Minggu, November 9, 2025
20.7 C
Indonesia
Beranda blog

Terlambat Upload e-Faktur? Ketahui Kenapa Batas Waktu Jadi Tanggal 20 Bulan Berikutnya!

0
upload faktur pajak mundur tanggal 20

Dalam era digitalisasi pajak, kewajiban pelaporan semakin mengikat — bukan hanya soal benar atau salah, tetapi juga soal tepat waktu. Bagi Anda yang merupakan Pengusaha Kena Pajak (PKP) atau bertugas sebagai petugas pajak internal, satu perubahan penting dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER‑11/PJ/2025 (PER-11/2025) dapat berdampak besar: batas waktu upload e-Faktur kini diundur menjadi tanggal 20 bulan berikutnya.

Lalu, apa arti perubahan ini? Bagaimana pelaksanaannya? Dan yang paling penting: bagaimana agar Anda tidak terlambat dan terkena sanksi? Simak penjelasannya berikut ini dengan bahasa sederhana, mudah dipahami, dan bermanfaat untuk pelaku usaha maupun konsultan pajak.

Apa yang Berubah?

Sebelumnya, berdasarkan aturan terdahulu (seperti Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER‑03/PJ/2022 dan perubahannya), batas waktu upload/unggah e-Faktur ke sistem DJP adalah tanggal 15 bulan berikutnya setelah tanggal pembuatan faktur pajak.

Dengan PER-11/2025, ketentuan baru muncul pada Pasal 44 ayat (1) yang menyebutkan bahwa:

“E-Faktur wajib di-unggah ke Direktorat Jenderal Pajak menggunakan modul e-Faktur … paling lambat tanggal 20 (dua puluh) bulan berikutnya setelah tanggal pembuatan e-Faktur.”

Artinya: Jika Anda membuat faktur pajak tanggal 5 Mei 2025, maka Anda diberi waktu hingga 20 Juni 2025 untuk melakukan upload. Jika melewati, bisa dianggap faktur tidak sah.

Kenapa Perubahan Ini Penting untuk Anda?

Waktu Lebih “Longgar”

Dengan tambahan lima hari dari yang sebelumnya (tanggal 15 → tanggal 20), PKP punya ruang lebih untuk menyiapkan upload faktur—baik dari sisi administratif maupun teknis.

Risiko Validitas Faktur

Jika e-Faktur dibuat namun tidak di-upload dan disetujui DJP dalam batas waktu, maka faktur tersebut bukan merupakan Faktur Pajak yang sah. Hal ini diatur dalam Pasal 44 ayat (3) PER-11/2025. Akibatnya, pembeli tidak bisa mengkreditkan PPN masukan dari faktur itu.

Penyesuaian Sistem & SOP

Bagi perusahaan dan PKP, sistem e-Faktur dan modul internal harus disesuaikan agar upload dilakukan tepat waktu. Kesalahan teknis atau terlambat bisa berdampak administratif.

Bagaimana Pelaksanaan di Lapangan?

Berikut ilustrasi langkah praksis untuk memastikan kewajiban Anda terpenuhi:

  • Membuat e-Faktur: PKP membuat e-Faktur sesuai tanggal penyerahan BKP/JKP.
  • Upload ke DJP: Setelah dibuat, faktur harus di-upload melalui modul e-Faktur (termasuk sistem yang terintegrasi seperti CoreTax) dan memperoleh persetujuan dari DJP.
  • Batas upload: Tidak lebih dari tanggal 20 bulan berikutnya. Contoh: Faktur 27 Mei 2025 → upload paling lambat 20 Juni 2025.
  • Dokumentasi: Bukti persetujuan DJP harus disimpan sebagai bagian dari administrasi pajak.
  • Jika terlambat: Faktur dianggap tidak sah. PPN masukan tidak dapat dikreditkan bagi pembeli, dan PKP penjual berpotensi menghadapi sanksi administratif.

Hal-Hal yang Perlu Diwaspadai

  • Jangan menunda upload—meskipun batas 20 hari lebih longgar, keterlambatan tetap bisa terjadi jika ada gangguan teknis atau administratif.
  • Perubahan digit kode dan nomor seri faktur juga terjadi di PER-11/2025 (kode terdiri 17 digit). Jadi pastikan sistem dan modul Anda ter-update.
  • Masa transisi: Meskipun berlaku mulai 22 Mei 2025, PKP harus segera adaptasi agar tidak tertinggal.
  • Sistem internal perusahaan: Pastikan ada SOP internal, monitoring tanggal pembuatan dan upload faktur agar tidak terjadi celah administrasi.

Kesimpulan

Perubahan batas waktu upload e-Faktur dari tanggal 15 menjadi tanggal 20 bulan berikutnya melalui PER-11/2025 merupakan relaksasi penting yang memberi waktu ekstra bagi PKP dalam mengunggah faktur. Tetapi, relaksasi bukan berarti bisa santai. Keterlambatan tetap berisiko.

Bagi Anda sebagai pelaku usaha, bagian pajak keuangan, atau konsultan pajak—hal ini adalah sinyal untuk memperkuat sistem internal, memastikan modul e-Faktur ter-update, dan melakukan upload tepat waktu. Karena, di era digitalisasi pajak ini, kepatuhan tepat waktu sama pentingnya dengan kepatuhan secara materiil.

SPDN vs SPLN: Mengenal Status Pajak agar Tak Salah Lapor dan Tak Kena Denda

0
subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri

Pernahkah kamu mendengar istilah Subjek Pajak Dalam Negeri (SPDN) dan Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN)?
Kedua istilah ini sering muncul dalam dunia perpajakan, tapi banyak orang belum memahami perbedaan mendasarnya — padahal status ini menentukan di mana, kapan, dan bagaimana pajak penghasilan (PPh) dikenakan.

Kesalahan menentukan status pajak bisa berakibat fatal.
Bayangkan seseorang bekerja di luar negeri, tapi masih dianggap wajib pajak dalam negeri — ia bisa kena pajak berganda.
Sebaliknya, perusahaan asing yang dianggap luar negeri padahal punya “kendali manajemen” di Indonesia, bisa dikenai pajak domestik penuh.

Agar tidak salah langkah, yuk pahami dengan cara yang sederhana tapi menyeluruh.

Dasar Hukum Penentuan SPDN dan SPLN

Aturan mengenai penentuan status subjek pajak diatur dalam dua regulasi utama:

  • Pasal 2 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 : tentang Pajak Penghasilan (PPh) — yang merupakan perubahan keempat atas UU Nomor 7 Tahun 1983.
  • PER-43/PJ/2011 : tentang Penentuan Subjek Pajak Dalam Negeri dan Subjek Pajak Luar Negeri (berlaku sejak 28 Desember 2011).

Kedua dasar hukum ini menjelaskan secara rinci siapa saja yang termasuk subjek pajak, serta kriteria untuk menentukan apakah mereka tergolong dalam negeri (SPDN) atau luar negeri (SPLN).

Apa Itu Subjek Pajak?

Menurut Pasal 2 ayat (1) UU PPh, yang menjadi Subjek Pajak adalah:

  • Orang pribadi,
  • Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak,
  • Badan, dan
  • Bentuk Usaha Tetap (BUT).

Setiap subjek pajak ini akan dikategorikan lebih lanjut menjadi SPDN atau SPLN, tergantung tempat tinggal, lokasi kegiatan, dan kedudukan hukumnya.

Siapa yang Termasuk Subjek Pajak Dalam Negeri (SPDN)?

Menurut Pasal 3 ayat (1) PER-43/PJ/2011, yang termasuk SPDN adalah:

1️⃣ Orang pribadi yang:

  • Bertempat tinggal di Indonesia, atau
  • Berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, atau
  • Dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.

2️⃣ Badan

Yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia.

3️⃣ Warisan yang belum terbagi

Sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak.

Penjelasan Lebih Dalam Tentang SPDN untuk Orang Pribadi

Menentukan apakah seseorang termasuk SPDN tidak sekadar melihat paspor atau KTP. Ada tiga kriteria penting:

a. Tempat Tinggal (Place of Residence)

Seseorang dianggap tinggal di Indonesia jika memiliki tempat tinggal permanen (tidak sementara dan bukan persinggahan) untuk berdiam dan menjalankan kegiatan sehari-hari.

Contohnya:
Seseorang yang memiliki rumah di Jakarta, tinggal bersama keluarga, aktif bekerja, dan ikut kegiatan sosial — maka ia dianggap SPDN meskipun sering bepergian ke luar negeri.

b. Lama Tinggal Lebih dari 183 Hari

Lamanya kehadiran dihitung kumulatif selama 12 bulan, baik berturut-turut maupun terputus-putus. Bahkan bagian dari hari dihitung satu hari penuh.

c. Niat Bertempat Tinggal di Indonesia

Seseorang dianggap punya niat tinggal jika:

  • Memiliki visa kerja atau KITAS lebih dari 183 hari, atau
  • Menyewa rumah dan memindahkan keluarga ke Indonesia.

Kapan Seseorang Menjadi Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN)?

Orang pribadi atau badan yang tidak memenuhi kriteria SPDN otomatis menjadi SPLN.

Secara sederhana:

SPDN = tinggal atau berniat tinggal di Indonesia.
SPLN = tinggal permanen di luar Indonesia.

