Kamis, Oktober 23, 2025
19.5 C
Indonesia
Beranda blog Halaman 2

Penilaian untuk Tujuan Perpajakan: Panduan Lengkap, Dasar Hukum, dan Penerapan di 2025

0
penilaian aset untuk tujuan perpajakan

Bayangkan Anda seorang pengusaha yang baru saja membeli gedung kantor. Harga sudah disepakati, kontrak ditandatangani, namun muncul pertanyaan: “Berapa nilai sebenarnya gedung ini untuk tujuan perpajakan?”

Di sinilah peran penilaian untuk tujuan perpajakan hadir. Proses ini bukan sekadar formalitas, tapi merupakan fondasi penting dalam menentukan kewajiban pajak yang adil, baik bagi wajib pajak maupun negara.

Artikel ini akan membahas tuntas mengenai penilaian untuk tujuan perpajakan, dasar hukum, lingkup, metode, hingga contoh penerapannya berdasarkan PMK No. 79 Tahun 2023.

Apa Itu Penilaian untuk Tujuan Perpajakan?

Secara sederhana, penilaian untuk tujuan perpajakan adalah proses menentukan nilai suatu objek (harta berwujud, tidak berwujud, maupun bisnis) yang akan digunakan sebagai dasar penghitungan pajak.

Proses ini dilakukan oleh Penilai Pajak, yaitu pegawai negeri sipil di Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang memiliki tugas, wewenang, dan tanggung jawab khusus dalam menilai objek pajakpenilaian untuk tujuan perpajak….

Dasar Hukum Penilaian untuk Tujuan Perpajakan

Beberapa regulasi penting yang menjadi landasan:

  1. UUD 1945 Pasal 17 ayat (3)
  2. UU KUP (UU No. 6 Tahun 1983, terakhir diubah UU No. 7 Tahun 2021 tentang HPP)
  3. UU PPh, UU PPN, UU PBB, dan UU PPSP
  4. PMK No. 186/PMK.03/2019 jo. PMK No. 234/PMK.03/2022 tentang klasifikasi objek pajak dan tata cara penetapan NJOP.
  5. PMK No. 79 Tahun 2023 tentang Tata Cara Penilaian untuk Tujuan Perpajakan (berlaku sejak 22 Agustus 2023).

Dengan regulasi ini, penilaian memiliki kepastian hukum dan standar baku dalam pelaksanaannya.

Jenis Penilaian dalam Perpajakan

1. Penilaian untuk Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)

  • Dilakukan untuk menentukan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP).
  • Bisa dilakukan melalui Penilaian Kantor (analisis data) atau Penilaian Lapangan (kunjungan langsung).
  • Hasilnya digunakan dalam SPPT PBB, SKP, keberatan, hingga penyidikan kasus perpajakan.

2. Penilaian untuk Nilai Harta dan Bisnis

  • Meliputi harta berwujud (tanah, bangunan, mesin, kendaraan, peralatan, barang seni, aset biologis).
  • Harta tidak berwujud (merek dagang, kontrak, teknologi, goodwill, lisensi).
  • Bisnis (entitas baru, penyertaan saham, instrumen keuangan, laporan keuangan).

Metode Penilaian

Penilaian dilakukan dengan pendekatan yang berbeda sesuai objeknyapenilaian untuk tujuan perpajak…:

  1. Pendekatan Pasar → membandingkan dengan objek sejenis di pasar.
    • Metode: pembanding data pasar, faktor pengali harga.
  2. Pendekatan Pendapatan → menghitung manfaat ekonomi atau pendapatan di masa depan.
    • Metode: diskonto arus kas (DCF), kapitalisasi pendapatan, pengganda pendapatan kotor.
  3. Pendekatan Biaya → menghitung biaya reproduksi/penggantian dikurangi penyusutan.
  4. Pendekatan Aset (untuk bisnis) → menilai aset dan kewajiban perusahaan berdasarkan nilai pasar.

Hasil akhir berupa Laporan Penilaian, yang menjadi dasar penghitungan pajak terutang.

Proses Penilaian: Dari Data hingga Laporan

  1. Penyiapan Bahan → pengumpulan dokumen, program, dan sarana.
  2. Pengumpulan Data → dari wajib pajak, pihak ketiga, atau data DJP.
  3. Analisis Data → melihat kondisi pasar, industri, laporan keuangan.
  4. Penerapan Pendekatan → pasar, pendapatan, biaya, atau aset.
  5. Penyusunan Laporan Penilaian → disusun oleh tim penilai dalam waktu maksimal 3 bulan sejak surat perintah dikeluarkan.

Kenapa Penilaian Ini Penting?

  • Bagi Wajib Pajak: memastikan pajak yang dibayar sesuai dengan nilai sebenarnya, bukan perkiraan sepihak.
  • Bagi Pemerintah: menjamin penerimaan negara tidak berkurang akibat undervaluation.
  • Bagi Investor/Perusahaan: memberi kepastian nilai aset dan kewajaran transaksi (terutama untuk merger, akuisisi, atau transfer pricing).

Contoh Kasus Sederhana

Misalnya, sebuah perusahaan teknologi di Jakarta melakukan merger. Untuk menghitung kewajaran transaksi, DJP melakukan penilaian atas:

  • Aset berwujud: gedung kantor, server, dan kendaraan operasional.
  • Aset tidak berwujud: lisensi perangkat lunak, merek dagang, dan goodwill.
  • Bisnis: nilai entitas secara keseluruhan berdasarkan laporan keuangan.

Dengan penilaian ini, pemerintah bisa memastikan bahwa nilai transaksi sesuai harga pasar, dan pajak yang timbul dihitung dengan adil.

Kesimpulan

Penilaian untuk tujuan perpajakan adalah jembatan antara wajib pajak dan negara dalam menentukan nilai yang adil. Dengan dasar hukum kuat dan metode profesional, penilaian ini memastikan kepastian hukum, transparansi, dan keadilan perpajakan.

Sebagai wajib pajak, memahami proses ini penting agar tidak hanya patuh, tetapi juga cerdas dalam mengelola kewajiban pajak.

Sertifikat Badan Usaha (SBU): Syarat, Cara Membuat, dan Dasar Hukum PP 5 Tahun 2021

0
SBU Jasa Konstruksi

Pendahuluan

Bagi Anda yang bergerak di bidang konstruksi, istilah Sertifikat Badan Usaha (SBU) pasti sudah tidak asing lagi. Hampir semua tender proyek, baik pemerintah maupun swasta, mensyaratkan perusahaan memiliki SBU. Tanpa sertifikat ini, perusahaan bisa langsung gugur di tahap administrasi.

Namun, banyak pelaku usaha yang masih bingung: apa sebenarnya SBU itu? Bagaimana cara membuatnya? Apa dasar hukum yang mengaturnya? Nah, artikel ini akan membahas tuntas tentang Sertifikat Badan Usaha (SBU) sesuai dengan PP Nomor 5 Tahun 2021.

Apa Itu Sertifikat Badan Usaha (SBU)?

Secara sederhana, SBU adalah sertifikat resmi yang menyatakan bahwa suatu badan usaha jasa konstruksi sudah memenuhi persyaratan untuk menjalankan kegiatan usahanya.

SBU dikeluarkan oleh Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) atau lembaga yang ditunjuk pemerintah. Sertifikat ini membuktikan bahwa perusahaan memiliki:

  • tenaga ahli bersertifikat,
  • pengalaman kerja,
  • manajemen yang kompeten,
  • serta peralatan yang memadai untuk melaksanakan proyek konstruksi.

Tanpa SBU, perusahaan dianggap belum layak ikut serta dalam kegiatan jasa konstruksi secara legal.

Dasar Hukum: PP Nomor 5 Tahun 2021

SBU diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko.

Beberapa poin penting terkait SBU di PP 5/2021:

  1. Perizinan berbasis risiko → setiap usaha dikategorikan berdasarkan tingkat risiko (rendah, menengah, tinggi). Jasa konstruksi termasuk kategori menengah hingga tinggi, sehingga membutuhkan standar khusus berupa SBU.
  2. SBU sebagai syarat usaha konstruksi → perusahaan yang ingin bergerak di bidang jasa konstruksi wajib memiliki SBU.
  3. Integrasi ke OSS (Online Single Submission) → proses pengajuan dan penerbitan SBU kini terhubung dengan sistem OSS, sehingga lebih cepat dan transparan.

