karena pembetulan SPT
    Jika wajib pajak membetulkan SPT dengan itikad baik, bisa mengajukan permohonan penghapusan bunga.

Cara Mengajukan Penghapusan Sanksi Administrasi

1. Buat Surat Permohonan

  • Ditujukan kepada Kepala KPP tempat wajib pajak terdaftar.
  • Isi surat harus menjelaskan: identitas wajib pajak, jenis pajak, masa pajak, dan alasan permohonan penghapusan sanksi.

2. Sertakan Dokumen Pendukung

Contohnya:

  • Bukti gangguan sistem bank atau DJP.
  • Bukti force majeure (laporan bencana, surat keterangan pihak berwenang).
  • Bukti pembayaran pokok pajak (jika sudah dibayar).

3. Ajukan ke KPP

  • Permohonan bisa diajukan langsung ke KPP atau melalui layanan elektronik.
  • DJP akan memproses dan memberikan keputusan: diterima atau ditolak.

4. Tunggu Keputusan

  • Jika diterima, sanksi administrasi bisa dihapus sebagian atau seluruhnya.
  • Jika ditolak, wajib pajak tetap harus membayar sanksi tersebut.

Contoh Kasus Nyata

Misalnya seorang pengusaha UMKM telat lapor SPT Masa PPN bulan Januari karena server DJP error. Akibatnya kena denda Rp500 ribu.

  • Pengusaha tersebut mengajukan permohonan ke KPP dengan melampirkan bukti error sistem dari DJP.
  • Hasilnya, Kepala KPP menerbitkan surat keputusan yang menghapus denda Rp500 ribu karena kesalahan bukan di pihak wajib pajak.

Tips Agar Permohonan Dikabulkan

  1. Sampaikan alasan yang jelas dan masuk akal. Jangan asal mengaku lupa atau sibuk.
  2. Lengkapi dengan bukti pendukung. Semakin lengkap dokumen, semakin besar peluang diterima.
  3. Segera ajukan permohonan setelah sanksi muncul, jangan ditunda terlalu lama.
  4. Gunakan bahasa sopan dan profesional dalam surat permohonan.

Risiko Jika Tidak Mengajukan

Kalau sanksi administrasi tidak diajukan penghapusan, maka:

  • Wajib pajak tetap harus membayar penuh.
  • Jika tidak dibayar, bisa diterbitkan Surat Paksa.
  • Pada akhirnya, risiko lebih besar karena bisa masuk ke ranah penagihan aktif.

Penutup

Sanksi administrasi memang menakutkan, tapi bukan berarti tidak ada jalan keluar. Pasal 36 UU KUP memberikan kesempatan kepada wajib pajak untuk mengajukan penghapusan atau pengurangan sanksi administrasi, terutama jika sanksi itu timbul bukan karena kesalahan wajib pajak.

Langkah penting yang perlu Anda lakukan adalah:

  1. Segera ajukan permohonan ke KPP.
  2. Lengkapi bukti pendukung.
  3. Bangun komunikasi baik dengan Account Representative (AR) di KPP.

Dengan strategi ini, Anda bisa meringankan beban sanksi, menjaga cash flow bisnis, dan tetap patuh pajak dengan nyaman.

Amortisasi Harta Tidak Berwujud: Panduan Lengkap untuk Wajib Pajak Agar Tak Bingung Lagi

0
amortisasi harta tidak berwujud
amortisasi harta tidak berwujud

Kalau kita bicara soal aset, biasanya langsung terbayang gedung, mesin, atau kendaraan. Itu benar, tapi jangan lupa ada juga aset yang tidak bisa dilihat atau disentuh secara fisik, namun punya nilai ekonomis besar. Inilah yang disebut harta tidak berwujud (intangible assets).

Dalam dunia pajak, harta tidak berwujud juga punya perlakuan khusus: bukan disusutkan, tapi diamortisasi. Nah, banyak wajib pajak yang sering bingung: apa saja yang masuk harta tidak berwujud, bagaimana cara menghitung amortisasi, dan aturan apa yang jadi dasarnya?

Artikel ini akan mengupas tuntas dengan bahasa yang sederhana agar lebih mudah dipahami.