Namun, untuk Warga Negara Indonesia (WNI) yang bekerja di luar negeri, ada aturan khusus:

WNI di Luar Negeri >183 Hari

Menurut Pasal 12 PER-43/PJ/2011,
WNI yang bekerja di luar negeri lebih dari 183 hari dalam 12 bulan akan dianggap SPLN.

Syaratnya, harus bisa menunjukkan dokumen penduduk luar negeri, seperti:

  • Green Card,
  • Identity Card luar negeri,
  • Student Card,
  • Surat keterangan dari Kedutaan Besar RI,
  • Atau bukti alamat luar negeri di paspor.
  • Jika tidak memiliki dokumen itu, maka masih dianggap SPDN, meskipun sudah berada di luar negeri.

📌 Catatan penting:
WNI yang menjadi SPLN tidak dikenai pajak atas penghasilan dari luar negeri,
namun tetap wajib pajak jika memperoleh penghasilan dari Indonesia.

Penentuan Status SPDN untuk Badan Usaha

Sebuah badan dianggap sebagai Subjek Pajak Dalam Negeri (SPDN) jika:

  • Didirikan berdasarkan hukum Indonesia,
  • Terdaftar di Indonesia, atau
  • Bertempat kedudukan di Indonesia.

Badan yang memiliki:

  • kantor pusat di Indonesia,
  • tempat administrasi dan keuangan di Indonesia,
  • atau pengurus yang menetap dan mengambil keputusan strategis di Indonesia,
  • semuanya dikategorikan sebagai SPDN.

Dengan kata lain, meskipun pemilik sahamnya orang asing, selama pusat pengendaliannya di Indonesia, maka badan tersebut adalah SPDN.

Bentuk Usaha Tetap (BUT): Antara SPLN dan SPDN

Perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia melalui Bentuk Usaha Tetap (BUT) tetap dikenai pajak di Indonesia, karena dianggap memiliki “kehadiran ekonomi tetap”.

BUT bisa berupa:

  • kantor cabang,
  • pabrik,
  • gudang,
  • proyek konstruksi, atau
  • agen yang bertindak untuk dan atas nama perusahaan luar negeri.

Jika kegiatan di Indonesia sudah dikelola dan dikendalikan dari dalam negeri, maka statusnya bisa berubah dari SPLN menjadi SPDN.

Kapan Kewajiban Pajak Dimulai dan Berakhir?

Menurut Pasal 2A UU PPh dan Pasal 17 PER-43/PJ/2011,
status pajak seseorang atau badan dimulai sejak memenuhi syarat subjektif dan objektif.

  • SPDN: sejak mulai tinggal, berniat tinggal, atau menjalankan usaha di Indonesia.
  • SPLN: sejak meninggalkan Indonesia untuk selamanya atau mulai berdomisili di luar negeri.

Orang Pribadi yang Meninggalkan Indonesia untuk Selamanya

Jika seorang SPDN meninggalkan Indonesia untuk menetap di luar negeri, ia beralih status menjadi SPLN sejak hari keberangkatan.

Namun, sebelum itu, ia wajib melaporkan SPT Tahunan terakhirnya. untuk melunasi semua kewajiban pajak tahun berjalan.

Hal ini penting agar tidak menimbulkan tagihan atau denda di kemudian hari.

Kesimpulan: Menentukan Status Pajak = Menentukan Hak dan Kewajiban

Menentukan apakah seseorang atau badan adalah SPDN atau SPLN bukan sekadar formalitas administrasi. Status ini berpengaruh langsung pada:

  • kewajiban pelaporan SPT,
  • pengenaan pajak atas penghasilan,
  • serta perlakuan pajak atas aset di dalam dan luar negeri.

Kesalahan menentukan status bisa menimbulkan pajak berganda atau penghindaran pajak yang tidak sah. Karena itu, penting bagi setiap wajib pajak — baik individu maupun badan — untuk memahami statusnya dengan benar, dan memastikan dokumen-dokumen pendukung seperti KITAS, kontrak kerja, atau surat keterangan domisili selalu diperbarui.

Cara Mudah Menyampaikan Pemberitahuan Norma Penghitungan Penghasilan Netto (NPPN) di Coretax

0
Norma Penghitungan Penghasilan Netto NPPN

Bayangkan kamu seorang pedagang, freelancer, atau pemilik usaha kecil. Setiap bulan kamu mencatat pengeluaran dan pemasukan, tapi tidak semuanya punya bukti lengkap. Kadang tidak sempat bikin laporan keuangan, kadang bukti belanja sudah hilang.

Kalau kamu merasa begitu, tenang — kamu tidak sendiri.
Banyak pelaku usaha kecil dan menengah di Indonesia menghadapi hal yang sama.
Nah, untuk memudahkan para pelaku usaha seperti kamu, pemerintah menyediakan cara lebih sederhana dalam menghitung pajak, yang disebut Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN).

Namun, agar bisa menggunakannya, ada syarat penting: kamu harus menyampaikan pemberitahuan penggunaan norma kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
Tanpa pemberitahuan, kamu tidak bisa menggunakan norma tersebut — dan harus menghitung pajak dengan cara pembukuan lengkap.

Mari kita bahas apa itu norma, siapa yang boleh menggunakannya, dan bagaimana cara pemberitahuannya, dengan bahasa sederhana yang bisa langsung kamu pahami.

Apa Itu Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN)?

Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN) adalah cara sederhana untuk menghitung laba bersih (penghasilan neto) dari usaha atau pekerjaan bebas tanpa harus membuat pembukuan lengkap.

Pemerintah melalui Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-17/PJ/2015 menetapkan besaran norma untuk berbagai jenis usaha di seluruh daerah di Indonesia.

Sebagai contoh:

  • Usaha toko kelontong di Jawa Timur punya norma penghasilan neto misalnya 30% dari omzet.
  • Usaha bengkel di Jakarta mungkin punya norma 25%.
  • Profesi dokter umum atau notaris punya norma tertentu pula sesuai ketentuan.

Artinya, jika omzet kamu Rp 500 juta setahun dan norma usahamu 30%, maka laba bersih yang dianggap adalah:
30% × 500 juta = Rp 150 juta.
Nah, Rp 150 juta inilah yang jadi dasar penghitungan PPh (Pajak Penghasilan) kamu.

Dasar Hukum Penggunaan Norma Pajak

Penggunaan norma ini diatur oleh beberapa regulasi penting, antara lain:

  • Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan.
  • Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 (untuk UMKM tarif final 0,5%) — meski berbeda konsep, keduanya saling berkaitan.
  • PER-17/PJ/2015 tentang Norma Penghitungan Penghasilan Neto.
  • Pasal 14 ayat (2) UU PPh, yang menyatakan bahwa wajib pajak orang pribadi boleh menggunakan norma asal menyampaikan pemberitahuan kepada DJP dalam jangka waktu tertentu.

Siapa yang Boleh Menggunakan Norma?

Tidak semua wajib pajak boleh menggunakan norma.
Ada batasan dan kriteria khusus, agar mekanisme ini tetap adil dan proporsional.

  • ✅ 1. Hanya untuk Wajib Pajak Orang Pribadi : Norma tidak berlaku untuk badan usaha seperti PT atau CV. Namun, pengusaha perseorangan, pedagang, freelancer, dan profesional bisa menggunakannya.
  • ✅ 2. Omzet Tidak Lebih dari Rp 4,8 Miliar per Tahun : Batas ini ditentukan agar hanya usaha kecil-menengah yang boleh menggunakan norma. Kalau omzet kamu sudah melebihi Rp 4,8 miliar setahun, kamu wajib melakukan pembukuan lengkap.
  • ✅ 3. Harus Menyampaikan Pemberitahuan Tertulis ke DJP : Ini bagian terpenting. Jika tidak ada surat pemberitahuan, maka kamu dianggap wajib melakukan pembukuan, bukan norma.

Bagaimana Cara Menyampaikan Pemberitahuan Penggunaan Norma?

Berdasarkan ketentuan PER-17/PJ/2015 dan PER-4/PJ/2009, pemberitahuan penggunaan norma harus dilakukan dalam jangka waktu 3 bulan pertama tahun pajak. Artinya, untuk tahun pajak 2025, batasnya adalah 31 Maret 2025. di tahun 2025 ini pemberitahuan norma penghitungan penghasilan netto (NPPN) diajukan melalui coretax, bagaimana caranya langsung saja ikuti step by stepnya berikut ini

Login ke Akun Coretax

untuk mengajukan pemberitahuan norma penghitungan silahkan buka browser dan buka alamat coretax di https://coretaxdjp.pajak.go.id seperti gambar dibawah berikut ini.