👉 Jadi, SBU bukan izin tambahan yang rumit, melainkan bagian dari sistem perizinan usaha berbasis risiko yang sudah disederhanakan melalui PP 5/2021.

Fungsi dan Manfaat Sertifikat Badan Usaha (SBU)

Mengapa perusahaan wajib mengurus SBU? Berikut beberapa alasannya:

  1. Syarat mengikuti tender proyek
    Banyak proyek pemerintah dan swasta hanya bisa diikuti oleh perusahaan yang memiliki SBU. Tanpa itu, proposal akan langsung ditolak.
  2. Bukti kompetensi dan legalitas
    SBU menunjukkan bahwa perusahaan memiliki tenaga ahli, peralatan, serta pengalaman sesuai standar pemerintah.
  3. Meningkatkan reputasi perusahaan
    Klien akan lebih percaya pada perusahaan yang sudah bersertifikat resmi.
  4. Memudahkan pengawasan pemerintah
    Dengan SBU, pemerintah bisa memantau kualitas, jumlah, dan kapasitas perusahaan konstruksi di Indonesia.

Syarat Membuat Sertifikat Badan Usaha

Untuk mendapatkan SBU, perusahaan harus memenuhi sejumlah persyaratan, antara lain:

  1. Badan hukum yang sah
    Bisa berbentuk PT, CV, firma, atau koperasi.
  2. Nomor Induk Berusaha (NIB)
    Wajib memiliki NIB yang didaftarkan melalui sistem OSS.
  3. Tenaga ahli bersertifikat (SKK)
    Perusahaan harus memiliki tenaga kerja konstruksi dengan Sertifikat Kompetensi Kerja (SKK) sesuai klasifikasi dan subklasifikasi bidang pekerjaan.
  4. Dokumen perusahaan
    • Akta pendirian & SK Kemenkumham
    • NPWP perusahaan
    • KTP direksi/pemilik
    • Laporan keuangan
  5. Data pendukung
    • Daftar peralatan yang dimiliki
    • Pengalaman proyek sebelumnya
    • Struktur organisasi perusahaan

Cara Membuat SBU Melalui OSS

Proses pembuatan SBU kini semakin mudah berkat sistem OSS berbasis risiko. Berikut langkah-langkahnya:

  1. Membuat akun OSS
    Daftar di laman resmi OSS dan dapatkan Nomor Induk Berusaha (NIB).
  2. Mengajukan permohonan SBU
    Setelah memiliki NIB, masuk ke menu jasa konstruksi, lalu pilih pengajuan Sertifikat Badan Usaha.
  3. Melengkapi dokumen persyaratan
    Unggah semua dokumen yang diperlukan, termasuk SKK tenaga ahli, akta perusahaan, dan laporan keuangan.
  4. Verifikasi oleh Lembaga Sertifikasi
    Lembaga Sertifikasi Badan Usaha (LSBU) akan memeriksa kelengkapan dokumen dan melakukan verifikasi lapangan jika diperlukan.
  5. Penerbitan SBU
    Jika semua syarat terpenuhi, SBU akan diterbitkan secara elektronik dan dapat diunduh melalui sistem OSS.

Biasanya, proses ini memakan waktu beberapa minggu, tergantung kelengkapan dokumen dan kecepatan verifikasi.

Jenis-Jenis SBU

SBU dibedakan berdasarkan bidang jasa konstruksi:

  1. SBU Jasa Pelaksana Konstruksi
    Untuk perusahaan yang melaksanakan pekerjaan fisik, seperti pembangunan gedung, jalan, jembatan, atau infrastruktur lainnya.
  2. SBU Jasa Konsultansi Konstruksi
    Untuk perusahaan yang bergerak di bidang perencanaan, desain, dan pengawasan konstruksi.
  3. SBU Jasa Konstruksi Terintegrasi
    Untuk perusahaan yang mengerjakan proyek konstruksi secara menyeluruh mulai dari desain hingga pelaksanaan.

Tantangan dalam Mengurus SBU

Meskipun prosesnya lebih modern, masih ada beberapa tantangan yang sering ditemui pelaku usaha, seperti:

  • Biaya pengurusan SBU yang kadang dianggap cukup mahal bagi UMKM konstruksi.
  • Ketersediaan tenaga ahli bersertifikat yang masih terbatas di beberapa daerah.
  • Perubahan regulasi yang membuat pelaku usaha harus selalu mengikuti update terbaru.

Namun, tantangan ini seharusnya tidak menjadi alasan untuk menunda pengurusan SBU, mengingat manfaatnya jauh lebih besar.

Kesimpulan

Sertifikat Badan Usaha (SBU) adalah dokumen resmi yang wajib dimiliki perusahaan konstruksi agar bisa mengikuti tender, menunjukkan kompetensi, serta diakui secara legal oleh pemerintah.

Dengan dasar hukum PP Nomor 5 Tahun 2021, pengurusan SBU kini lebih terintegrasi melalui OSS berbasis risiko, sehingga lebih cepat dan transparan.

Bagi pelaku usaha, SBU bukan sekadar formalitas, tapi merupakan tiket masuk untuk bersaing di dunia konstruksi. Jadi, jangan menunda lagi, segera urus SBU agar perusahaan Anda siap mengikuti berbagai proyek besar di Indonesia.

NJOP dan NJOPTKP: Panduan Lengkap, Dasar Hukum, dan Contoh Hitung PBB 2025

0
njop dan njoptkp

Bayangkan Anda baru saja membeli rumah impian. Setelah mengurus akad, sertifikat, dan kunci, tibalah waktu membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Di saat itu, istilah NJOP dan NJOPTKP akan muncul di tagihan pajak Anda. Dua istilah ini sering membingungkan, padahal sangat penting untuk menentukan berapa besar pajak yang harus dibayar.

Artikel ini akan membahas NJOP dan NJOPTKP dengan bahasa sederhana, agar Anda paham konsepnya tanpa perlu menjadi ahli pajak terlebih dahulu.

Apa Itu NJOP?

NJOP (Nilai Jual Objek Pajak) adalah nilai yang ditetapkan pemerintah sebagai dasar perhitungan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). NJOP ini pada dasarnya adalah perkiraan harga pasar wajar untuk tanah dan/atau bangunan Anda.

Ketentuan NJOP diatur dalam PMK No. 208/PMK.07/2018 tentang Pedoman Penilaian Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan. Nilai NJOP bisa berbeda di tiap daerah, tergantung lokasi, kondisi tanah, dan bangunan.

Apa Itu NJOPTKP?

NJOPTKP (Nilai Jual Objek Tidak Kena Pajak) adalah batas nilai dari NJOP yang dibebaskan dari pengenaan pajak. Dengan kata lain, bagian nilai properti Anda sampai batas tertentu tidak dikenai PBB.

Contoh sederhana:
Jika NJOP rumah Anda Rp 100 juta dan NJOPTKP di daerah Anda Rp 10 juta, maka yang menjadi dasar pajak hanyalah Rp 90 juta.

Dasar hukum NJOPTKP diatur dalam:

  • UU No. 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan, yang diubah dengan UU No. 12 Tahun 1994.
  • UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD).
  • PMK No. 23/PMK.03/2014 yang mengatur besaran NJOPTKP minimal Rp 10 juta, dan Rp 12 juta untuk objek tertentu.

Hubungan NJOP, NJOPTKP, dan NJKP

Agar tidak bingung, mari pahami alurnya:

  1. NJOP → nilai properti Anda yang dihitung pemerintah.
  2. NJOPTKP → bagian NJOP yang dikecualikan dari pajak.
  3. NJKP (Nilai Jual Kena Pajak) → hasil dari: NJKP = NJOP – NJOPTKP

Inilah nilai yang digunakan untuk menghitung PBB terutang.

Contoh Perhitungan NJOP dan NJOPTKP

Misalnya, Ani memiliki rumah di kota Y dengan data berikut:

  • NJOP tanah + bangunan = Rp 300.000.000
  • NJOPTKP daerah = Rp 12.000.000
  • Persentase NJKP = 40%
  • Tarif PBB = 0,5%

Langkah hitungnya:

  1. NJOP – NJOPTKP = Rp 300.000.000 – Rp 12.000.000 = Rp 288.000.000
  2. Hitung NJKP = 40% × Rp 288.000.000 = Rp 115.200.000
  3. PBB terutang = 0,5% × Rp 115.200.000 = Rp 576.000

Jadi, Ani harus membayar PBB sebesar Rp 576.000.