Dasar Hukum Amortisasi Harta Tidak Berwujud

Amortisasi diatur dalam beberapa ketentuan utama:

  1. Pasal 11 dan Pasal 11A UU Nomor 36 Tahun 2008 (UU PPh) – perubahan keempat atas UU Nomor 7 Tahun 1983.
  2. PMK-248/PMK.03/2008 – tentang amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh harta tidak berwujud dan pengeluaran lainnya untuk bidang usaha tertentu.

Dari aturan ini, jelas bahwa setiap pengeluaran untuk memperoleh harta tidak berwujud yang masa manfaatnya lebih dari satu tahun, harus diamortisasi.

Apa Saja Harta Tidak Berwujud?

Beberapa contoh yang sering ditemui:

  • Hak atas tanah → seperti Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Pakai.
  • Goodwill atau muhibah → nilai lebih dari suatu usaha karena reputasi atau faktor non-fisik lainnya.
  • Hak paten, lisensi, merek dagang, dan hak cipta.
  • Biaya perpanjangan hak → misalnya perpanjangan HGB atau HGU.
  • Biaya pendirian atau perluasan usaha.

📌 Catatan: biaya perolehan hak atas tanah pertama kali tidak boleh disusutkan, tetapi biaya perpanjangannya boleh diamortisasi sesuai jangka waktu hak.

Kapan Amortisasi Dimulai?

  • Secara umum → amortisasi dimulai pada bulan terjadinya pengeluaran.
  • Untuk bidang usaha tertentu (PMK-248/2008) → bisa dimulai pada bulan pengeluaran atau saat produksi komersial (misalnya sektor kehutanan, perkebunan tanaman keras, atau peternakan yang butuh waktu lama sebelum berproduksi).

Metode Amortisasi

Ada dua metode yang diperbolehkan:

  1. Metode Garis Lurus (Straight Line)
    • Beban amortisasi sama setiap tahun.
    • Cocok untuk harta yang manfaatnya stabil.
  2. Metode Saldo Menurun (Declining Balance)
    • Beban amortisasi lebih besar di awal, semakin kecil di tahun berikutnya.
    • Pada akhir masa manfaat, sisa nilai buku diamortisasi sekaligus.

Masa Manfaat dan Tarif Amortisasi

Mengacu pada Pasal 11A UU PPh, harta tidak berwujud dibagi dalam 4 kelompok masa manfaat:

KelompokMasa ManfaatTarif Garis LurusTarif Saldo MenurunContoh
14 tahun25%50%Lisensi software, hak cipta jangka pendek
28 tahun12,5%25%Hak paten, merek dagang
316 tahun6,25%12,5%Goodwill, hak franchise jangka panjang
420 tahun5%10%Hak pengelolaan aset besar, kontrak jangka panjang

Jika masa manfaat sebenarnya tidak tercantum, wajib pajak bisa memilih masa manfaat yang paling mendekati.

Contoh Penghitungan Amortisasi

Contoh 1: Metode Garis Lurus

Perusahaan membeli lisensi software seharga Rp400 juta dengan masa manfaat 4 tahun.

  • Beban amortisasi per tahun = Rp400 juta ÷ 4 = Rp100 juta.

Contoh 2: Metode Saldo Menurun

Perusahaan memperoleh hak paten Rp800 juta dengan masa manfaat 8 tahun (tarif saldo menurun 25%).

  • Tahun 1: 25% × Rp800 juta = Rp200 juta.
  • Tahun 2: 25% × Rp600 juta = Rp150 juta.
  • Tahun 3: 25% × Rp450 juta = Rp112,5 juta.
  • Dan seterusnya sampai habis.

Amortisasi di Sektor Khusus

  1. Pertambangan Migas → pakai metode satuan produksi, dihitung berdasarkan rasio produksi aktual terhadap cadangan total.
  2. Pertambangan Non-Migas, HPH, dan sumber daya alam lain → pakai metode satuan produksi maksimal 20% per tahun.
  3. Pengeluaran sebelum operasi komersial → misalnya studi kelayakan, dikapitalisasi lalu diamortisasi sesuai Pasal 11A.

Pengalihan Harta Tidak Berwujud

Jika harta tidak berwujud dialihkan:

  • Nilai sisa bukunya dibebankan sebagai kerugian.
  • Jumlah penggantian yang diterima menjadi penghasilan.
  • Kecuali jika pengalihan berupa hibah, sumbangan, atau warisan (Pasal 4 ayat 3 UU PPh).