Berikutnya silahkan login dengan menggunakan NIK dan password akun coretax anda

Selanjutnya masuk ke menu Layanan Wajib Pajak – dan pilih sub menu Buat Permohonan Layanan Administrasi

Berikutnya akan muncul tampilan seperti gambar dibawah. silahkan pilih Pemberitahuan Penggunaan NPPN dan Pembukuan Stelsel Kas

Selanjutnya pilih menu AS.04-01 Pemberitahuan Penggunaan Norma Penghitungan Penghasilan Netto (NPPN)

Berikutnya akan muncul Popup notifikasi silahkan pilih Simpan

Step berikutnya otomatis sistem akan membuat Kasus seperti gambar dibawah ini dan silahkan pilih menu Alur Kasus

Silahkan scroll ke bawah dan Lengkapi isian kolom yang bertanda bintang

Berikutnya silahkan isi kolom Tahun Pajak, Peredaran Bruto , Kota/Kabupaten sesuai kondisi wajib pajak

Selanjutnya centang Pernyataan dan klik Simpan

Berikutnya silahkan pilih menu Create PDF

Lanjutkan mengisi kolom yang bertanda bintang dan klik Simpan

Berikutnya akan muncul notifikasi Success dan klik menu Sign

Selanjutnya lakukan tanda tangan elektronik dengan mengisi kolom Signer Password dan isikan dengan kode otorisasi yang sudah kita punyai (Passphrase) dan klik Simpan dan muncul notifikasi Signing Request Successfully sent

Selanjutnya kita scroll ke bawah dan klik menu Kirim

Berikutnya tunggu beberapa detik tampilan akan berubah dan sistem akan memproses pemberitahuan tersebut secara otomatis

Selanjutnya kita bisa mengunduh Pemberitahuan Norma Penghitungan Penghasilan Netto (NPPN) yang sudah berhasil kita buat dan Bukti Penerimaan Elektronik (BPE) nya

Berikut ini contoh tampilan Pemberitahuan Norma Penghitungan Penghasilan Netto (NPPN) yang sudah berhasil kita buat dan Bukti Penerimaan Elektronik (BPE) nya

Kelebihan Menggunakan Norma

  • Lebih Sederhana : Tidak perlu mencatat seluruh pengeluaran secara detail. Cukup mengetahui total omzet setahun.
  • Hemat Biaya dan Waktu : Tidak perlu menyewa akuntan atau membuat laporan keuangan kompleks.
  • Legal dan Diakui DJP : Selama sudah menyampaikan pemberitahuan, hasil perhitungan pajak berdasarkan norma sah secara hukum.
  • Cocok untuk UMKM dan Freelancer : Seperti penjual online, pedagang pasar, tukang, konsultan, hingga seniman.

Risiko Jika Tidak Menyampaikan Pemberitahuan

Banyak pelaku usaha tidak tahu bahwa penggunaan norma harus diberitahukan secara resmi.
Akibatnya, ketika diperiksa oleh fiskus, DJP bisa menolak penggunaan norma dan menganggap wajib pajak wajib melakukan pembukuan.

Konsekuensinya:

  • Koreksi pajak (PPh terutang dihitung ulang berdasarkan pembukuan).
  • Sanksi administrasi (bunga, denda 2% per bulan).
  • Potensi dianggap tidak patuh dalam sistem kepatuhan DJP.

Jadi, meski sederhana, pemberitahuan norma ini krusial dan tidak boleh diabaikan.

Kesimpulan: Norma Adalah Jalan Tengah bagi Wirausaha yang Ingin Taat Pajak Tanpa Ribet

Norma Penghitungan Penghasilan Neto adalah bentuk keadilan pajak — memudahkan pelaku usaha kecil agar tetap bisa melapor pajak dengan sederhana dan efisien.
Namun, kemudahan itu hanya berlaku jika kamu aktif menyampaikan pemberitahuan penggunaan norma di awal tahun pajak.

Jadi, bagi kamu pelaku usaha kecil, pedagang, atau pekerja mandiri, jangan tunda lagi.
Gunakan hakmu, laporkan normamu, dan jadilah bagian dari wajib pajak yang cerdas serta patuh hukum — tanpa harus pusing dengan akuntansi rumit.

Rahasia di Balik Surat Keterangan Bebas (SKB) Pajak: Cara Cerdas Agar Tidak Kena Potong PPh

0
SKB Pemotongan Pemunguta PPh

Setiap pelaku usaha, investor, hingga lembaga pemerintah pasti ingin cash flow-nya berjalan lancar tanpa hambatan pajak yang tidak semestinya. Tapi tahukah kamu, ada kalanya pajak yang seharusnya belum terutang malah sudah dipotong oleh pihak lain?

Nah, di sinilah Surat Keterangan Bebas Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan (SKB PPh) berperan penting.
SKB ibarat “surat sakti” dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang memberi izin kepada wajib pajak agar tidak dipotong atau dipungut PPh pada kondisi tertentu yang memang memenuhi syarat.

Artikel ini akan membantu kamu memahami apa itu SKB, siapa yang berhak mengajukannya, bagaimana cara mendapatkannya, dan kenapa SKB ini bisa menjadi strategi cerdas dalam manajemen pajak yang legal dan efisien.

Apa Itu Surat Keterangan Bebas (SKB) Pemotongan/Pemungutan PPh?

Secara sederhana, SKB adalah surat resmi yang diterbitkan oleh DJP yang memberikan pembebasan kepada Wajib Pajak dari kewajiban pemotongan atau pemungutan PPh oleh pihak lain.

Biasanya, PPh dipotong atau dipungut oleh pihak ketiga, seperti:

  • Pemberi kerja (PPh 21),
  • Bendaharawan pemerintah (PPh 22),
  • Importir (PPh 22 Impor),
  • atau pihak yang melakukan transaksi jasa (PPh 23).

Namun, dalam kondisi tertentu, pemerintah memperbolehkan Wajib Pajak untuk tidak dikenakan pemotongan tersebut, karena memang secara fiskal tidak akan terutang PPh pada tahun berjalan. Dan untuk itulah diterbitkan Surat Keterangan Bebas (SKB) PPh.

Dasar Hukum Penerbitan SKB PPh

SKB bukan kebijakan baru — ia memiliki dasar hukum yang kuat dan sudah diatur secara rinci, antara lain:

  • Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 94 Tahun 2010 : tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan PPh dalam Tahun Berjalan.(Menggantikan PP 138 Tahun 2000)
  • Peraturan Direktur Jenderal Pajak (PER) Nomor PER-1/PJ/2011 : tentang Tata Cara Pengajuan Permohonan Pembebasan dari Pemotongan/Pemungutan PPh oleh Pihak Lain.
  • PER-21/PJ/2014 : yang mengubah beberapa ketentuan dalam PER-1/PJ/2011, termasuk tata cara, persyaratan, dan waktu penerbitan SKB.
  • Surat Edaran SE-11/PJ/2011 : yang menjadi pedoman pelaksanaan di lapangan bagi petugas pajak.

Dengan dasar hukum ini, penerbitan SKB dilakukan secara terukur, legal, dan bisa dipertanggungjawabkan.

Siapa yang Berhak Mengajukan SKB PPh?

Tidak semua Wajib Pajak bisa serta-merta mengajukan SKB.
Hanya Wajib Pajak yang dapat membuktikan bahwa mereka tidak akan terutang PPh dalam tahun berjalan yang bisa memperoleh SKB, dengan beberapa kondisi berikut:

1. Wajib Pajak yang Mengalami Kerugian Fiskal

Termasuk di dalamnya:

  • Wajib Pajak yang baru berdiri dan masih dalam tahap investasi.
  • Wajib Pajak yang belum sampai pada tahap produksi komersial.
  • Wajib Pajak yang mengalami keadaan di luar kendali (force majeure), misalnya bencana alam atau krisis besar yang menghentikan operasional.

2. Wajib Pajak yang Berhak Melakukan Kompensasi Kerugian Fiskal

Jika pada tahun-tahun sebelumnya mengalami rugi fiskal dan masih punya hak kompensasi sesuai SPT Tahunan atau keputusan pajak, maka Wajib Pajak ini bisa mengajukan SKB agar tidak terkena potongan PPh sementara labanya belum muncul.

3. Wajib Pajak yang Sudah Membayar Pajak Lebih Besar dari yang Terutang

Jika berdasarkan perhitungan, pajak yang sudah dibayar (misalnya melalui angsuran atau kredit pajak) lebih besar dari pajak yang seharusnya dibayar di tahun berjalan, maka DJP dapat menerbitkan SKB.

4. Wajib Pajak yang Penghasilannya Sudah Dikenakan Pajak Final

Misalnya perusahaan yang penghasilannya dari bunga deposito atau UMKM yang sudah membayar pajak final (PP 55/2022). Namun, perlu diingat: pajak final tidak bisa diajukan SKB, karena sifatnya sudah selesai pada saat dibayar.

PPh yang Tidak Bisa Diajukan SKB

Sesuai Pasal 1 ayat (3) PER-21/PJ/2014, SKB tidak berlaku untuk PPh yang bersifat final, seperti:

  • PPh Final atas bunga deposito, sewa tanah/bangunan, atau jasa konstruksi.
  • PPh Final UMKM (tarif 0,5%).
  • PPh Final transaksi saham, obligasi, atau pengalihan tanah dan bangunan.

Dengan kata lain, SKB hanya bisa diajukan untuk PPh non-final, seperti PPh 21, 22, 22 Impor, dan 23.

Bagaimana Cara Mengajukan SKB PPh?

Langkah-langkahnya cukup sederhana namun perlu ketelitian administratif:

  • Ajukan Surat Permohonan Tertulis Ditujukan kepada Kepala KPP tempat Wajib Pajak terdaftar.
  • Pastikan SPT Tahunan PPh Terakhir Sudah Disampaikan Ini syarat wajib, kecuali bagi perusahaan baru yang masih dalam tahap investasi.
  • Gunakan Formulir Lampiran I PER-1/PJ/2011 Setiap jenis pajak (PPh 21, 22, 22 Impor, dan 23) harus diajukan secara terpisah.
  • Lampirkan Perhitungan PPh yang Diperkirakan Terutang Untuk menunjukkan bahwa pajak yang akan terutang benar-benar kecil atau nihil.
  • Tunggu Proses Verifikasi oleh KPP KPP akan menilai kelengkapan dokumen dan kebenaran alasan permohonan.