Update 2025: Kebijakan NJOPTKP Terbaru

  • Batas minimal NJOPTKP tetap Rp 10 juta sesuai UU PDRD, sedangkan objek tertentu pusat mengikuti ketentuan PMK Rp 12 juta.
  • Beberapa daerah, seperti DKI Jakarta, menerapkan kebijakan tambahan: mulai 2025, wajib pajak yang belum melengkapi data NIK/NPWP tidak otomatis mendapatkan NJOPTKP.
  • Tarif PBB-P2 maksimal bisa mencapai 0,5%, sesuai UU HKPD terbaru.

Penutup

Dengan memahami NJOP dan NJOPTKP, Anda bisa menghitung PBB dengan lebih jelas dan tidak kebingungan saat menerima tagihan. Intinya:

  • NJOP = nilai properti yang jadi dasar pajak.
  • NJOPTKP = pengurang yang meringankan beban pajak Anda.
  • NJKP = nilai setelah pengurangan, yang benar-benar kena pajak.

Semakin paham konsep ini, semakin bijak Anda mengelola kewajiban pajak properti.

PPh Final atas Sewa Tanah dan Bangunan: Jangan Sampai Salah Hitung!

0
pph final sewa tanah dan bangunan
pph final sewa tanah dan bangunan

Pernahkah Anda menyewa ruko, gudang, apartemen, atau bahkan sebidang tanah untuk usaha? Kalau iya, perlu diingat bahwa setiap transaksi persewaan tanah dan/atau bangunan memiliki konsekuensi pajak, yaitu dikenakan PPh Final Pasal 4 ayat (2).

Ketentuan ini diatur dalam PP 34 Tahun 2017 yang berlaku sejak 2 Januari 2018, serta dijabarkan lebih teknis dalam aturan lama seperti KMK-120/KMK.03/2002 dan KEP-227/PJ./2002. Meski terdengar rumit, sebenarnya konsepnya cukup sederhana: setiap pemilik tanah/bangunan yang menyewakan, wajib membayar PPh Final sebesar 10% dari nilai bruto sewa.

Mari kita ulas lebih detail dengan bahasa yang mudah dipahami.

Dasar Hukum PPh Final Sewa Tanah dan Bangunan

  • PP 34 Tahun 2017 → tentang PPh atas penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan.
  • KMK-120/KMK.03/2002 → mengatur perubahan tata cara pembayaran.
  • KEP-227/PJ./2002 → tentang tata cara pemotongan, pembayaran, dan pelaporan PPh.

📌 Intinya, aturan ini memastikan setiap penghasilan dari sewa tanah/bangunan masuk ke sistem pajak dan dikenakan tarif final.

Apa yang Menjadi Objek Pajak?

Semua penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan, baik sebagian maupun seluruhnya. Contohnya:

  • Menyewakan rumah atau ruko.
  • Menyewakan kamar di rumah atau paviliun.
  • Menyewakan gudang, lapangan, atau kolam renang.

Selain itu, ada juga skema Bangun Guna Serah (Build Operate Transfer/BOT), di mana pemilik tanah memberikan hak kepada investor untuk mendirikan bangunan selama masa tertentu, lalu bangunan diserahkan kembali ke pemilik. Seluruh imbalan dari BOT ini juga termasuk objek pajak.

📌 Catatan penting: jasa penginapan seperti hotel, kos-kosan, atau asrama mahasiswa tidak masuk objek PPh Final ini. Itu dikenakan rezim pajak berbeda.

Tarif PPh Final Sewa Tanah/Bangunan

Tarifnya 10% dari jumlah bruto nilai persewaan.

Apa yang dimaksud dengan jumlah bruto?

  • Semua nilai sewa yang dibayarkan penyewa, termasuk biaya tambahan seperti:
    • Biaya perawatan
    • Biaya keamanan
    • Service charge (listrik, air, kebersihan, administrasi)

👉 Jadi, bukan hanya nilai sewa pokok, tapi juga biaya lain yang berkaitan langsung dengan pemakaian tanah/bangunan.

Contoh:
Jika Anda menyewa ruko Rp100 juta per tahun, dengan tambahan service charge Rp20 juta, maka dasar pengenaan pajak adalah Rp120 juta.

  • PPh Final = 10% × Rp120 juta = Rp12 juta.

Siapa yang Memotong Pajak?

  • Jika penyewa adalah badan pemerintah, badan usaha, BUT, penyelenggara kegiatan, atau badan lainnya yang ditunjuk DJP, maka penyewa wajib memotong PPh Final dari pembayaran sewa.
  • Jika penyewa adalah orang pribadi biasa, maka pemilik tanah/bangunan harus menyetor sendiri PPh Final-nya.

📌 Deadline:

  • Jika dipotong penyewa → setor paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya.
  • Jika disetor sendiri → paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya.
  • Pelaporan SPT Masa → paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya.

KAP & KJS yang digunakan:

  • MAP: 411128
  • KJS: 403

Contoh Kasus Praktis

1. Disewa Perusahaan

Pak Budi menyewakan rumahnya ke PT XYZ dengan harga Rp200 juta per tahun.

  • PT XYZ sebagai penyewa memotong PPh Final 10% = Rp20 juta.
  • PT XYZ menyetorkan ke kas negara, dan memberikan bukti potong ke Pak Budi.

👉 Pak Budi tinggal melaporkan penghasilan final di SPT Tahunan.

2. Disewa Individu

Pak Andi menyewakan gudang kepada Pak Joko (individu biasa) senilai Rp100 juta.

  • Karena Pak Joko bukan pemotong pajak, maka Pak Andi harus setor sendiri Rp10 juta (10% dari Rp100 juta) ke bank melalui kode billing.

👉 Bukti setor disimpan dan dilaporkan dalam SPT Tahunan.

3. Persewaan dengan Service Charge

Ibu Sari menyewakan ruko Rp50 juta per tahun dengan tambahan service charge Rp10 juta.

  • Dasar pengenaan = Rp60 juta.
  • PPh Final = 10% × Rp60 juta = Rp6 juta.

Risiko Jika Tidak Membayar PPh Final

  • Akta sewa atau kontrak bisa bermasalah jika tidak disertai bukti setor pajak.
  • Sanksi administrasi berupa bunga/denda atas keterlambatan setor.
  • Pemeriksaan pajak jika ditemukan penghasilan sewa tidak dilaporkan.

👉 Jadi, jangan anggap enteng. Meskipun “cuma” sewa, PPh Final tetap wajib dilunasi.

Manfaat Mematuhi Aturan Ini

  • Kepastian hukum dalam kontrak sewa.
  • Penghasilan sah dan bersih karena sudah final, tidak digabung lagi dengan penghasilan lain.
  • Reputasi baik di mata fiskus, mengurangi risiko SP2DK atau pemeriksaan.

Kesimpulan

PPh Final atas sewa tanah dan/atau bangunan adalah kewajiban yang sering terlupakan, padahal aturannya jelas: 10% dari jumlah bruto sewa. Siapa yang memotong, siapa yang setor, dan kapan batas waktunya, semuanya sudah diatur detail.

Bagi pemilik tanah/bangunan, jangan sampai rugi karena lupa atau sengaja tidak membayar. Lebih baik tertib sejak awal agar usaha lancar dan tidak kena sanksi.

👉 Ingat, meski disebut final, bukan berarti bisa diabaikan. Justru karena final, pembayarannya sederhana dan memberikan kepastian hukum.

Menang Undian Bukan Cuma Senang, Tapi Juga Ada Pajaknya! Pahami PPh Final Hadiah Undian

0
pajak hadiah mobil
pajak hadiah mobil

Siapa sih yang nggak senang kalau tiba-tiba dapat hadiah undian? Bisa berupa uang tunai, motor, mobil, bahkan rumah. Rasanya seperti rezeki nomplok. Tapi, jangan lupa—setiap hadiah undian yang Anda terima ada konsekuensi pajaknya.