Kenapa Amortisasi Penting?

  1. Mengurangi beban pajak → amortisasi adalah biaya fiskal yang boleh dikurangkan.
  2. Mencerminkan kondisi usaha yang sebenarnya → nilai harta tidak berwujud lebih realistis.
  3. Menghindari risiko koreksi pajak → jika salah hitung, bisa jadi temuan saat pemeriksaan DJP.

Solusi Praktis: Kalkulator Pajak Amortisasi

Bagi Anda yang tidak mau pusing menghitung manual, kini sudah ada fitur kalkulator pajak di https://kalkulator.konsulpajak.com.

Dengan kalkulator ini, Anda bisa:

  • Menghitung amortisasi garis lurus maupun saldo menurun.
  • Memilih masa manfaat sesuai kelompok.
  • Mendapat hasil perhitungan otomatis yang akurat.

Cukup input nilai harta tidak berwujud dan masa manfaat → hasil amortisasi langsung keluar.

Penutup

Amortisasi harta tidak berwujud adalah bagian penting dalam laporan pajak. Aturan mainnya jelas diatur dalam Pasal 11 dan 11A UU PPh serta PMK-248/2008. Dengan memahami kelompok masa manfaat, metode amortisasi, dan cara perhitungannya, wajib pajak bisa mengoptimalkan laporan keuangan sekaligus meminimalkan risiko pajak.

Jangan lupa, gunakan alat bantu seperti kalkulator pajak amortisasi agar perhitungan lebih cepat, akurat, dan sesuai aturan.

Ingat, pajak bukan sekadar kewajiban, tapi juga bentuk kontribusi kita untuk membangun negeri.

Mengulik Metode Penyusutan Fiskal: Garis Lurus vs Saldo Menurun Sesuai Pasal 11 UU PPh

0
jenis metode penyusutan
jenis metode penyusutan

Setiap aset berwujud yang digunakan dalam bisnis — entah itu mesin produksi, kendaraan, komputer, atau gedung — pasti mengalami penurunan nilai seiring waktu. Dalam dunia perpajakan, penurunan nilai ini disebut penyusutan.

Nah, kabar baiknya, biaya penyusutan boleh dikurangkan dari penghasilan bruto sebagai beban, sehingga mengurangi penghasilan kena pajak. Tapi, tidak bisa sembarangan. Wajib Pajak harus mengikuti aturan main sesuai Pasal 11 UU Nomor 36 Tahun 2008 (UU PPh).

Dalam pasal tersebut ditegaskan, ada dua metode penyusutan fiskal yang diperbolehkan:

  1. Metode Garis Lurus (Straight Line)
  2. Metode Saldo Menurun (Declining Balance)

Mari kita bahas satu per satu dengan bahasa yang sederhana dan contoh hitungan nyata.

Dasar Hukum Penyusutan Fiskal

Pasal 11 ayat (1) dan (2) UU Nomor 36 Tahun 2008 menyebutkan:

  • Ayat (1): Harta berwujud yang dimiliki dan digunakan dalam usaha, dengan masa manfaat lebih dari 1 tahun, disusutkan selama masa manfaatnya dengan metode garis lurus atau saldo menurun.
  • Ayat (2): Untuk harta berwujud berupa bangunan, penyusutan hanya dilakukan dengan metode garis lurus.

Artinya, Wajib Pajak punya fleksibilitas memilih metode penyusutan untuk aset selain bangunan, tapi untuk bangunan wajib pakai garis lurus.

1. Metode Garis Lurus (Straight Line Method)

Metode ini membagi biaya penyusutan sama besar tiap tahun selama masa manfaat aset. Cocok untuk aset yang pemakaiannya relatif stabil.

Rumus:

Biaya Penyusutan per Tahun = Harga Perolehan ÷ Masa Manfaat

Contoh Kasus:

Sebuah perusahaan membeli mesin produksi seharga Rp800 juta dengan masa manfaat 8 tahun (Kelompok 2).

  • Biaya penyusutan per tahun = Rp800 juta ÷ 8 = Rp100 juta per tahun.
  • Beban pajak setiap tahun stabil dan mudah diprediksi.

