Bayangkan Anda baru saja membeli rumah impian. Setelah mengurus akad, sertifikat, dan kunci, tibalah waktu membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Di saat itu, istilah NJOP dan NJOPTKP akan muncul di tagihan pajak Anda. Dua istilah ini sering membingungkan, padahal sangat penting untuk menentukan berapa besar pajak yang harus dibayar.
Artikel ini akan membahas NJOP dan NJOPTKP dengan bahasa sederhana, agar Anda paham konsepnya tanpa perlu menjadi ahli pajak terlebih dahulu.
Apa Itu NJOP?
NJOP (Nilai Jual Objek Pajak) adalah nilai yang ditetapkan pemerintah sebagai dasar perhitungan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). NJOP ini pada dasarnya adalah perkiraan harga pasar wajar untuk tanah dan/atau bangunan Anda.
Ketentuan NJOP diatur dalam PMK No. 208/PMK.07/2018 tentang Pedoman Penilaian Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan. Nilai NJOP bisa berbeda di tiap daerah, tergantung lokasi, kondisi tanah, dan bangunan.
Apa Itu NJOPTKP?
NJOPTKP (Nilai Jual Objek Tidak Kena Pajak) adalah batas nilai dari NJOP yang dibebaskan dari pengenaan pajak. Dengan kata lain, bagian nilai properti Anda sampai batas tertentu tidak dikenai PBB.
Contoh sederhana:
Jika NJOP rumah Anda Rp 100 juta dan NJOPTKP di daerah Anda Rp 10 juta, maka yang menjadi dasar pajak hanyalah Rp 90 juta.
Dasar hukum NJOPTKP diatur dalam:
- UU No. 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan, yang diubah dengan UU No. 12 Tahun 1994.
- UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD).
- PMK No. 23/PMK.03/2014 yang mengatur besaran NJOPTKP minimal Rp 10 juta, dan Rp 12 juta untuk objek tertentu.
Hubungan NJOP, NJOPTKP, dan NJKP
Agar tidak bingung, mari pahami alurnya:
- NJOP → nilai properti Anda yang dihitung pemerintah.
- NJOPTKP → bagian NJOP yang dikecualikan dari pajak.
- NJKP (Nilai Jual Kena Pajak) → hasil dari:
NJKP = NJOP – NJOPTKP
Inilah nilai yang digunakan untuk menghitung PBB terutang.
Contoh Perhitungan NJOP dan NJOPTKP
Misalnya, Ani memiliki rumah di kota Y dengan data berikut:
- NJOP tanah + bangunan = Rp 300.000.000
- NJOPTKP daerah = Rp 12.000.000
- Persentase NJKP = 40%
- Tarif PBB = 0,5%
Langkah hitungnya:
- NJOP – NJOPTKP = Rp 300.000.000 – Rp 12.000.000 = Rp 288.000.000
- Hitung NJKP = 40% × Rp 288.000.000 = Rp 115.200.000
- PBB terutang = 0,5% × Rp 115.200.000 = Rp 576.000
Jadi, Ani harus membayar PBB sebesar Rp 576.000.
Update 2025: Kebijakan NJOPTKP Terbaru
- Batas minimal NJOPTKP tetap Rp 10 juta sesuai UU PDRD, sedangkan objek tertentu pusat mengikuti ketentuan PMK Rp 12 juta.
- Beberapa daerah, seperti DKI Jakarta, menerapkan kebijakan tambahan: mulai 2025, wajib pajak yang belum melengkapi data NIK/NPWP tidak otomatis mendapatkan NJOPTKP.
- Tarif PBB-P2 maksimal bisa mencapai 0,5%, sesuai UU HKPD terbaru.
Penutup
Dengan memahami NJOP dan NJOPTKP, Anda bisa menghitung PBB dengan lebih jelas dan tidak kebingungan saat menerima tagihan. Intinya:
- NJOP = nilai properti yang jadi dasar pajak.
- NJOPTKP = pengurang yang meringankan beban pajak Anda.
- NJKP = nilai setelah pengurangan, yang benar-benar kena pajak.
Semakin paham konsep ini, semakin bijak Anda mengelola kewajiban pajak properti.