Ya, sesuai aturan, hadiah undian termasuk objek PPh Final Pasal 4 ayat (2). Jadi, meskipun Anda menang karena keberuntungan, tetap ada kewajiban pajak yang harus dipenuhi. Artikel ini akan membahas dasar hukum, tarif, siapa yang memotong pajak, hingga contoh perhitungan agar Anda tidak bingung.

Dasar Hukum PPh Final Hadiah Undian

Aturan tentang pajak hadiah undian sudah lama ada dan masih berlaku hingga kini.

  • PP 132 Tahun 2000 → mengatur PPh atas hadiah undian.
  • PER-11/PJ/2015 → berlaku sejak 1 Mei 2015, memperjelas teknis pemotongan pajak hadiah undian.

📌 Intinya, sejak 2001 hingga sekarang, setiap hadiah undian dengan bentuk apapun dikenakan PPh Final.

Apa Itu Hadiah Undian?

Menurut aturan, hadiah undian adalah hadiah dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diberikan melalui undian.

Artinya, tidak peduli apakah hadiahnya berupa:

  • Uang tunai,
  • Barang berharga (mobil, motor, rumah),
  • Atau hadiah lain dengan nilai ekonomis,

👉 Semua itu dianggap sebagai penghasilan yang wajib dipajaki.

Tarif PPh Final Hadiah Undian

Tarifnya cukup jelas:

  • 25% dari jumlah bruto nilai hadiah (Pasal 2 PP 132/2000).

Jumlah bruto artinya:

  • Jika hadiah berupa uang → nilai uang itu sendiri.
  • Jika hadiah berupa barang → nilai pasar barang tersebut.

Contoh: Kalau Anda menang undian mobil, maka nilai mobil berdasarkan harga pasar yang dijadikan dasar pengenaan pajak.

Siapa yang Memotong Pajak?

Tidak perlu bingung harus setor sendiri. Sesuai aturan:

  • Penyelenggara undian wajib memotong atau memungut PPh Final atas hadiah undian.

Siapa saja yang termasuk penyelenggara undian?

  • Orang pribadi,
  • Badan usaha,
  • Kepanitiaan,
  • Organisasi (termasuk organisasi internasional),
  • Pengusaha yang menjual barang/jasa dengan sistem hadiah undian.

👉 Jadi, sebelum hadiah diserahkan, pajaknya dipotong dulu oleh pihak penyelenggara.

Contoh Perhitungan PPh Final Hadiah Undian

Contoh 1: Hadiah Uang Tunai

Anda menang undian berhadiah uang Rp100 juta.

  • PPh Final = 25% × Rp100 juta = Rp25 juta.
  • Jadi, yang Anda terima bersih = Rp75 juta (karena Rp25 juta sudah dipotong pajak).

Contoh 2: Hadiah Mobil

Anda menang undian sebuah mobil dengan nilai pasar Rp300 juta.

  • PPh Final = 25% × Rp300 juta = Rp75 juta.

👉 Pajaknya harus dipotong/ditanggung terlebih dahulu sebelum mobil diserahkan. Dalam praktik, ada penyelenggara yang menanggung pajak, tapi ada juga yang membebankan ke pemenang.

Contoh 3: Hadiah Rumah

Anda menang undian rumah dengan harga pasar Rp1 miliar.

  • PPh Final = 25% × Rp1 miliar = Rp250 juta.

👉 Besar, kan? Karena itu, biasanya penyelenggara menanggung sebagian pajak agar menarik minat peserta.

Kenapa Hadiah Undian Dipajaki?

Mungkin muncul pertanyaan, “Kenapa hadiah yang saya dapat gratis malah kena pajak?”

Jawabannya sederhana:

  • Hadiah undian dianggap sebagai tambahan kemampuan ekonomis yang Anda terima.
  • Sama seperti gaji atau keuntungan usaha, hadiah undian juga bentuk penghasilan.
  • Bedanya, pajak hadiah undian bersifat final sehingga tidak digabung dengan penghasilan lain di SPT Tahunan.

Prosedur Pemotongan dan Penyetoran

  1. Penyelenggara undian menghitung PPh Final 25% dari nilai hadiah.
  2. Pajak tersebut dipotong dari nilai hadiah atau ditanggung penyelenggara.
  3. Penyelenggara menyetor pajak ke kas negara melalui kode billing (KAP 411128 – PPh Final, KJS 423 – Hadiah undian).
  4. Penyelenggara memberikan bukti potong kepada pemenang.
  5. Pemenang menyimpan bukti tersebut dan melaporkannya di SPT Tahunan (hanya sebagai penghasilan final).

Risiko Jika Tidak Dipotong Pajak

  • Bagi penyelenggara → bisa dikenai sanksi administrasi hingga pidana pajak jika tidak memotong dan menyetor.
  • Bagi pemenang → bisa dianggap menerima hadiah tidak sah, dan menimbulkan masalah saat diperiksa DJP.

Manfaat Aturan PPh Final Hadiah Undian

  • Kepastian hukum → jelas siapa yang wajib potong dan berapa tarifnya.
  • Praktis bagi pemenang → tidak perlu setor sendiri karena sudah final.
  • Adil → setiap penghasilan, termasuk dari keberuntungan, ikut berkontribusi untuk negara.

Tips Jika Menang Undian

  1. Cek bukti potong → pastikan penyelenggara memberi bukti potong PPh Final.
  2. Tanyakan siapa yang menanggung pajak → Anda atau penyelenggara.
  3. Laporkan di SPT Tahunan → cantumkan di bagian penghasilan final.
  4. Hati-hati dengan hadiah besar → seperti rumah atau mobil, pastikan nilai pajak jelas sebelum menerima hadiah.

Kesimpulan

Menang undian memang membawa kebahagiaan, tapi jangan lupa ada kewajiban pajak yang menyertainya. Sesuai PP 132 Tahun 2000 dan PER-11/PJ/2015, hadiah undian dengan bentuk apapun dikenakan PPh Final 25% dari nilai bruto hadiah.

👉 Pajak ini dipotong langsung oleh penyelenggara, sehingga Anda sebagai pemenang tinggal menerima hadiah bersih.
👉 Namun, jangan lupa tetap simpan bukti potong dan laporkan di SPT Tahunan agar tetap patuh.

Dengan memahami aturan ini, Anda bisa menerima hadiah dengan tenang, tanpa was-was dengan urusan pajak di kemudian hari.

Bea Meterai : Pengertian, Objek, Tarif, dan Dasar Hukum Lengkap

0
Bea meterai lunas

Jika Anda pernah menandatangani kontrak, membuat perjanjian, atau menerima dokumen penting, pasti sudah tidak asing lagi dengan bea meterai. Namun, masih banyak orang yang belum memahami apa sebenarnya bea meterai itu, dokumen apa saja yang wajib ditempeli meterai, berapa tarif terbarunya, hingga dasar hukum yang mengaturnya.

Artikel ini akan menjadi panduan lengkap sekaligus pilar informasi perpajakan yang bisa Anda jadikan referensi.

Apa Itu Bea Meterai?

Secara sederhana, bea meterai adalah pajak atas dokumen. Pajak ini dibayar dengan cara menempelkan meterai (fisik atau elektronik) pada dokumen tertentu yang memiliki nilai hukum.

Menurut UU No. 10 Tahun 2020, bea meterai berlaku mulai 1 Januari 2021 menggantikan UU No. 13 Tahun 1985. Tujuannya jelas: memberikan kepastian hukum sekaligus menyesuaikan dengan perkembangan transaksi, baik fisik maupun digital.

Dengan kata lain, setiap kali kita menandatangani perjanjian atau dokumen bernilai hukum tertentu, di situlah kewajiban bea meterai muncul.

Dasar Hukum Bea Meterai

Bea meterai diatur secara resmi dalam beberapa regulasi penting, yaitu:

  • Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2020 tentang Bea Meterai
  • PMK-4/PMK.03/2021 tentang Pembayaran Bea Meterai, Ciri Umum dan Ciri Khusus Meterai, serta Pemeteraian Kemudian

Dari regulasi inilah lahir aturan lengkap mengenai objek, bukan objek, tarif, dan mekanisme bea meteraibea-materai.