2. Metode Saldo Menurun (Declining Balance Method)

Metode ini membebankan biaya penyusutan lebih besar di awal tahun, lalu semakin kecil di tahun-tahun berikutnya. Cocok untuk aset yang pemanfaatannya intens di awal.

Rumus:

Biaya Penyusutan Tahun ke-n = Tarif × Nilai Sisa Buku

Tarif ditentukan berdasarkan kelompok aset, misalnya:

  • Kelompok 1 (4 tahun) → 50%
  • Kelompok 2 (8 tahun) → 25%
  • Kelompok 3 (16 tahun) → 12,5%
  • Kelompok 4 (20 tahun) → 10%

Contoh Kasus:

Mesin produksi Rp800 juta (Kelompok 2 – masa manfaat 8 tahun, tarif saldo menurun 25%).

  • Tahun 1: 25% × Rp800 juta = Rp200 juta
  • Tahun 2: 25% × (Rp800 juta – Rp200 juta) = Rp150 juta
  • Tahun 3: 25% × Rp600 juta – Rp150 juta = Rp112,5 juta
  • Dan seterusnya, sampai habis.

📌 Catatan: Pada tahun terakhir, sisa nilai buku langsung disusutkan penuh.

3. Penyusutan untuk Bangunan

Sesuai Pasal 11 ayat (2) UU PPh, khusus untuk bangunan hanya boleh pakai garis lurus.

  • Bangunan permanen → masa manfaat 20 tahun, tarif 5% per tahun.
  • Bangunan tidak permanen → masa manfaat 10 tahun, tarif 10% per tahun.

Contoh:
Gedung kantor permanen Rp10 miliar → penyusutan tahunan Rp500 juta (5% × Rp10 miliar).

Perbandingan Metode: Mana yang Lebih Menguntungkan?

AspekGaris LurusSaldo Menurun
Beban TahunanSama besar tiap tahunBesar di awal, kecil di akhir
Cocok untukAset dengan pemakaian stabilAset intensif di awal umur
Dampak PajakLaba kena pajak stabilLaba kena pajak lebih kecil di awal (hemat pajak awal)

📌 Intinya, metode saldo menurun memberi keuntungan tax saving di awal tahun, tapi total beban tetap sama di akhir masa manfaat.

Tantangan Wajib Pajak: Ribet Hitung Manual!

Banyak pelaku usaha, terutama UMKM, kesulitan menghitung penyusutan fiskal secara manual. Apalagi kalau asetnya banyak dan menggunakan metode saldo menurun. Salah sedikit, bisa bikin laporan pajak tidak sesuai, dan berisiko dikoreksi saat pemeriksaan.

Solusi Praktis: Kalkulator Pajak Penyusutan

Untuk memudahkan, Anda bisa mencoba kalkulator pajak penyusutan di https://kalkulator.konsulpajak.com.

Fitur ini sangat membantu karena:

  1. Hitungan otomatis sesuai aturan perpajakan.
  2. Dapat memilih metode garis lurus atau saldo menurun.
  3. Menghemat waktu karena tidak perlu hitung manual.
  4. Mengurangi risiko salah hitung yang bisa berujung sanksi.

Misalnya Anda masukkan data mesin Rp800 juta dengan masa manfaat 8 tahun → kalkulator langsung menghitung tabel penyusutan tahunan sesuai metode yang dipilih.

Penutup

Penyusutan adalah instrumen penting dalam perpajakan. Dengan memahami metode garis lurus dan saldo menurun sesuai Pasal 11 UU Nomor 36 Tahun 2008, Wajib Pajak bisa lebih cerdas dalam mengelola beban fiskal sekaligus mengoptimalkan perencanaan pajak.

Jangan lupa, pilih metode yang paling sesuai dengan karakteristik aset dan bisnis Anda. Dan supaya lebih mudah, manfaatkan kalkulator pajak penyusutan di https://kalkulator.konsulpajak.com agar perhitungan lebih cepat, akurat, dan bebas pusing.

Ingat, pajak yang dikelola dengan benar adalah kunci bisnis yang sehat dan berkelanjutan.