Berapa Lama SKB Diterbitkan?

Sesuai Pasal 5 PER-1/PJ/2011:

  • Kepala KPP wajib memberikan keputusan dalam waktu 5 hari kerja sejak permohonan lengkap diterima.
  • Jika dalam 5 hari belum ada keputusan, permohonan dianggap diterima secara otomatis.
  • Dalam hal ini, KPP wajib menerbitkan SKB dalam waktu 2 hari kerja setelahnya.

Artinya, dalam kondisi normal, SKB bisa terbit maksimal dalam 7 hari kerja sejak dokumen dinyatakan lengkap.

Masa Berlaku SKB

SKB berlaku sampai dengan berakhirnya tahun pajak yang bersangkutan.
Jika wajib pajak ingin tetap bebas dari pemotongan di tahun berikutnya, maka permohonan SKB harus diajukan ulang setiap tahun.

Kenapa SKB Penting Bagi Wajib Pajak?

  • Mencegah Overpayment Pajak : SKB melindungi arus kas (cash flow) perusahaan agar tidak ada potongan pajak yang sebetulnya tidak perlu.
  • Meningkatkan Efisiensi Pajak : Dengan SKB, perusahaan tidak perlu menunggu restitusi (pengembalian pajak) di akhir tahun.
  • Memberi Kepastian Hukum : SKB adalah bukti resmi bahwa DJP mengakui kondisi fiskal wajib pajak saat itu.
  • Mendukung Likuiditas Bisnis Baru atau Sektor Investasi : Khususnya bagi perusahaan yang masih dalam tahap investasi dan belum memiliki laba, SKB membantu menjaga kelangsungan pendanaan operasional.

Ilustrasi Kasus: Ketika SKB Jadi Penyelamat

Misalnya, PT X baru berdiri tahun ini dan sedang membangun pabrik. Selama setahun penuh, perusahaan belum menghasilkan pendapatan komersial — artinya, belum ada laba, bahkan masih rugi.

Namun, PT X membeli jasa konsultan dari perusahaan lain. Sesuai aturan, penyedia jasa wajib memotong PPh 23 sebesar 2% atas jasa yang dibayarkan.
Jika tidak ada SKB, PT X akan terus dipotong 2% dari seluruh pembayaran jasa, padahal tahun ini belum punya laba dan nantinya akan rugi.

Dengan SKB, PT X bebas dari potongan PPh 23 karena sudah terbukti tidak akan terutang pajak di tahun berjalan.
Hasilnya, cash flow perusahaan tetap sehat tanpa melanggar ketentuan perpajakan.

Ketentuan Peralihan (PER-21/PJ/2014 Pasal II)

Permohonan SKB yang sudah diterima sebelum aturan baru (PER-21/PJ/2014) tetap diselesaikan berdasarkan aturan lama (PER-1/PJ/2011). Artinya, sistem perpajakan Indonesia tetap memberikan kepastian hukum dan transisi yang adil bagi semua wajib pajak.

Kesimpulan: SKB Adalah Alat Efisiensi Pajak yang Legal dan Cerdas

SKB bukan “jalan pintas untuk bebas pajak”, melainkan alat hukum yang sah untuk menghindari pemotongan pajak yang tidak relevan.
Dengan SKB, wajib pajak bisa mengelola keuangan lebih efisien tanpa khawatir melanggar aturan.

Bagi pebisnis, investor, maupun lembaga yang sedang merintis atau mengalami kerugian fiskal, SKB adalah strategi keuangan legal yang bisa menyelamatkan arus kas dan memperkuat kepercayaan fiskal di mata otoritas pajak.

Bendahara Siaga! Jangan Abaikan Kewajiban Pungut PPN ke Rekanan Non-PKP – Kode 411211-108 Menjadi Penentu!

0
ppn tanggung renteng dipungut instansi pemerintah

Dalam era Coretax yang semakin nyata, bendahara instansi pemerintah (baik pusat maupun daerah) tak bisa lagi santai. Tidak hanya mengadministrasikan anggaran, kini bendahara punya kewajiban perpajakan yang krusial: memungut dan menyetor PPN tanggung renteng dari rekanan yang bukan Pengusaha Kena Pajak (non-PKP), dengan menggunakan kode setoran 411211-108. Peraturan menuntut itu, dan mengabaikannya membawa risiko yang serius.

Mari kita bahas dengan bahasa yang mudah dipahami, apa saja kewajiban, bagaimana metode pelaksanaan, referensi regulasi yang berlaku, serta implikasi bagi bendahara dan instansi jika kewajiban ini diabaikan.

Latar Belakang dan Kenapa Ini Penting

Instansi pemerintah dalam melaksanakan pengadaan barang dan/atau jasa sering menggunakan rekanan yang non-PKP. Ketika rekanan tersebut bukan PKP, maka muncul tantangan: apakah instansi tetap harus memungut PPN? Jawabannya: ya, dalam kondisi tertentu.
Melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 81 Tahun 2024 (PMK-81/2024) ditegaskan bahwa bendahara pemerintah atau instansi yang melakukan penyerahan barang kena pajak (BKP) atau jasa kena pajak (JKP) dari non-PKP wajib memungut, menyetor, dan melaporkan PPN atau PPN &–PPnBM yang terutang.
Selanjutnya, melalui Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER‑11/PJ/2025 pasal 126 ditegaskan bahwa instansi pemerintah yang memperoleh penyerahan dari non-PKP melakukan pungutan dengan setoran menggunakan kode 411211 dan jenis 108 sebagai bukti bahwa instansi telah melakukan pemungutan PPN tanggung renteng.
Dan juga, berdasarkan edaran Surat Edaran Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor 1/PB/2025 yang menguatkan implementasi ketentuan tersebut di lingkungan DJPb, KKPD, dan Satuan Kerja Kementerian/Lembaga.
Dengan demikian: bendahara bukan hanya memproses pembayaran belanja saja — ia juga menjadi pemungut pajak atas transaksi pemerintah dengan non-PKP.

Apa Saja Kewajibannya?

Berikut rangkuman sederhana kewajiban bendahara instansi pemerintah dalam konteks ini:

  • Memastikan, setiap kali instansi membeli BKP atau menerima JKP dari rekanan non-PKP, instansi menjadi pemungut PPN atas transaksi tersebut.
  • Menghitungan PPN berdasarkan tarif yang berlaku (umumnya 11 % hingga 12 % tergantung masa pajak) meskipun rekanan non-PKP tidak menerbitkan faktur pajak.
  • Menyetorkan PPN yang dipungut ke kas negara dengan menggunakan kode setoran 411211-108 sebagai konto yang digunakan instansi pemerintah saat pelaporan.
  • Menyampaikan SPT Masa PPN (atau formulir khusus yang berlaku) sebagai bagian dari pelaporan pemungutan PPN tanggung renteng.
  • Melakukan pencatatan dan bukti administratif yang memadai; memastikan alur pembayaran menunjukkan bahwa PPN telah dipungut dan disetor.

Apa Akibat Bila Kewajiban Diabaikan?

Mengabaikan kewajiban ini bukan sekadar pelanggaran administratif biasa. Berikut beberapa risiko nyata yang harus diperhatikan oleh bendahara atau pejabat keuangan instansi pemerintah:

  • Tidak menyetor PPN yang seharusnya dipungut → berarti instansi “melewatkan” setoran ke kas negara; hal ini dapat memicu koreksi dari DJP atau DJPb.
  • Kode setoran 411211-108 tidak digunakan atau salah digunakan → menimbulkan masalah pencatatan dan bisa dianggap sebagai penerimaan yang belum di-setor.
  • Tidak ada pelaporan dalam SPT Masa PPN atau bukti setoran yang jelas → potensi sanksi administratif dan audit keuangan instansi.
  • Bagi rekanan non-PKP yang seharusnya dikenakan pemungutan PPN oleh instansi, bila instansi tidak memungut → instansi bisa dianggap lalai dan rekanan bisa direplikasi menjadi PKP di masa depan, yang menambah kewajiban pajak.
  • Potensi kerugian reputasi dan keuangan instansi karena pemeriksaan keuangan negara (BPK) atau audit internal menyoroti pungutan PPN yang tidak sesuai ketentuan.
  • Implementasi sistem Core-Tax (PMK-81/2024) memperkuat integrasi data dan memperbesar risiko pengawasan; instansi yang tidak kooperatif bisa terkena konsekuensi fiskal dan administratif.

Kenapa Kode 411211-108 Sangat Penting?

Kode setoran 411211-108 adalah mekanisme spesifik yang ditetapkan untuk setoran PPN tanggung renteng oleh instansi pemerintah atas transaksi dengan non-PKP. Dalam praktik pencatatan keuangan pemerintah, menggunakan kode yang tepat sangat penting karena:

  • Memastikan setoran masuk ke akun yang benar dan bisa dipertanggungjawabkan.
  • Memudahkan audit dan pelaporan oleh DJPb/BPK.
  • Menunjukkan bahwa instansi telah menjalankan kewajiban sebagai pemungut PPN.
  • Menghindari kesalahan pencatatan yang bisa dianggap sebagai penerimaan negara yang tertunda atau tidak disetor.