Dokumen yang Wajib Bea Meterai (Objek)

Berdasarkan Pasal 3 UU No. 10 Tahun 2020, bea meterai dikenakan pada beberapa jenis dokumen berikut:

  1. Surat perjanjian, keterangan, pernyataan, atau dokumen sejenis.
  2. Akta notaris beserta grosse, salinan, dan kutipannya.
  3. Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).
  4. Surat berharga dalam bentuk apa pun.
  5. Dokumen transaksi surat berharga, termasuk kontrak berjangka.
  6. Dokumen lelang (risalah lelang, minuta, salinan, grosse).
  7. Dokumen yang menyatakan jumlah uang lebih dari Rp5 juta, baik sebagai penerimaan maupun pengakuan pelunasan utang.
  8. Dokumen lain yang ditetapkan oleh pemerintah.
  9. Dokumen yang dijadikan alat bukti di pengadilan.

Singkatnya, setiap dokumen penting bernilai hukum atau uang, hampir pasti wajib dikenai bea meterai.

Dokumen yang Tidak Dikenai Bea Meterai (Bukan Objek)

Ada juga dokumen yang bebas bea meterai, di antaranya:

  • Surat angkutan barang, konosemen, dan dokumen transportasi.
  • Ijazah.
  • Slip gaji, bukti pembayaran pensiun, tunjangan, dan hak karyawan lainnya.
  • Tanda bukti penerimaan uang negara dari kas negara/daerah.
  • Kuitansi pajak.
  • Surat gadai.
  • Dokumen perbankan seperti simpanan atau pembayaran tabungan.
  • Dokumen yang diterbitkan oleh Bank Indonesia.

Dengan demikian, tidak semua dokumen harus dikenai bea meterai.

Siapa yang Wajib Membayar Bea Meterai?

Menurut Pasal 9 UU No. 10 Tahun 2020, pihak yang wajib membayar bea meterai ditentukan oleh jenis dokumennya, antara lain:

  • Dokumen sepihak: pihak penerima dokumen.
  • Dokumen dua pihak/lebih: masing-masing pihak atas dokumen yang diterimanya.
  • Surat berharga: pihak penerbit.
  • Dokumen pengadilan: pihak yang mengajukan.
  • Dokumen dari luar negeri: pihak yang menerima manfaat di Indonesia.

Kapan Bea Meterai Terutang?

Bea meterai dianggap terutang pada saat tertentu, misalnya:

  • Saat dokumen ditandatangani (untuk perjanjian, akta notaris, akta PPAT).
  • Saat dokumen selesai dibuat (untuk surat berharga dan kontrak berjangka).
  • Saat dokumen diserahkan (untuk keterangan, pernyataan, atau dokumen uang).
  • Saat diajukan ke pengadilan.
  • Saat digunakan di Indonesia (untuk dokumen luar negeri).

Tarif Bea Meterai Terbaru

Sejak berlakunya UU No. 10 Tahun 2020, tarif bea meterai disamaratakan menjadi:

💰 Rp10.000 (sepuluh ribu rupiah) per dokumen.

Tarif ini berlaku untuk semua dokumen yang menjadi objek bea meterai, tanpa perbedaan nominal sebagaimana aturan lama (Rp3.000 dan Rp6.000).

Pemeteraian Kemudian: Solusi Jika Terlewat

Bagaimana kalau dokumen penting ternyata belum ditempeli meterai?
Tenang, ada mekanisme yang disebut pemeteraian kemudian. Proses ini bisa dilakukan dengan pengesahan pejabat pajak sesuai ketentuan.

Penutup

Dengan memahami aturan bea meterai, Anda bisa terhindar dari masalah administrasi maupun hukum. Bea meterai bukan sekadar formalitas, tetapi menjadi jaminan legalitas dokumen yang Anda buat.

Jadi, setiap kali membuat perjanjian, kontrak bisnis, atau dokumen penting bernilai hukum, pastikan sudah membubuhkan meterai sesuai ketentuan.

NJOPTKP: Batas Bebas Pajak pada Properti — Panduan Lengkap, Dasar Hukum & Contoh Hitung 2025

0
pajak bumi bangunan NJOPTKP

Ketika kita mendengar “Pajak Bumi dan Bangunan” (PBB), seringkali muncul kata-kata seperti NJOP, NJOPTKP, dan NJKP. Meskipun istilah-istilah itu umum dibicarakan oleh orang-orang yang berkecimpung di urusan properti atau pajak daerah, tapi bagi banyak orang awam istilahnya masih terasa rumit.

Dalam artikel ini, kita akan membahas secara mendalam NJOPTKP — apa itu, bagaimana cara kerjanya dalam perhitungan PBB, dasar hukumnya, serta contoh praktis agar Anda paham betul kapan dan bagaimana NJOPTKP diterapkan.

Apa itu NJOPTKP?

NJOPTKP (Nilai Jual Objek Tidak Kena Pajak) adalah nilai objek pajak (tanah dan/atau bangunan) yang dikecualikan dari objek pengenaan PBB. Artinya, bagian dari nilai properti tersebut tidak dikenakan pajak.

Dengan kata lain:

Dari seluruh nilai jual objek pajak (NJOP), sebagian nilai (hingga batas NJOPTKP) akan tidak dihitung sebagai dasar pajak. Barulah sisanya yang melebihi NJOPTKP menjadi dasar kena pajak (disingkat NJKP) yang nantinya akan digunakan untuk menghitung PBB terutang.

Karakteristik penting NJOPTKP

  • Hanya satu objek: Jika seseorang memiliki beberapa objek properti, pengurangan NJOPTKP hanya dapat digunakan pada satu objek (biasanya objek dengan nilai terbesar).
  • Satu kali per tahun: Pengurangan hanya berlaku sekali dalam satu tahun pajak.
  • Ditentukan berdasarkan daerah: Besaran NJOPTKP berbeda-beda di tiap kabupaten/kota, karena menyesuaikan kondisi ekonomi lokal. Tapi tetap harus memenuhi batas minimum yang ditetapkan secara nasional.

Hubungan NJOP, NJOPTKP, dan NJKP

Agar jelas, mari kita lihat hubungan antara tiga istilah utama:

  1. NJOP (Nilai Jual Objek Pajak)
    NJOP adalah estimasi rata-rata harga pasar properti (tanah + bangunan) berdasarkan transaksi yang wajar, perbandingan objek sejenis, atau metode lainnya.
  2. NJOPTKP
    Nilai dari objek properti yang dibebaskan dari pengenaan pajak.
  3. NJKP (Nilai Jual Kena Pajak)
    Rumus sederhananya: NJKP = NJOP – NJOPTKP Nilai inilah yang menjadi dasar pengenaan PBB (selanjutnya dikalikan tarif PBB).

Jadi urutannya kira-kira:
Objek properti → nilai pasar → NJOP → kurangi NJOPTKP → jadi NJKP → kalikan tarif PBB → akan muncul PBB terutang.

Dasar Hukum dan Regulasi

Agar penerapan NJOPTKP sah dan konsisten, ada landasan hukum yang mengaturnya. Beberapa regulasi kunci:

  1. UU Pajak Bumi dan Bangunan / UU PDRD
    • UU No. 12 Tahun 1985 tentang PBB (digantikan/amandemen kemudian) mencantumkan prinsip dasar objek dan subjek PBB.
    • UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD) mempertegas kewenangan daerah dalam PBB dan aturan pelaksananya.
  2. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 23/PMK.03/2014
    Inilah peraturan yang secara spesifik menetapkan batas NJOPTKP dan mengatur mekanisme pengurangan NJOPTKP sebagai dasar penghitungan PBB.
    • Pasal 1 ayat (3) menyebut bahwa NJOPTKP ditetapkan sebesar Rp 12.000.000 dalam PMK tersebut untuk PBB (di luar PBB-P2 daerah).
    • Meski begitu, untuk PBB yang dikelola daerah (PBB-P2), daerah tetap mengacu ketentuan minimum sebagai dasar UU PDRD, yaitu Rp 10.000.000 sebagai batas bawah NJOPTKP minimal.
  3. Peraturan Menteri Keuangan lainnya / Peraturan Daerah (Perda / Pergub / Keputusan Kepala Kantor Pajak Daerah)
    Untuk menentukan NJOPTKP di tiap kabupaten/kota, pejabat daerah atau kantor wilayah DJP menetapkan batasnya berdasarkan kondisi lokal, dengan tetap memperhatikan batas minimum nasional.