PPh atas Jasa: Memahami Jenis Jasa dan Perbedaan Pengenaannya

0
pph jasa konstruksi dan pph pasal 23 maintenance
pph jasa konstruksi dan pph pasal 23 maintenance

Dalam dunia perpajakan, kata “jasa” sering terdengar sederhana. Namun, ketika dikaitkan dengan Pajak Penghasilan (PPh), ternyata ada perbedaan perlakuan pajak tergantung pada jenis jasa dan siapa pemberi jasanya.

Kesalahan memahami klasifikasi jasa bisa membuat perusahaan atau individu salah melakukan pemotongan pajak. Dampaknya? Bisa kena SP2DK, koreksi fiskus, bahkan sanksi administrasi.

Oleh karena itu, penting bagi wajib pajak untuk memahami: jasa apa saja yang dikenai PPh Pasal 21, PPh Pasal 23, atau masuk ke kategori jasa konstruksi dengan tarif final tersendiri.

Dasar Hukum Singkat

  • UU PPh (UU No. 7 Tahun 1983 jo. UU No. 36 Tahun 2008).
  • PMK 141/PMK.03/2015 → jasa konstruksi.
  • PMK 244/PMK.03/2008 → jasa lain yang dipotong PPh Pasal 23.
  • PER-16/PJ/2016 → pedoman pemotongan PPh Pasal 21.

1. Jasa yang Dikenai PPh Pasal 23

PPh Pasal 23 dikenakan jika pemberi jasa adalah badan usaha atau orang pribadi tertentu yang masuk daftar objek jasa. Tarif umumnya 2% dari jumlah bruto.

Contoh jasa yang masuk PPh 23:

  • Jasa maintenance/perawatan → misalnya perawatan AC, maintenance jaringan IT, perawatan kendaraan.
  • Jasa konsultan → hukum, akuntansi, IT, manajemen.
  • Jasa sewa selain tanah/bangunan → seperti sewa kendaraan, sewa mesin.
  • Jasa penyedia tenaga kerja.
  • Jasa cleaning service (jika kontraknya jasa kebersihan, bukan konstruksi).

📌 Catatan: Jika penerima penghasilan tidak memiliki NPWP, tarifnya naik jadi 4%.

2. Jasa yang Dikenai PPh Pasal 21

PPh Pasal 21 dikenakan atas jasa yang dilakukan oleh orang pribadi bukan karyawan. Tarifnya mengikuti tarif progresif PPh OP (5%–35%) atau dengan norma tertentu.

Contoh jasa yang masuk PPh 21:

  • Jasa pembicara (narasumber, dosen tamu, pengisi seminar).
  • Jasa tenaga ahli yang bekerja secara pribadi (dokter, pengacara, notaris, konsultan individu).
  • Jasa desain yang dilakukan perorangan.
  • Pekerjaan jasa selain konstruksi yang dilakukan oleh orang pribadi (contoh: jasa renovasi kecil-kecilan dengan tenaga individu).

📌 Bedanya dengan PPh 23 → kalau pemberi jasa adalah badan usaha, maka masuk Pasal 23. Kalau orang pribadi, masuk Pasal 21.

3. Jasa Konstruksi dengan PPh Final (PP No. 9 Tahun 2022)

Sejak berlakunya PP No. 9 Tahun 2022, tarif PPh Final atas usaha jasa konstruksi mengalami perubahan. Tarif ini berlaku baik untuk jasa pelaksana konstruksi maupun jasa perencana/pengawas konstruksi.

Tarif Jasa Pelaksana Konstruksi:

  • 1,75% → untuk penyedia jasa dengan kualifikasi usaha kecil.
  • 2,65% → untuk penyedia jasa dengan kualifikasi menengah atau besar, serta usaha tidak berkualifikasi namun memiliki sertifikat badan usaha.
  • 4% → untuk penyedia jasa yang tidak memiliki sertifikat badan usaha (SBU).

Tarif Jasa Perencana dan Pengawas Konstruksi:

  • 3,5% → untuk penyedia jasa dengan sertifikat badan usaha.
  • 6% → untuk penyedia jasa tanpa sertifikat badan usaha.

Contoh:

  • Renovasi gedung kantor oleh kontraktor bersertifikat menengah → dikenai tarif 2,65% dari nilai kontrak.
  • Proyek pembangunan rumah oleh kontraktor kecil bersertifikat → dikenai tarif 1,75%.
  • Pengawasan pembangunan jembatan oleh konsultan bersertifikat → dikenai tarif 3,5%.