Tips Agar Bendahara dan Instansi Tidak Salah Langkah

Agar pelaksanaan kewajiban ini lancar, berikut beberapa tips praktis:

  • Pastikan daftar rekanan non-PKP diperbarui setiap bulan dan status PKP dicek melalui sistem DJP atau KPP.
  • Kontrak pengadaan harus mencantumkan klausul “PPN tanggung renteng instansi pemerintah” bila rekanan non-PKP.
  • Unit pengadaan dan bendahara harus berkoordinasi untuk memastikan bahwa nilai pengadaan dikalkulasi PPN sebelum pembayaran.
  • Simpan bukti setoran SSP dengan kode 411211-108 secara terpisah dan arsipkan bersama dokumen pengadaan.
  • Lakukan pelatihan rutin untuk petugas keuangan instansi agar memahami ketentuan PMK-81/2024 dan PER-11/PJ/2025.
  • Gunakan sistem keuangan instansi yang memadai untuk mencatat pemungutan dan setoran PPN tanggung renteng.
  • Audit internal secara berkala untuk memastikan pemungutan PPN telah dilakukan dan dilaporkan sesuai ketentuan.

Kesimpulan

Bendahara instansi pemerintah kini memegang peran yang sangat penting dalam tata kelola perpajakan. Tidak cukup hanya mengurus pembayaran dan pengeluaran anggaran—melainkan juga memungut PPN atas transaksi dengan rekanan non-PKP dan memastikan penyetoran melalui kode 411211-108.

Dengan payung hukum dari PMK-81/2024 dan PER-11/PJ/2025 serta dukungan edaran DJPb, kewajiban ini tidak bisa diabaikan. Jika disalahkan, bukan hanya instansi yang dirugikan—tetapi bendahara bisa turut menanggung konsekuensi administratif dan reputasi.

Jadi, jika Anda adalah bendahara atau petugas keuangan instansi pemerintah: saatnya cek ulang proses pengadaan, pastikan rekanan non-PKP, lakukan perhitungan PPN, setorkan dengan kode yang benar, dan laporkan dengan rapi. Kewajiban hari ini adalah pelindung keuangan instansi untuk masa depan.

Kalkulator Jasa Konstruksi Online – Hitung Tarif Pajak Konstruksi Sesuai PP Nomor 9 Tahun 2022

0
kalkulator jasa konstruksi

Latar Belakang: Mengapa Tarif Jasa Konstruksi Perlu Dihitung dengan Tepat

Dunia jasa konstruksi merupakan salah satu sektor yang memiliki kontribusi besar terhadap perekonomian nasional. Namun, sektor ini juga dikenal kompleks karena melibatkan berbagai jenis pekerjaan, skema kontrak, dan aturan perpajakan yang berbeda-beda.

Untuk membantu para pelaku usaha, kontraktor, konsultan, dan penyedia jasa konstruksi menghitung kewajiban pajaknya dengan mudah, Konsul Pajak menghadirkan Kalkulator Jasa Konstruksi
.

Alat ini dirancang berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2022 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi, yang merupakan regulasi terbaru dan menggantikan ketentuan lama di PP Nomor 51 Tahun 2008.

Fungsi Utama Kalkulator Jasa Konstruksi

Kalkulator ini membantu pengguna menghitung besaran tarif PPh Final Jasa Konstruksi sesuai dengan kategori pekerjaan dan status sertifikasi usaha.

1. Menghitung Tarif PPh Final dengan Akurat

Cukup dengan memasukkan:

  • Jenis pekerjaan (pelaksana, perencana, atau pengawas),
  • Status sertifikat badan usaha (SBU),
  • Nilai kontrak pekerjaan konstruksi

kalkulator akan otomatis menampilkan tarif pajak final yang berlaku sesuai ketentuan terbaru PP 9/2022.

2. Menyesuaikan Berdasarkan Jenis Jasa Konstruksi

Berdasarkan Pasal 3 PP 9 Tahun 2022, tarif pajak jasa konstruksi dibedakan sebagai berikut:

Kategori PekerjaanPenyedia JasaTarif PPh Final
Pekerjaan konstruksi – penyedia jasa yang memiliki Sertifikat Badan Usaha (SBU) kualifikasi kecil atau sertifikat kompetensi kerja untuk usaha orang perseoranganMemiliki SBU/kualifikasi kecil1,75%
Pekerjaan konstruksi – penyedia jasa tidak memiliki SBU atau sertifikat kompetensi kerja untuk usaha orang perseoranganTidak memiliki SBU/sertifikat4,00%
Pekerjaan konstruksi – penyedia jasa selain dua kategori di atas (contoh: usaha menengah, besar atau spesialis)Memiliki kualifikasi selain kecil & selain kriteria SBU kecil2,65%
Pekerjaan konstruksi terintegrasi – penyedia jasa yang memiliki SBU/kualifikasiTerintegrasi + memiliki SBU2,65%
Pekerjaan konstruksi terintegrasi – penyedia jasa yang tidak memiliki SBUTerintegrasi + tanpa SBU4,00%
Jasa konsultansi konstruksi – penyedia jasa yang memiliki SBU atau sertifikat kompetensiMemiliki SBU/kualifikasi3,50%
Jasa konsultansi konstruksi – penyedia jasa yang tidak memiliki SBU/sertifikat kompetensiTidak memiliki SBU/sertifikat6,00%

Dengan kalkulator ini, Anda tidak perlu lagi menghafal tarif atau menghitung secara manual — cukup input data, hasil langsung muncul secara otomatis dan akurat.

3. Menghindari Kesalahan Pelaporan Pajak

Kesalahan dalam menentukan tarif jasa konstruksi bisa berdampak serius pada keuangan perusahaan dan kepatuhan pajak. Dengan fitur otomatis kalkulator ini, pengguna dapat memastikan tarif yang digunakan sudah sesuai peraturan terbaru, sehingga laporan SPT Masa dan Tahunan lebih aman dari risiko koreksi fiskus.

Cara Menggunakan Kalkulator Jasa Konstruksi Konsul Pajak

Langkah-langkah Praktis:

  • Kunjungi halaman kalkulator: 👉 https://kalkulator.konsulpajak.com/kalkulator/Kalkulator-Jasa-Konstruksi
  • Pilih jenis jasa yang Anda kerjakan (Pelaksana, Pengawas, atau Perencana).
  • Tentukan apakah perusahaan Anda memiliki Sertifikat Badan Usaha (SBU).
  • Masukkan nilai kontrak pekerjaan konstruksi (dalam Rupiah).
  • Klik tombol “Hitung Tarif” dan hasil tarif PPh Final otomatis muncul di layar.
  • Dalam hitungan detik, sistem akan menghitung jumlah PPh Final yang harus dipotong atau disetor, sesuai aturan PP 9/2022 dan ketentuan perpajakan terbaru dari Direktorat Jenderal Pajak.

Keunggulan Kalkulator Jasa Konstruksi Konsul Pajak

Akurat dan Terbaru

Semua perhitungan menggunakan tarif resmi dari Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2022, lengkap dengan pembaruan otomatis bila ada revisi peraturan.

Praktis dan Hemat Waktu

Tidak perlu membuka dokumen peraturan atau tabel tarif manual. Cukup input data – hasil langsung tersedia dalam satu klik.

Ramah bagi Semua Kalangan

Didesain dengan antarmuka sederhana, mudah digunakan oleh:

  • Pengusaha jasa konstruksi,
  • Akuntan dan staf keuangan,
  • Konsultan pajak,
  • Hingga pelajar dan mahasiswa jurusan perpajakan atau ekonomi.

Gratis dan Aman

Kalkulator ini tersedia tanpa biaya, dan data yang Anda masukkan tidak disimpan di server, menjamin keamanan informasi keuangan perusahaan Anda.

Dasar Hukum: Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2022

PP Nomor 9 Tahun 2022 mengatur secara rinci ketentuan pajak penghasilan atas usaha jasa konstruksi, mencakup:

  • Jenis jasa yang dikenai pajak,
  • Penentuan penghasilan bruto,
  • Penggunaan tarif PPh Final, dan
  • Mekanisme pemotongan dan penyetoran pajak.

Peraturan ini diterbitkan untuk menyesuaikan ketentuan perpajakan sektor konstruksi dengan dinamika bisnis modern, sekaligus memperjelas perlakuan pajak bagi usaha bersertifikat dan non-sertifikat. Dengan demikian, penggunaan kalkulator ini membantu memastikan perusahaan Anda selalu patuh pada ketentuan PP 9/2022 dan peraturan perpajakan terbaru.

Dampak Positif Bagi Dunia Konstruksi dan Pajak

Implementasi tarif baru jasa konstruksi memberikan beberapa manfaat penting:

  • Kepastian hukum pajak bagi pelaku usaha konstruksi.
  • Keadilan fiskal, karena tarif dibedakan berdasarkan kompetensi dan sertifikasi usaha.
  • Kemudahan administrasi, dengan perhitungan otomatis melalui platform digital seperti Konsul Pajak.

Dengan dukungan alat seperti Kalkulator Jasa Konstruksi, dunia usaha konstruksi dapat fokus pada kegiatan operasional tanpa khawatir salah hitung pajak.

Kesimpulan

Kalkulator Jasa Konstruksi dari Konsul Pajak adalah solusi digital untuk menghitung pajak jasa konstruksi secara cepat, tepat, dan sesuai hukum. Berbasis PP Nomor 9 Tahun 2022, kalkulator ini membantu Anda memastikan setiap proyek konstruksi memiliki perhitungan pajak yang benar — baik Anda kontraktor kecil, perusahaan besar, atau konsultan pajak profesional.