Batas Nilai NJOPTKP Menurut PMK 23/2014

Beberapa poin penting seputar besaran NJOPTKP:

  • Dalam PMK No. 23/2014, batas NJOPTKP ditetapkan Rp 12.000.000 untuk objek yang dikenai PBB pusat (PBB yang dikelola pemerintah pusat atau semacam objek khusus).
  • Namun untuk PBB-P2 (daerah), ketentuan dasar tetap merujuk UU PDRD, yakni batas minimum Rp 10.000.000 sebagai nilai NJOPTKP minimal bagi wajib pajak daerah.
  • Daerah dapat meningkatkan batas NJOPTKP mereka secara lokal, asalkan tetap tidak di bawah batas minimum nasional.

Dengan demikian, jika di daerah Anda batas NJOPTKP lokal lebih besar dari Rp 10 juta, maka yang berlaku adalah batas lokal tersebut (selama tidak menyalahi peraturan pusat).

Contoh Perhitungan NJOPTKP & PBB

Untuk membuat konsepnya makin nyata, mari kita gunakan contoh sederhana:

Contoh kasus:
Budi memiliki sebidang tanah + bangunan di kota X.
Luas tanah: 300 m²
NJOP tanah per m²: Rp 2.500.000
Luas bangunan: 150 m²
NJOP bangunan per m²: Rp 4.000.000
Batas NJOPTKP daerah setempat: Rp 10.000.000
Tarif PBB di kota X: 0,3 % (0,003)

Langkah perhitungannya:

  1. Hitung NJOP tanah = 300 m² × Rp 2.500.000 = Rp 750.000.000
  2. Hitung NJOP bangunan = 150 m² × Rp 4.000.000 = Rp 600.000.000
  3. Total NJOP = 750.000.000 + 600.000.000 = Rp 1.350.000.000
  4. Kurangi NJOPTKP = 1.350.000.000 – 10.000.000 = Rp 1.340.000.000
  5. NJKP = Rp 1.340.000.000
  6. Hitung PBB terutang = NJKP × tarif 0,3% = 1.340.000.000 × 0,003 = Rp 4.020.000

Jadi, Budi harus membayar Rp 4.020.000 sebagai PBB untuk objek tersebut.

Dampak & Manfaat NJOPTKP

Mengapa NJOPTKP penting? Berikut beberapa manfaatnya:

  1. Keadilan sosial
    Dengan memberikan batas “bebas pajak” untuk sebagian kecil nilai properti, wajib pajak berpenghasilan rendah/menengah tidak terbebani pajak terlalu tinggi.
  2. Pengaturan beban pajak
    Objek properti dengan nilai kecil tidak langsung terkena pajak penuh. Pajak hanya dikenakan pada nilai yang melebihi batas toleransi.
  3. Fleksibilitas daerah
    Daerah dapat menyesuaikan batas NJOPTKP sesuai kondisi wilayahnya, selama tidak di bawah batas minimum yang ditetapkan pusat.
  4. Transparansi dan kepastian hukum
    Dengan ada aturan jelas (PMK, UU), masyarakat tahu kapan dan seberapa besar pengurangan yang berlaku.

Catatan Penting & Tantangan

  1. Perbedaan antar daerah
    Karena NJOPTKP bisa berbeda antar kabupaten/kota, wajib pajak harus mengecek ketetapan lokal agar tidak salah hitung.
  2. Satu objek saja
    Jika Anda punya beberapa properti, hanya satu objek (biasanya yang terbesar) yang berhak mendapatkan pengurangan NJOPTKP.
  3. Revisi berkala
    Pemerintah/kementerian dan daerah dapat melakukan peninjauan batas NJOPTKP secara berkala sesuai inflasi dan kondisi pasar properti.

Kesimpulan

  • NJOPTKP adalah batas nilai properti yang tidak dikenakan pajak dalam perhitungan PBB.
  • Ia berfungsi sebagai pengurang dari NJOP untuk mendapatkan dasar kena pajak (NJKP).
  • Besaran dan penerapannya diatur melalui UU PBB / UU PDRD dan diperjelas melalui PMK No. 23/2014 serta peraturan daerah.
  • Dengan memahami NJOPTKP, Anda bisa menghitung PBB dengan lebih adil dan tepat, serta tahu hak Anda sebagai wajib pajak.

Perbedaan BPHTB dan PPh Pengalihan Tanah/Bangunan: Jangan Salah Kaprah!

0
BPHTB dan PPh Final Pengalihan Tanah
BPHTB dan PPh Final Pengalihan Tanah

Bagi banyak orang, membeli rumah, tanah, atau ruko adalah momen penting dalam hidup. Tapi di balik transaksi properti, ada dua jenis pajak yang sering membingungkan masyarakat: BPHTB (Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan) dan PPh (Pajak Penghasilan) atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan.

Keduanya sama-sama muncul dalam transaksi jual beli tanah atau bangunan, tapi jangan keliru: subjek, tarif, dasar hukum, dan kewajibannya berbeda. Artikel ini akan membedah perbedaan BPHTB dan PPh tanah/bangunan dengan bahasa sederhana, supaya Anda tidak lagi bingung saat berhadapan dengan notaris atau Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).

Apa Itu PPh Pengalihan Tanah/Bangunan?

PPh pengalihan tanah/bangunan adalah pajak yang dibebankan kepada pihak penjual (orang pribadi atau badan) saat melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan.

Dasar hukum:

  • PP 34 Tahun 2016 tentang PPh atas pengalihan hak atas tanah/bangunan.
  • PMK-261/PMK.03/2016 tentang tata cara pemungutan, penyetoran, dan pelaporan.

👉 Sederhananya, PPh ini adalah “pajak jual” yang harus dibayar penjual sebelum akta jual beli bisa ditandatangani oleh PPAT.

Tarif PPh Pengalihan

  • Umum: 2,5% dari nilai bruto pengalihan.
  • Khusus rumah sederhana atau rusun sederhana oleh developer: 1%.

Apa Itu BPHTB?

BPHTB (Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan) adalah pajak yang dibebankan kepada pihak pembeli atau penerima hak atas tanah/bangunan.

Dasar hukum:

  • UU No. 20 Tahun 2000 tentang BPHTB (perubahan dari UU No. 21 Tahun 1997).
  • Kewenangan pemungutan diserahkan ke pemerintah daerah (Pemda).

👉 Jadi, BPHTB adalah “pajak beli” yang harus dibayar pembeli saat mendaftarkan balik nama di kantor pertanahan (BPN/ATR).

Tarif BPHTB

  • 5% dari Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP), dikurangi dengan NPOPTKP (nilai tidak kena pajak) yang besarannya berbeda tiap daerah.

Perbedaan Utama BPHTB vs PPh Tanah/Bangunan

AspekPPh Pengalihan Tanah/BangunanBPHTB
Dasar hukumPP 34/2016, PMK-261/2016UU 20/2000
Pihak yang bayarPenjualPembeli
Objek pajakPenghasilan penjual dari pengalihan hakPerolehan hak atas tanah/bangunan oleh pembeli
Tarif2,5% (umum), 1% (rumah sederhana)5% × (NPOP – NPOPTKP)
Kapan bayarSebelum akta jual beli ditandatangani PPATSaat balik nama di BPN
Kode billingKAP 411128, KJS 320Diatur Pemda masing-masing
Kategori PajakPemerintah pusat (DJP)Pemerintah daerah

Contoh Kasus Praktis

Kasus 1: Jual Beli Rumah Rp1 Miliar

  • Penjual: Pak Budi.
  • Pembeli: Ibu Sari.
  • NPOPTKP di daerah: Rp300 juta.

Perhitungan PPh Penjual

  • Tarif 2,5% × Rp1.000.000.000 = Rp25 juta.
    👉 Pak Budi harus bayar sebelum akta jual beli ditandatangani.

Perhitungan BPHTB Pembeli

  • NPOP = Rp1.000.000.000 – Rp300.000.000 = Rp700.000.000.
  • BPHTB = 5% × Rp700.000.000 = Rp35 juta.
    👉 Ibu Sari harus bayar saat balik nama sertifikat.

Kasus 2: Penjualan Rumah Sederhana Rp200 Juta oleh Developer

  • Tarif PPh khusus: 1%.
  • PPh = 1% × Rp200.000.000 = Rp2 juta.

BPHTB (jika NPOPTKP = Rp300 juta) → NPOP – NPOPTKP = Rp0 → tidak kena BPHTB.