👉 Dengan adanya PP No. 9 Tahun 2022, tarif jasa konstruksi menjadi lebih terstruktur dan berbeda jauh dibanding aturan lama. Karena itu, wajib pajak perlu mencermati apakah penyedia jasa konstruksi memiliki sertifikat badan usaha (SBU) atau tidak, karena hal ini sangat memengaruhi tarif pajaknya.

4. Kenapa Penting Membedakan Jenis Jasa?

Karena salah klasifikasi bisa bikin:

  1. Salah tarif → misalnya harusnya kena 2% Pasal 23 tapi dipotong progresif Pasal 21.
  2. Salah setor → KAP/KJS berbeda antara PPh 21, 23, dan PPh Final.
  3. Salah laporan → rawan SP2DK dari DJP.

5. Contoh Kasus Nyata

Kasus 1: Jasa Maintenance AC

  • PT A kontrak dengan PT B untuk perawatan AC gedung Rp100 juta.
  • Karena PT B berbadan hukum → masuk PPh Pasal 23 tarif 2%.
  • PPh dipotong Rp2 juta.

Kasus 2: Renovasi Gedung

  • PT C kontrak dengan kontraktor resmi Rp500 juta untuk renovasi kantor.
  • Masuk jasa konstruksi PPh Final 2%–4% tergantung sertifikat kontraktor.

Kasus 3: Jasa Renovasi oleh Tukang Individu

  • Bu D memanggil tukang perorangan untuk memperbaiki rumah Rp20 juta.
  • Karena tukang individu → masuk PPh Pasal 21 (jasa tenaga kerja perorangan).

6. Tips Agar Tidak Salah Klasifikasi

  • Cek siapa penerima penghasilan → orang pribadi atau badan?
  • Cek jenis kontrak → apakah konstruksi (final) atau jasa umum?
  • Gunakan referensi PMK/UU terbaru untuk menentukan kategori jasa.
  • Konsultasi dengan Account Representative (AR) di KPP jika masih ragu.

Penutup

Dari pembahasan ini, jelas bahwa tidak semua jasa dikenai pajak dengan cara yang sama. Ada yang masuk PPh Pasal 21 (jasa oleh orang pribadi), ada yang masuk PPh Pasal 23 (jasa oleh badan atau masuk daftar jasa tertentu), dan ada pula yang masuk kategori khusus yaitu jasa konstruksi dengan PPh Final.

Pahami dulu jenis jasanya, siapa penerima jasanya, dan dasar hukumnya. Dengan begitu, wajib pajak bisa memotong, menyetor, dan melaporkan PPh dengan benar tanpa takut salah klasifikasi.

👉 Ingat: pajak yang dikelola dengan benar bukan hanya kewajiban, tapi juga investasi ketenangan usaha Anda.

Pahami Tarif PPh Pasal 23: Panduan Lengkap Bagi Wajib Pajak

0
PPh pasal 23 dan tarifnya
PPh pasal 23 dan tarifnya

Bagi pelaku usaha maupun profesional, istilah PPh Pasal 23 tentu sering terdengar. Pajak ini berlaku ketika ada pembayaran penghasilan tertentu kepada wajib pajak dalam negeri, baik orang pribadi maupun badan. Bedanya dengan PPh Pasal 21 yang fokus ke karyawan, PPh Pasal 23 lebih menyoroti transaksi antar badan atau pemberi jasa.

Sayangnya, masih banyak wajib pajak yang bingung: berapa tarifnya, objek apa saja yang dikenai, dan bagaimana cara melaporkannya? Artikel ini akan membahas tarif PPh Pasal 23 dengan bahasa sederhana, agar lebih mudah dipahami.

Dasar Hukum

  • UU No. 7 Tahun 1983 tentang PPh (sebagaimana diubah terakhir dengan UU No. 36 Tahun 2008).
  • PMK 244/PMK.03/2008 → mengatur jenis jasa lain yang menjadi objek PPh 23.
  • SE-35/PJ/2010 → memperjelas definisi jasa teknik, manajemen, dan konsultan.