💡 Coba sekarang di:
👉 https://kalkulator.konsulpajak.com/kalkulator/Kalkulator-Jasa-Konstruksi

Jangan Remehkan Saldo Rekeningmu! Data Sudah Terbuka, Saatnya Jujur di SPT Tahunan!

0
saldo rekening wajib dilaporkan

Pernahkah kamu berpikir bahwa saldo rekening bankmu di akhir tahun hanyalah urusan pribadi dan tidak perlu dicantumkan dalam laporan pajak?
Kalau iya, sebaiknya mulai ubah cara pandangmu sekarang.

Era “pajak berbasis data” sudah tiba.
Dulu, mungkin masih ada yang berpikir bahwa data rekening, investasi, deposito, bahkan saldo e-wallet, aman dari pantauan otoritas pajak. Tapi sekarang, semua data sudah saling terkoneksi — dari bank, OJK, DJP, hingga lembaga keuangan luar negeri melalui sistem Automatic Exchange of Information (AEOI).

Artinya: kalau kamu menyembunyikan saldo rekening atau tidak melaporkannya di SPT Tahunan, pemerintah tetap bisa melihatnya.

Mengapa Saldo Rekening Harus Dilaporkan dalam SPT Tahunan?

Kewajiban ini diatur secara jelas dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) dan Peraturan Direktur Jenderal Pajak yang mengatur tentang SPT Tahunan PPh Orang Pribadi. Setiap Wajib Pajak wajib melaporkan seluruh harta yang dimiliki per 31 Desember pada tahun pajak bersangkutan, termasuk:

  • Saldo rekening tabungan atau giro,
  • Deposito dan investasi,
  • Saldo rekening bisnis atau rekening usaha,
  • Rekening trading saham, reksa dana, hingga aset digital seperti e-wallet.

Saldo rekening merupakan bagian dari “harta lancar” yang mencerminkan posisi keuangan kamu pada akhir tahun.
Walaupun saldo tersebut tidak dikenai pajak secara langsung, laporannya menjadi indikator kepatuhan dan transparansi pajak.

Dasar Hukumnya Jelas

Bagi kamu yang masih ragu, berikut dasar hukumnya:

  • Pasal 3 ayat (1) UU KUP (UU Nomor 6 Tahun 1983 jo. UU Nomor 28 Tahun 2007 dan UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang HPP) : Menyatakan bahwa setiap Wajib Pajak wajib mengisi dan menyampaikan SPT Tahunan secara benar, lengkap, dan jelas.
  • Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70/PMK.03/2017 : Mengatur tentang akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan, termasuk laporan saldo rekening bank dan lembaga keuangan.
  • Automatic Exchange of Information (AEOI) : Sejak tahun 2018, Indonesia telah bergabung dalam sistem pertukaran data keuangan antarnegara. Artinya, rekening luar negeri pun bisa diketahui oleh Direktorat Jenderal Pajak.

Jadi, menyembunyikan saldo atau tidak melaporkannya sama saja dengan membuka celah untuk dilakukan pemeriksaan pajak.

Apa yang Harus Dilaporkan di Kolom Harta SPT Tahunan?

Dalam SPT Tahunan Orang Pribadi (Formulir 1770 S atau 1770 SS), terdapat kolom “Daftar Harta”. Di sinilah kamu wajib mencantumkan seluruh aset yang dimiliki, termasuk saldo rekening bank.

Format pelaporannya sederhana:

  • Nama bank dan nomor rekening,
  • Jenis rekening (tabungan, giro, deposito, dll),
  • Saldo akhir per 31 Desember tahun pajak terakhir,
  • Keterangan kepemilikan (pribadi, bersama, atau usaha).

Contoh pengisian:

“Bank BCA No. Rek 1234567890 – Tabungan Pribadi – Saldo per 31 Desember 2024 sebesar Rp 125.000.000”

Transparan, sederhana, dan sesuai aturan.
Jadi tidak ada lagi alasan untuk tidak melaporkannya.

Apakah Saldo Rekening Dikenai Pajak?

Ini pertanyaan yang sering muncul, dan jawabannya tidak langsung dikenai pajak.

Saldo rekening pada dasarnya adalah akumulasi dari penghasilan yang sudah diterima (misalnya gaji, honor, bonus, hasil usaha). Jika seluruh penghasilan itu sudah dilaporkan dan dikenai pajak sesuai aturan, maka saldo tersebut tidak akan menimbulkan kewajiban pajak tambahan.

Namun, kalau terdapat selisih besar antara penghasilan yang dilaporkan dan saldo rekening yang tercatat, DJP berhak mempertanyakan sumbernya.

Misalnya:

  • Penghasilan tahunan kamu Rp 120 juta,
  • Tapi saldo rekening akhir tahun Rp 800 juta,
  • Maka, DJP bisa meminta klarifikasi — apakah ada penghasilan lain yang belum dilaporkan?

Nah, di sinilah pentingnya melaporkan saldo dengan jujur, agar tidak ada perbedaan data antara yang kamu laporkan dan yang dimiliki otoritas.

Data Keuangan Kini Terbuka dan Terkoneksi

Zaman dulu, DJP sulit memverifikasi saldo karena informasi perbankan bersifat rahasia.
Namun, sejak lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 dan PMK-70/2017, keran informasi keuangan kini terbuka untuk kepentingan pajak.

Artinya:

  • Bank wajib melaporkan data rekening nasabah dengan saldo di atas Rp 1 miliar kepada DJP,
  • Data juga mencakup identitas, nomor rekening, saldo, dan mutasi transaksi.

Selain itu, DJP juga memiliki akses data dari:

  • OJK (Otoritas Jasa Keuangan),
  • Kementerian Keuangan,
  • DJPb dan Ditjen Bea Cukai,
  • Hingga lembaga keuangan luar negeri (melalui AEOI).

Jadi, jika dulu kamu masih bisa “menghindar” dengan memisahkan rekening pribadi dan bisnis, sekarang tidak lagi. Semua data kini bisa dilihat, dicocokkan, dan ditelusuri.

Risiko Jika Tidak Melaporkan Saldo Rekening

Menyepelekan pelaporan saldo rekening bukan hanya persoalan administrasi. Bisa jadi awal dari pemeriksaan pajak, koreksi fiskal, hingga sanksi administratif.

Risikonya antara lain:

  • ✅ SPT dianggap tidak lengkap → bisa ditolak atau diminta pembetulan,
  • ⚠️ Pemeriksaan data keuangan pribadi oleh DJP,
  • 💸 Kena sanksi administrasi 100% dari pajak yang kurang dibayar,
  • ❌ Kehilangan reputasi kepatuhan pajak yang bisa berdampak saat mengajukan pinjaman, proyek, atau kerja sama bisnis.

Ingat, di era digital ini, kejujuran adalah perlindungan terbaik.

Tapi Kan Saldo Saya Kecil, Perlu Dilaporkan Juga?

Perlu!
Tidak peduli berapa besar saldo rekeningmu — Rp 1 juta atau Rp 1 miliar — selama rekening itu aktif dan milikmu, tetap wajib dicantumkan di SPT.

Pelaporan ini bukan soal besar atau kecilnya nominal, melainkan soal transparansi.
Dengan mencantumkan seluruh aset, kamu menunjukkan bahwa kamu adalah wajib pajak patuh dan berintegritas.

Tips Agar Tidak Salah Saat Melaporkan Saldo di SPT

  • Cek saldo per 31 Desember (bukan rata-rata saldo tahunan).
  • Pisahkan rekening pribadi dan usaha, agar pelaporan lebih mudah dan akurat.
  • Gunakan laporan mutasi bank untuk memastikan nominal saldo sesuai.
  • Laporkan semua rekening, meskipun jarang digunakan.
  • Gunakan e-Filing atau e-Form DJP Online agar proses pelaporan lebih cepat dan rapi.

Kesimpulan: Jangan Takut, Asal Jujur

Pelaporan saldo rekening bukan sesuatu yang perlu ditakuti, asalkan kamu jujur dan tertib.
Justru dengan melaporkan seluruh harta — termasuk saldo rekening — kamu sedang melindungi dirimu dari potensi sanksi dan pemeriksaan.

Zaman sudah berubah.
DJP kini bukan lagi lembaga yang “menebak-nebak”, melainkan institusi berbasis data. Dan ketika semua data sudah terkoneksi, menyembunyikan saldo bukan lagi pilihan cerdas.

Jadi, mulai tahun ini, saat kamu buka e-Filing untuk lapor SPT Tahunan, luangkan 5 menit untuk mencantumkan seluruh saldo rekeningmu.
Karena satu langkah kecil itu bisa menyelamatkanmu dari banyak masalah besar di kemudian hari.

Jangan tunggu ditegur fiskus untuk jadi patuh.
Jadilah wajib pajak cerdas — yang tahu hak dan kewajibannya.
Karena di era keterbukaan data seperti sekarang, transparansi adalah investasi kejujuran.