👉 Di sini terlihat bahwa ada insentif pajak bagi rumah sederhana agar lebih terjangkau.

Hubungan BPHTB dan PPh dalam Transaksi

Dalam satu transaksi properti, dua pajak muncul bersamaan:

  • Penjual bayar PPh.
  • Pembeli bayar BPHTB.

Notaris/PPAT tidak bisa melanjutkan akta jual beli jika bukti pembayaran PPh dan BPHTB belum dilampirkan. Artinya, dua pajak ini adalah syarat mutlak agar transaksi properti sah secara hukum.

Risiko Jika Tidak Dibayar

  1. Akta jual beli batal → PPAT tidak berani menandatangani.
  2. Sertifikat tidak bisa balik nama → BPN menolak jika BPHTB belum lunas.
  3. Sanksi administrasi berupa denda, bunga, atau bahkan pemeriksaan pajak.

Kenapa Ada Dua Pajak?

Pertanyaan yang sering muncul: kenapa harus ada dua pajak sekaligus?

Jawabannya sederhana:

  • PPh pengalihan → untuk pemerintah pusat, karena dianggap penghasilan bagi penjual.
  • BPHTB → untuk pemerintah daerah, karena dianggap perolehan hak baru bagi pembeli.

Dengan kata lain, dua-duanya sah karena subjek pajaknya berbeda.

Tips Agar Transaksi Lancar

  1. Siapkan dana pajak sejak awal → jangan hanya hitung harga rumah, tapi juga PPh dan BPHTB.
  2. Konsultasi ke PPAT → agar perhitungan pajak lebih akurat.
  3. Periksa NPOPTKP daerah → bisa berbeda antar kabupaten/kota.
  4. Gunakan kalkulator pajak online untuk simulasi awal sebelum transaksi.

Kesimpulan

Perbedaan mendasar antara PPh pengalihan hak tanah/bangunan dan BPHTB terletak pada siapa yang bayar dan siapa penerima manfaat pajak.

  • PPh dibayar oleh penjual, tarif 2,5% (umum) atau 1% (rumah sederhana), masuk ke kas negara.
  • BPHTB dibayar oleh pembeli, tarif 5% setelah dikurangi NPOPTKP, masuk ke kas daerah.

👉 Jadi, kalau Anda bertransaksi jual beli properti, jangan kaget kalau ada dua pajak sekaligus. Siapkan anggaran pajak di luar harga transaksi agar tidak menghambat proses di notaris dan BPN.

PPh Pasal 25 atas Orang Pribadi Pengusaha Tertentu: Wajib Tahu, Jangan Sampai Salah Hitung!

0
PPh 25 atas OPTT
PPh 25 atas OPTT

Menjadi seorang pengusaha memang penuh tantangan. Selain harus memikirkan modal, pelanggan, dan strategi pemasaran, ada satu hal yang tak kalah penting: pajak. Nah, salah satu jenis pajak yang sering membingungkan pengusaha kecil dan menengah adalah PPh Pasal 25 untuk Orang Pribadi Pengusaha Tertentu (OPPT).

Kenapa istimewa? Karena OPPT memiliki skema angsuran pajak tersendiri yang berbeda dengan wajib pajak orang pribadi biasa. Artikel ini akan membahas secara lengkap apa itu OPPT, dasar hukum, tarif, kewajiban, hingga pilihan skema pajak yang bisa diambil.

Dasar Hukum PPh Pasal 25 OPPT

PPh Pasal 25 OPPT diatur dalam beberapa regulasi penting:

  1. UU No. 7 Tahun 1983 tentang PPh (terakhir diubah dengan UU No. 36 Tahun 2008).
  2. PMK 215/PMK.03/2018 → tentang penghitungan angsuran PPh bagi WP baru, BUMN, BUMD, WP masuk bursa, dan OPPT.
  3. PMK 147/PMK.03/2017 → tentang tata cara pendaftaran NPWP dan pengukuhan PKP.
  4. PER-14/PJ/2019 → mencabut aturan lama terkait pelaksanaan PPh 25 untuk OPPT.
  5. Surat Edaran, seperti SE-25/PJ/2019 dan SE-77/PJ/2010, yang memberi petunjuk teknis pengawasan PPh Pasal 25 Atas Orang Pribadi….

👉 Jadi, OPPT memiliki aturan yang cukup spesifik dan tidak bisa disamakan dengan pengusaha orang pribadi pada umumnya.

Siapa Itu Orang Pribadi Pengusaha Tertentu?

Menurut Pasal 1 angka 4 PMK 215/2018, OPPT adalah:

“Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha perdagangan atau jasa, tidak termasuk jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas, pada satu atau lebih tempat kegiatan usaha yang berbeda dengan tempat tinggal Wajib Pajak.” PPh Pasal 25 Atas Orang Pribadi…

Contohnya:

  • Pak Andi tinggal di Bandung, tapi punya toko kelontong di Jakarta dan kios pulsa di Bekasi.
  • Ibu Sari tinggal di Surabaya, tapi punya usaha laundry di Malang dan warung makan di Sidoarjo.

Karena tempat usaha berbeda dengan tempat tinggal, mereka dikategorikan sebagai OPPT.

Kewajiban Pendaftaran NPWP

OPPT memiliki kewajiban khusus terkait NPWP:

  • NPWP Domisili → didaftarkan di KPP sesuai tempat tinggal.
  • NPWP Cabang (NITKU) → didaftarkan di akun coretax NPWP pusat.

👉 Jadi, kalau punya 3 cabang usaha di lokasi berbeda, wajib punya NPWP cabang (NITKU) untuk tiap-tiap tempat usaha PPh Pasal 25 Atas Orang Pribadi….

Tarif dan Cara Hitung PPh Pasal 25 OPPT

Tarif PPh 25 untuk OPPT ditetapkan 0,75% dari omzet (peredaran bruto) per bulan dari masing-masing tempat usaha PPh Pasal 25 Atas Orang Pribadi….

Kode billing:

  • MAP 411125
  • KJS 101

📌 Penting dicatat: angsuran PPh Pasal 25 ini bukan pajak final. Angsuran tersebut akan menjadi kredit pajak saat menghitung PPh terutang di akhir tahun.

Jatuh Tempo Pembayaran

  • Paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir.
  • Bukti validasi setoran dianggap sebagai penyampaian SPT Masa PPh Pasal 25 PPh Pasal 25 Atas Orang Pribadi….

Contoh Perhitungan

Kasus 1: Usaha Toko Kelontong

Pak Budi memiliki toko kelontong di Yogyakarta. Omzet bulan Januari = Rp100 juta.

  • Angsuran PPh Pasal 25 = 0,75% × Rp100 juta = Rp750 ribu.

Kasus 2: Punya 2 Cabang

Ibu Lina punya usaha laundry di 2 lokasi:

  • Cabang A omzet Januari = Rp50 juta.
  • Cabang B omzet Januari = Rp70 juta.

Maka, masing-masing cabang hitung PPh Pasal 25 sendiri:

  • Cabang A = 0,75% × Rp50 juta = Rp375 ribu.
  • Cabang B = 0,75% × Rp70 juta = Rp525 ribu.
    👉 Total setor = Rp900 ribu.

Hubungan dengan PP 23 Tahun 2018 (Tarif Final UMKM 0,5%)

OPPT dengan omzet ≤ Rp4,8 miliar setahun bisa memilih:

  1. Skema PP 23/2018 → cukup bayar 0,5% final dari omzet, tanpa angsuran 0,75%.
  2. Skema Umum (PPh Pasal 25) → bayar angsuran 0,75% per bulan, yang nanti jadi kredit pajak PPh Pasal 25 Atas Orang Pribadi….

👉 Jadi, pengusaha bisa memilih mana yang lebih menguntungkan: bayar final 0,5% atau ikut skema umum 0,75% yang bisa dikreditkan.

Risiko Jika Tidak Patuh

  1. Dikenakan STP (Surat Tagihan Pajak) jika tidak setor tepat waktu.
  2. Sanksi bunga atas keterlambatan pembayaran.
  3. Pemeriksaan pajak jika ada ketidaksesuaian omzet di cabang dengan laporan SPT Tahunan.