Objek dan Tarif PPh Pasal 23

Berdasarkan file referensitarif pph pasal 23, berikut adalah ringkasan objek beserta tarif PPh Pasal 23:

1. Dividen

  • Tarif: 15% dari jumlah bruto.
  • Pengecualian: dividen kepada WP OP (karena kena PPh Final Pasal 4 ayat 2), dividen antar badan dalam negeri dengan syarat tertentu, SHU koperasi kepada anggota.

2. Bunga

  • Tarif: 15% dari jumlah bruto.
  • Pengecualian: bunga kepada bank, bunga deposito/tabungan/diskonto SBI (karena masuk PPh Final Pasal 4 ayat 2).

3. Royalti

  • Tarif: 15% dari jumlah bruto.
  • Contoh: pembayaran atas hak cipta, lisensi, atau hak penggunaan paten.

4. Hadiah dan Penghargaan

  • Tarif: 15% dari jumlah bruto.
  • Pengecualian: hadiah undian (PPh Final 4 ayat 2), hadiah yang diterima orang pribadi sehubungan dengan pekerjaan (kena PPh 21).

5. Sewa dan Penghasilan Lain Sehubungan dengan Penggunaan Harta

  • Tarif: 2% dari jumlah bruto.
  • Pengecualian: sewa tanah/bangunan (PPh Final Pasal 4 ayat 2), sewa guna usaha dengan hak opsi.

6. Jasa Teknik, Jasa Manajemen, Jasa Konsultan, dan Jasa Lainnya

  • Tarif: 2% dari jumlah bruto.
  • Termasuk jasa konsultan hukum, akuntansi, IT, dan lainnya yang tercantum dalam PMK 244/2008.

📌 Penting: Jika penerima penghasilan tidak memiliki NPWP, maka tarif pemotongan menjadi 100% lebih tinggi.

Mekanisme Pemotongan dan Pelaporan

  1. Pemotongan → dilakukan saat pembayaran atau saat terutang.
  2. Penyetoran → paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya menggunakan KAP 411124.
  3. Pelaporan → melalui SPT Masa PPh 23, paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya.

Contoh:

  • PT A membayar jasa konsultan Rp100 juta ke PT B.
  • PT A wajib memotong 2% × Rp100 juta = Rp2 juta.
  • Disetor ke kas negara sebelum tanggal 10 bulan berikutnya dan dilaporkan di SPT Masa PPh 23.

Contoh Kasus Nyata

Kasus 1: Dividen

PT XYZ membagikan dividen Rp500 juta ke PT ABC (pemegang saham 30%). Karena kepemilikan saham ≥25% dan dividen berasal dari laba ditahan, maka dividen tersebut bukan objek PPh 23.

Kasus 2: Jasa Konsultan

PT Maju Jaya membayar Rp200 juta ke konsultan IT.

  • PPh 23 dipotong = 2% × Rp200 juta = Rp4 juta.
  • PT Maju Jaya setor Rp4 juta ke kas negara.
  • PT Maju Jaya laporkan di SPT Masa PPh 23 bulan berikutnya.

Risiko Jika Tidak Memotong PPh 23

  1. Sanksi administrasi berupa bunga dan denda.
  2. Koreksi fiskus jika ditemukan saat pemeriksaan.
  3. Beban pajak lebih besar karena biaya yang tidak dipotong bisa dianggap tidak deductible.

Tips Praktis Mengelola PPh Pasal 23

  • Pastikan lawan transaksi punya NPWP untuk menghindari tarif lebih tinggi.
  • Selalu minta bukti potong PPh 23 dari pihak pemotong.
  • Gunakan aplikasi e-Bupot Unifikasi untuk mempermudah pembuatan bukti potong dan pelaporan.
  • Catat setiap transaksi jasa, sewa, atau dividen agar tidak ada yang terlewat.

Penutup

PPh Pasal 23 adalah pajak yang wajib diperhatikan oleh setiap pelaku usaha di Indonesia. Dengan tarif 15% untuk dividen, bunga, royalti, hadiah, dan 2% untuk sewa serta jasa, pemotongan ini bisa terasa kecil per transaksi, tapi jika diabaikan bisa menimbulkan risiko besar di kemudian hari.

Kuncinya adalah: pahami objeknya, terapkan tarif dengan benar, dan jangan lupa setor serta lapor tepat waktu. Dengan begitu, bisnis tetap lancar, pajak aman, dan terhindar dari masalah hukum.