Kalkulator Pajak: Alat Cerdas untuk Menghitung Rasio Keuangan Perusahaan

0
kalkulator pajak rasio keuangan

Mengenal Kalkulator Rasio Keuangan dari Konsul Pajak

Dalam dunia bisnis modern, kecepatan dan akurasi analisis keuangan menjadi kebutuhan utama. Banyak pelaku usaha, akuntan, dan konsultan pajak membutuhkan cara yang praktis untuk menilai kinerja keuangan perusahaan tanpa harus melakukan perhitungan manual yang kompleks.

Menjawab kebutuhan tersebut, Konsul Pajak menghadirkan Kalkulator Rasio Keuangan
— alat online gratis yang dirancang untuk membantu Anda menghitung berbagai rasio keuangan penting perusahaan secara otomatis dan efisien.

Fungsi dan Manfaat Kalkulator Rasio Keuangan

Kalkulator ini bukan sekadar alat hitung, melainkan asisten analisis keuangan digital yang mampu memberikan gambaran menyeluruh mengenai kondisi keuangan suatu entitas bisnis.

1. Analisis Kinerja Keuangan dengan Cepat

Anda cukup memasukkan data seperti total aset, kewajiban, pendapatan, laba bersih, dan ekuitas. Sistem akan otomatis menghitung berbagai rasio keuangan utama seperti:

  • Rasio Likuiditas (Current Ratio, Quick Ratio)
  • Rasio Solvabilitas (Debt to Equity Ratio, Debt to Asset Ratio)
  • Rasio Profitabilitas (Net Profit Margin, Return on Asset, Return on Equity)
  • Rasio Aktivitas (Total Asset Turnover, Inventory Turnover)

Dengan hasil yang langsung tampil, Anda bisa menganalisis kekuatan dan kelemahan finansial perusahaan secara instan.

2. Meningkatkan Akurasi Pengambilan Keputusan

Kalkulator ini membantu pelaku bisnis dan akuntan untuk:

  • Menilai kemampuan perusahaan membayar kewajiban jangka pendek dan panjang.
  • Mengukur efisiensi penggunaan aset dan modal.
  • Menentukan tingkat profitabilitas dan stabilitas keuangan.
  • Menyiapkan laporan analisis keuangan yang dapat dipresentasikan kepada manajemen, investor, atau auditor.

3. Mempermudah Analisis Pajak dan Kepatuhan Fiskal

Dalam konteks perpajakan, rasio keuangan juga dapat membantu dalam:

  • Mendeteksi potensi anomali laporan keuangan.
  • Menilai risiko kepatuhan pajak.
  • Memperkirakan kemampuan perusahaan membayar kewajiban pajak.

Dengan kata lain, alat ini bermanfaat tidak hanya bagi akuntan, tetapi juga konsultan pajak yang memerlukan analisis awal atas kondisi keuangan wajib pajak.

Cara Menggunakan Kalkulator Rasio Keuangan di Konsul Pajak

Langkah-langkahnya sederhana:

Hasil perhitungan dapat Anda gunakan untuk laporan internal, due diligence, atau analisis manajemen tanpa perlu membuka spreadsheet atau software keuangan yang rumit.

Keunggulan Kalkulator Keuangan di Konsul Pajak

Mengapa banyak profesional memilih kalkulator ini?

  • 💻 Gratis dan berbasis web: Tidak perlu install aplikasi.
  • ⚙️ Rumus akurat: Menggunakan formula keuangan standar internasional.
  • 📊 Hasil otomatis dan terukur: Cocok untuk audit internal dan analisis cepat.
  • 🔐 Aman dan rahasia: Data yang dimasukkan tidak disimpan di server.
  • 🕒 Efisien: Menghemat waktu analisis hingga 80%.

Dengan keunggulan ini, kalkulator rasio keuangan dari Konsul Pajak menjadi alat yang sangat berguna bagi pelaku UMKM hingga perusahaan besar.

Pentingnya Analisis Rasio Keuangan dalam Dunia Pajak

Bagi konsultan pajak, analisis rasio keuangan memiliki nilai strategis. Melalui rasio, Anda bisa menilai:

  • Kesehatan keuangan wajib pajak sebelum melakukan rekonsiliasi pajak.
  • Kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban fiskal.
  • Indikasi penghindaran pajak dari rasio solvabilitas dan profitabilitas tertentu.

Contohnya, jika Debt to Equity Ratio (DER) perusahaan terlalu tinggi, hal ini bisa menunjukkan risiko likuiditas atau pembiayaan utang yang agresif — faktor yang sering menjadi perhatian auditor dan fiskus.

Integrasi Analisis Pajak dan Keuangan di Konsul Pajak

Konsul Pajak berkomitmen menghadirkan berbagai alat bantu pajak online yang praktis, akurat, dan edukatif. Selain Kalkulator Rasio Keuangan, tersedia juga fitur:

  • 🔢 Kalkulator PPh 21 Terbaru
  • 💰 Kalkulator PPh Badan
  • 🧾 Kalkulator PPN dan Pajak Final UMKM

Ketiga fitur ini dapat saling melengkapi dalam proses analisis keuangan dan kepatuhan pajak perusahaan.

Kesimpulan

Kalkulator Rasio Keuangan dari Konsul Pajak adalah inovasi sederhana namun berdampak besar bagi dunia bisnis dan perpajakan. Dengan fitur online yang mudah digunakan, alat ini memungkinkan siapa pun — dari pengusaha hingga konsultan — untuk memahami kondisi finansial perusahaan secara cepat, akurat, dan profesional.

Jadi, sebelum membuat keputusan bisnis besar, pastikan Anda sudah mengukur kesehatan keuangan perusahaan Anda melalui kalkulator ini.
Coba sekarang di 👉 https://kalkulator.konsulpajak.com/kalkulator/Kalkulator-Rasio-Keuangan

Stimulus PPh Pasal 21 DTP: Harapan Baru Bagi Industri Padat Karya

0
insentif pph pasal 21
insentif pph pasal 21

Memasuki tahun 2025, pemerintah hadirkan sebuah langkah nyata untuk meredam tekanan ekonomi sekaligus menjaga daya beli masyarakat. Salah satunya: **insentif Pajak Penghasilan Pasal 21 **yang Ditanggung Pemerintah (DTP) khusus untuk pegawai di sektor industri padat karya. Ketentuan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 10 Tahun 2025 (PMK 10/2025).

Insentif ini diharapkan menjadi angin segar bagi sektor seperti tekstil, alas kaki, furnitur, dan sejenisnya—di mana banyak tenaga kerja digunakan dan pendapatan pekerja rentan tergerus biaya hidup.

Apa Itu PPh Pasal 21 DTP & Siapa yang Mendapatkan?

Secara umum, PPh Pasal 21 adalah pajak atas penghasilan yang diterima pegawai, dan biasanya akan dipotong oleh pemberi kerja. Namun, dalam skema DTP, beban pajak itu ditanggung oleh pemerintah, bukan pegawai. Dengan demikian:

  • Pegawai akan menerima penghasilan bersih tanpa dipotong PPh Pasal 21 (selama memenuhi syarat).
  • Pemberi kerja tetap wajib membuat bukti pemotongan dan melaporkan pemanfaatannya.
  • Insentif ini hanya berlaku untuk masa pajak 2025.

Dalam PMK 10/2025 juga disebutkan bahwa jika insentif ini ternyata melebihi potongan PPh Pasal 21 tahunan, selisihnya tidak dikembalikan ataupun dikompensasikan. Hal ini penting untuk diperhatikan agar tidak berharap insentif “kelebihan.”

✅ Kriteria Penerima Insentif

Agar pekerja dan pemberi kerja bisa memanfaatkan fasilitas ini, keduanya harus memenuhi kriteria berikut:

  1. Kriteria Pemberi Kerja : Harus melakukan usaha di salah satu bidang industri padat karya, seperti: alas kaki, tekstil, furnitur, serta kulit dan barang dari kulit. Mempunyai Klasifikasi Lapangan Usaha (KLU) sesuai lampiran PMK 10/2025. Terdaftar di basis data administrasi perpajakan DJP.
  2. Kriteria Pegawai : Pegawai tetap ataupun tidak tetap. Harus memiliki NPWP atau NIK yang sudah terintegrasi ke sistem DJP. Penghasilan bruto tetap atau teratur tidak boleh melebihi batas tertentu (misalnya Rp10.000.000 per bulan) jika pegawai tetap, atau rata-rata dalam satuan harian jika pegawai tidak tetap.

Kedua kriteria ini “kumulatif”—artinya, kalau salah satu tidak terpenuhi, insentif tidak bisa didapat.

📆 Waktu, Pelaporan, dan Ketentuan Teknis

  • Insentif berlaku untuk masa pajak Januari–Desember 2025.
  • Pemberi kerja wajib menyetorkan PPh Pasal 21 DTP secara tunai, bersamaan dengan pembayaran penghasilan pegawai.
  • Meskipun pajak ditanggung pemerintah, bukti pemotongan tetap dibuat oleh pemberi kerja.
  • Pelaporan insentif dilakukan melalui SPT Masa PPh Pasal 21/26 setiap bulan.
  • Pembetulan atau pelaporan insentif yang dilakukan setelah batas waktu (31 Januari 2026 untuk laporan 2025) tidak diterima sebagai pemanfaatan insentif, dan wajib menyetor PPh Pasal 21 biasa tanpa insentif.

🛡️ Manfaat & Pertimbangan

Manfaat utama:

  • Pegawai lebih terbantu karena penghasilan bersih tidak dikurangi potongan pajak.
  • Daya beli tetap terjaga, yang juga menopang aktivitas ekonomi di sektor padat karya.
  • Insentif terfokus pada industri padat karya yang memerlukan dorongan substansial.