Tips Agar Tidak Bingung dengan PPh Pasal 25 OPPT

  • Pisahkan pencatatan omzet tiap cabang → jangan dicampur dengan omzet pribadi di domisili.
  • Disiplin setor tiap bulan sebelum tanggal 15.
  • Konsultasi dengan AR (Account Representative) di KPP agar tidak salah memilih skema (PP 23 atau Pasal 25).
  • Gunakan e-Billing Coretax untuk membuat kode billing dengan MAP 411125 KJS 101.

Kesimpulan

PPh Pasal 25 bagi Orang Pribadi Pengusaha Tertentu (OPPT) adalah kewajiban unik yang hanya berlaku bagi pengusaha dengan usaha di lokasi berbeda dari domisili. Tarifnya 0,75% dari omzet bulanan, dengan kewajiban punya NPWP cabang di tiap lokasi usaha.

Namun, bagi yang omzetnya ≤ Rp4,8 miliar per tahun, ada pilihan lebih ringan melalui skema PP 23 Tahun 2018 (0,5% final).

👉 Intinya, jangan sampai salah pilih skema atau terlambat bayar. Dengan disiplin membayar PPh 25 OPPT, usaha lebih tenang, laporan pajak lebih aman, dan risiko sanksi bisa dihindari.

Pajak atas Warisan: Apakah Harta Warisan Kena Pajak? Ini Penjelasan Lengkapnya

0
pajak atas rumah warisan
pajak atas rumah warisan

Pendahuluan

Banyak orang masih bingung dengan satu pertanyaan sederhana tapi penting: “Apakah warisan kena pajak?”. Saat seseorang wafat dan meninggalkan harta berupa rumah, tanah, tabungan, atau saham, maka harta itu akan jatuh ke tangan ahli waris. Namun, di sisi lain muncul pertanyaan: apakah ahli waris wajib membayar pajak dari harta warisan yang diterima?

Jawabannya tidak sesederhana “iya” atau “tidak”. Ada aturan yang secara khusus mengatur soal warisan dalam pajak, terutama dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh) dan Undang-Undang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (UU BPHTB).

Mari kita bahas satu per satu dengan lebih rinci.

Warisan dalam Perspektif Pajak Penghasilan (UU PPh)

Dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a UU PPh, disebutkan bahwa:

“Warisan bukan merupakan objek pajak penghasilan.”

Artinya, harta yang diterima ahli waris dari pewaris tidak dianggap penghasilan yang dikenakan pajak. Jika seseorang meninggal dan ahli warisnya menerima rumah, tanah, tabungan, atau deposito, maka penerimaan itu bukanlah objek PPh.

👉 Jadi, ahli waris tidak membayar PPh atas harta yang diwarisi.

Namun, ada hal penting yang perlu dicatat:

  • Meski warisan bukan objek PPh, penghasilan yang timbul dari warisan tetap kena pajak. Misalnya:
    • Warisan berupa rumah yang kemudian disewakan → penghasilan sewa kena PPh.
    • Warisan berupa deposito → bunga deposito kena PPh Final.
    • Warisan berupa saham → dividen yang diterima kena PPh.

Warisan dalam Perspektif BPHTB

Berbeda dengan PPh, ketika harta warisan berupa tanah dan/atau bangunan berpindah tangan, maka bisa timbul BPHTB (Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan).

Dasarnya adalah UU No. 20 Tahun 2000 tentang BPHTB.

  • Ahli waris wajib membayar BPHTB sebesar 5% dari nilai perolehan, setelah dikurangi dengan NPOPTKP (Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak) yang besarannya ditentukan oleh pemerintah daerah.
  • Namun, BPHTB atas warisan baru terutang ketika dilakukan pendaftaran balik nama di kantor pertanahan (BPN/ATR), bukan langsung saat pewaris meninggal.

Contoh:

  • Ahli waris menerima rumah warisan senilai Rp1 miliar.
  • NPOPTKP di daerah tersebut = Rp300 juta.
  • Dasar pengenaan pajak (NPOP – NPOPTKP) = Rp700 juta.
  • BPHTB = 5% × Rp700 juta = Rp35 juta.

👉 Artinya, meski warisan tidak kena PPh, tetap ada kewajiban BPHTB ketika ahli waris mengurus balik nama sertifikat.

Warisan Belum Dibagi: Status Perpajakan

Ada juga situasi di mana warisan belum dibagi dan masih dikuasai oleh para ahli waris. Dalam hal ini, menurut Pasal 2 ayat (1) huruf c UU PPh, warisan yang belum terbagi dianggap sebagai subjek pajak tersendiri.

Artinya:

  • Warisan yang belum dibagi harus memiliki NPWP atas nama “Harta Warisan yang Belum Dibagi”.
  • Jika warisan itu menghasilkan penghasilan (misalnya dari usaha, sewa, bunga, dll.), maka penghasilan itu harus dilaporkan dan dikenakan pajak.
  • Ketika warisan sudah dibagi, maka kewajiban pajaknya berpindah ke masing-masing ahli waris.

Contoh Kasus Praktis

Kasus 1: Warisan Rumah

Pak Ahmad wafat dan meninggalkan rumah senilai Rp800 juta untuk anaknya, Budi.

  • Dari sisi PPh: Budi tidak kena pajak karena warisan bukan objek PPh dengan catatan tetap mengurus Surat Keterangan Bebas (SKB Pengalihan atas Waris).
  • Dari sisi BPHTB: saat balik nama, Budi harus bayar BPHTB. Jika NPOPTKP = Rp300 juta → DPP = Rp500 juta → BPHTB = 5% × Rp500 juta = Rp25 juta.

Kasus 2: Warisan Tanah Belum Dibagi

Bu Siti wafat meninggalkan sebidang tanah yang belum langsung dibagi kepada tiga anaknya.

  • Warisan yang belum dibagi dianggap sebagai subjek pajak.
  • Jika tanah itu disewakan dengan penghasilan Rp120 juta setahun, maka penghasilan itu dikenakan PPh sesuai tarif progresif dan dilaporkan dengan NPWP warisan yang belum dibagi.

Kasus 3: Warisan Deposito

Pak Tono meninggalkan deposito Rp2 miliar untuk anaknya.

  • Warisan deposito bukan objek PPh.
  • Namun, bunga deposito yang muncul setelah warisan berpindah tangan tetap kena PPh Final 20%.

Risiko Jika Tidak Memenuhi Kewajiban Pajak Warisan

  1. Sertifikat tidak bisa dibalik nama di BPN karena BPHTB belum dibayar.
  2. SP2DK atau pemeriksaan jika penghasilan dari warisan belum dibagi tidak dilaporkan.
  3. Sanksi administrasi berupa bunga dan denda jika keterlambatan pembayaran pajak.

Manfaat Memahami Pajak Warisan

  • Membantu ahli waris mengurus harta peninggalan dengan tenang tanpa takut bermasalah hukum.
  • Mencegah konflik antar ahli waris karena kewajiban pajak jelas.
  • Memberi kepastian legalitas aset, terutama tanah dan bangunan.

Tips Bagi Ahli Waris

  1. Segera urus NPWP “warisan belum dibagi” jika aset masih dalam status bersama.
  2. Konsultasi dengan notaris/PPAT untuk menghitung BPHTB agar tidak salah bayar.
  3. Jangan lupa laporkan penghasilan dari aset warisan dalam SPT Tahunan.
  4. Siapkan dana BPHTB sebelum balik nama sertifikat tanah/bangunan.

Kesimpulan

Harta warisan pada dasarnya bukan objek PPh sesuai UU PPh. Artinya, ahli waris tidak perlu membayar pajak penghasilan atas harta yang diwarisi dengan catatan tetap harus mengurus SKB Pengalihan atas waris dalam hal harta yang diwariskan berupa tanah atau bangunan dan kewajiban membayar BPHTB sebesar 5% dari nilai perolehan setelah NPOPTKP.

Selain itu, jika warisan menghasilkan penghasilan (misalnya rumah disewakan atau deposito berbunga), maka penghasilan itu tetap dikenakan pajak. Dan jika warisan belum dibagi, maka statusnya adalah subjek pajak tersendiri yang wajib memiliki NPWP dan melaporkan penghasilan.

👉 Intinya, warisan memang rezeki, tapi jangan lupa ada kewajiban pajak yang perlu diperhatikan agar semua proses legal, aman, dan tidak menimbulkan masalah di kemudian hari.