Pertimbangan & catatan:

  • Jika pegawai mendapatkan pendapatan di atas batas, insentif bisa hilang untuk bulan-bulan berikutnya.
  • Meski insentif, pihak pemberi kerja tetap harus melaporkan dan membuat bukti pemotongan agar legalitasnya tidak bermasalah.
  • Insentif terlalu besar dibanding tarif pajak tahunan bisa menyebabkan distorsi, jadi pemerintah mengatur agar kelebihan tidak dikembalikan.

📚 Dasar Hukum & Landasan

  • UU PPh & UU HPP – mengatur kewajiban pemotongan dan ketentuan perpajakan nasional.
  • PMK 10/2025 – khusus mengatur PPh Pasal 21 DTP sebagai stimulus industri padat karya.
  • Aturan teknis pelaporan & integrasi ke sistem pajak – bagian dari transformasi sistem perpajakan digital DJP (Coretax) yang memastikan transparansi dan kepatuhan.

🔍 Contoh Kasus Singkat

Bayangkan Ibu Sari bekerja di pabrik tekstil. Gaji bulanannya Rp9 juta — di bawah batas maksimal. Pabrik tersebut termasuk KLU industri padat karya dan terdaftar di DJP. Dengan PMK 10/2025:

  • PPh Pasal 21 yang seharusnya dipotong dari gaji Ibu Sari ditanggung pemerintah.
  • Ibu Sari menerima seluruh gaji Rp9 juta bersih, tanpa pengurangan pajak.
  • Perusahaan tetap membuat bukti pemotongan dan melaporkannya ke DJP sebagai insentif.

Ini menjadi “angin segar” di tengah biaya hidup yang terus meningkat.

PP Nomor 43 Tahun 2025: Era Baru Pelaporan Keuangan Nasional dan Dampaknya bagi Dunia Pajak

0
pelaporan keuangan pp 43 tahun 2025

Latar Belakang dan Tujuan Diterbitkannya PP 43 Tahun 2025

Kehadiran Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2025 tentang Pelaporan Keuangan menjadi tonggak penting dalam sejarah reformasi keuangan di Indonesia.

Dikeluarkan pada 19 September 2025 sebagai turunan dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK), PP ini menegaskan pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam sistem pelaporan keuangan nasional.

Tujuan utama regulasi ini adalah:

  • Membangun ekosistem pelaporan keuangan yang tangguh (robust).
  • Menyatukan sistem pelaporan yang selama ini tersebar dalam berbagai regulasi.
  • Meningkatkan kepercayaan publik dan investor terhadap data keuangan yang disajikan pelaku usaha.
  • Menguatkan integrasi antara data keuangan, pengawasan fiskal, dan kebijakan perpajakan.

Dengan kata lain, PP ini bukan sekadar peraturan teknis akuntansi, tetapi pondasi bagi keterpaduan antara dunia usaha, lembaga keuangan, dan otoritas pajak.

Ruang Lingkup dan Prinsip Utama Pelaporan Keuangan

PP Nomor 43 Tahun 2025 mencakup lima ruang lingkup besar:

  • Laporan Keuangan
  • Komite Standar Laporan Keuangan (KSLK)
  • Penyelenggaraan Platform Bersama Pelaporan Keuangan (PBPK)
  • Dukungan Ekosistem Pelaporan Keuangan
  • Sanksi Administratif

Siapa yang Wajib Menyusun Laporan Keuangan?

Menurut Pasal 3, pelapor terdiri atas:

  • Pelaku usaha sektor keuangan, seperti perbankan, asuransi, dana pensiun, dan lembaga pembiayaan.
  • Pihak yang berinteraksi dengan sektor keuangan, seperti debitur, emiten, atau badan usaha yang melakukan transaksi keuangan.

Selain itu, laporan keuangan juga dapat disampaikan secara sukarela oleh pelaku usaha mikro dan kecil yang ingin meningkatkan kredibilitas usahanya di hadapan lembaga keuangan dan investor.

Standar Pelaporan Keuangan dan Integritas Penyusunan

Setiap laporan keuangan harus disusun berdasarkan:

  • Standar Laporan Keuangan Nasional, atau
  • Standar Laporan Keuangan Syariah, bagi entitas syariah.

PP ini juga mewajibkan laporan disusun oleh penyusun yang memiliki kompetensi dan integritas tinggi, baik dari internal pelapor maupun dari profesi penunjang sektor keuangan, seperti akuntan publik.

Sebagai bentuk tanggung jawab, pelapor wajib menandatangani surat pernyataan keabsahan laporan keuangan, menegaskan pentingnya akuntabilitas personal di setiap penyajian laporan.

PBPK: Inovasi Digital dalam Pelaporan Keuangan Nasional

Salah satu fitur paling revolusioner dari PP 43 Tahun 2025 adalah hadirnya Platform Bersama Pelaporan Keuangan (PBPK) — atau dikenal sebagai Financial Reporting Single Window.

PBPK menjadi sistem pelaporan tunggal berbasis elektronik, yang memungkinkan pelaku usaha menyampaikan laporan keuangannya hanya sekali, dan laporan tersebut otomatis didistribusikan ke seluruh instansi terkait seperti Kementerian Keuangan, OJK, Bank Indonesia, hingga DJP.

Manfaat Utama PBPK:

  • Mengurangi duplikasi pelaporan ke berbagai instansi.
  • Menjamin keamanan dan validitas data keuangan.
  • Meningkatkan efisiensi dan kecepatan layanan publik.
  • Mendorong sinkronisasi data perpajakan dan pengawasan keuangan.

PBPK mulai diberlakukan secara bertahap:

  • Tahun 2027: Wajib bagi emiten dan perusahaan publik.
  • Setelah 2027: Diterapkan untuk pelapor lainnya sesuai tahapan yang ditetapkan Menteri Keuangan.

Keterkaitan PBPK dengan Perpajakan

Dengan adanya PBPK, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dapat mengakses laporan keuangan yang sama dengan yang disampaikan ke lembaga lain.
Hal ini mendukung pengawasan berbasis data (data-driven tax compliance), memperkuat profil risiko wajib pajak, dan menekan potensi manipulasi laporan keuangan.

Komite Standar Laporan Keuangan: Penjaga Mutu dan Kredibilitas Nasional

Untuk memastikan kualitas laporan keuangan tetap tinggi dan konsisten, PP ini membentuk lembaga baru: Komite Standar Laporan Keuangan (KSLK).

KSLK bersifat independen dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden, dengan tugas:

  • Menetapkan standar pelaporan keuangan umum dan syariah.
  • Menyusun panduan implementasi dan pedoman teknis pelaporan.
  • Melakukan evaluasi dan penyempurnaan berkelanjutan.
  • Menjamin transparansi, akuntabilitas, serta keterlibatan seluruh pemangku kepentingan.

Kehadiran komite ini diharapkan memperkuat integritas sistem pelaporan nasional dan mendukung konvergensi dengan standar internasional (IFRS).

Sanksi dan Pengawasan: Dorongan Menuju Kepatuhan

Agar ekosistem ini berjalan efektif, PP 43 Tahun 2025 memberikan kewenangan sanksi administratif kepada kementerian dan lembaga terkait terhadap pelapor yang:

  • Tidak menyusun laporan sesuai standar, atau
  • Tidak menyampaikan laporan melalui PBPK sebagaimana diwajibkan.

Selain itu, pelanggaran terhadap keamanan dan kerahasiaan data juga dapat dikenai sanksi sesuai peraturan yang berlaku. Sanksi ini bukan dimaksudkan untuk menghukum, melainkan mendorong kepatuhan dan meningkatkan kualitas tata kelola keuangan nasional.

Dampak Positif bagi Dunia Pajak dan Bisnis

Implementasi PP 43 Tahun 2025 memiliki dampak strategis bagi sistem perpajakan nasional.
Dengan adanya PBPK dan standar pelaporan terpadu, DJP dapat:

  • Memperoleh data keuangan real-time dari berbagai sektor.
  • Melakukan analisis kepatuhan pajak yang lebih akurat.
  • Menekan praktik penghindaran pajak melalui konsistensi pelaporan.

Bagi dunia usaha, manfaatnya pun nyata:

  • Meningkatkan kepercayaan investor dan kreditor.
  • Mempermudah akses pembiayaan dan investasi.
  • Mendorong penerapan Good Corporate Governance (GCG).

Dengan kata lain, PP ini menciptakan sinergi antara akuntansi, perpajakan, dan kebijakan ekonomi nasional.

Kesimpulan: Transparansi dan Akuntabilitas sebagai Arah Baru Indonesia

Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2025 tentang Pelaporan Keuangan merupakan tonggak besar dalam perjalanan reformasi keuangan Indonesia.
Melalui PBPK dan Komite Standar, Indonesia kini memiliki fondasi pelaporan yang lebih modern, efisien, dan dapat dipercaya.

Bagi dunia perpajakan, regulasi ini memperkuat integrasi data dan efektivitas pengawasan fiskal.
Bagi pelaku usaha, regulasi ini menjadi gerbang menuju kepercayaan pasar dan tata kelola profesional.

Dengan demikian, PP 43/2025 bukan hanya regulasi administratif—tetapi simbol komitmen bangsa menuju transparansi ekonomi dan keuangan nasional.