Minggu, November 9, 2025
20.7 C
Indonesia

Rahasia di Balik Surat Keterangan Bebas (SKB) Pajak: Cara Cerdas Agar Tidak Kena Potong PPh

Setiap pelaku usaha, investor, hingga lembaga pemerintah pasti ingin cash flow-nya berjalan lancar tanpa hambatan pajak yang tidak semestinya. Tapi tahukah kamu, ada kalanya pajak yang seharusnya belum terutang malah sudah dipotong oleh pihak lain?

Nah, di sinilah Surat Keterangan Bebas Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan (SKB PPh) berperan penting.
SKB ibarat “surat sakti” dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang memberi izin kepada wajib pajak agar tidak dipotong atau dipungut PPh pada kondisi tertentu yang memang memenuhi syarat.

Artikel ini akan membantu kamu memahami apa itu SKB, siapa yang berhak mengajukannya, bagaimana cara mendapatkannya, dan kenapa SKB ini bisa menjadi strategi cerdas dalam manajemen pajak yang legal dan efisien.

Apa Itu Surat Keterangan Bebas (SKB) Pemotongan/Pemungutan PPh?

Secara sederhana, SKB adalah surat resmi yang diterbitkan oleh DJP yang memberikan pembebasan kepada Wajib Pajak dari kewajiban pemotongan atau pemungutan PPh oleh pihak lain.

Biasanya, PPh dipotong atau dipungut oleh pihak ketiga, seperti:

  • Pemberi kerja (PPh 21),
  • Bendaharawan pemerintah (PPh 22),
  • Importir (PPh 22 Impor),
  • atau pihak yang melakukan transaksi jasa (PPh 23).

Namun, dalam kondisi tertentu, pemerintah memperbolehkan Wajib Pajak untuk tidak dikenakan pemotongan tersebut, karena memang secara fiskal tidak akan terutang PPh pada tahun berjalan. Dan untuk itulah diterbitkan Surat Keterangan Bebas (SKB) PPh.

Dasar Hukum Penerbitan SKB PPh

SKB bukan kebijakan baru — ia memiliki dasar hukum yang kuat dan sudah diatur secara rinci, antara lain:

  • Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 94 Tahun 2010 : tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan PPh dalam Tahun Berjalan.(Menggantikan PP 138 Tahun 2000)
  • Peraturan Direktur Jenderal Pajak (PER) Nomor PER-1/PJ/2011 : tentang Tata Cara Pengajuan Permohonan Pembebasan dari Pemotongan/Pemungutan PPh oleh Pihak Lain.
  • PER-21/PJ/2014 : yang mengubah beberapa ketentuan dalam PER-1/PJ/2011, termasuk tata cara, persyaratan, dan waktu penerbitan SKB.
  • Surat Edaran SE-11/PJ/2011 : yang menjadi pedoman pelaksanaan di lapangan bagi petugas pajak.

Dengan dasar hukum ini, penerbitan SKB dilakukan secara terukur, legal, dan bisa dipertanggungjawabkan.

Siapa yang Berhak Mengajukan SKB PPh?

Tidak semua Wajib Pajak bisa serta-merta mengajukan SKB.
Hanya Wajib Pajak yang dapat membuktikan bahwa mereka tidak akan terutang PPh dalam tahun berjalan yang bisa memperoleh SKB, dengan beberapa kondisi berikut:

1. Wajib Pajak yang Mengalami Kerugian Fiskal

Termasuk di dalamnya:

  • Wajib Pajak yang baru berdiri dan masih dalam tahap investasi.
  • Wajib Pajak yang belum sampai pada tahap produksi komersial.
  • Wajib Pajak yang mengalami keadaan di luar kendali (force majeure), misalnya bencana alam atau krisis besar yang menghentikan operasional.

2. Wajib Pajak yang Berhak Melakukan Kompensasi Kerugian Fiskal

Jika pada tahun-tahun sebelumnya mengalami rugi fiskal dan masih punya hak kompensasi sesuai SPT Tahunan atau keputusan pajak, maka Wajib Pajak ini bisa mengajukan SKB agar tidak terkena potongan PPh sementara labanya belum muncul.

3. Wajib Pajak yang Sudah Membayar Pajak Lebih Besar dari yang Terutang

Jika berdasarkan perhitungan, pajak yang sudah dibayar (misalnya melalui angsuran atau kredit pajak) lebih besar dari pajak yang seharusnya dibayar di tahun berjalan, maka DJP dapat menerbitkan SKB.

4. Wajib Pajak yang Penghasilannya Sudah Dikenakan Pajak Final

Misalnya perusahaan yang penghasilannya dari bunga deposito atau UMKM yang sudah membayar pajak final (PP 55/2022). Namun, perlu diingat: pajak final tidak bisa diajukan SKB, karena sifatnya sudah selesai pada saat dibayar.

PPh yang Tidak Bisa Diajukan SKB

Sesuai Pasal 1 ayat (3) PER-21/PJ/2014, SKB tidak berlaku untuk PPh yang bersifat final, seperti:

  • PPh Final atas bunga deposito, sewa tanah/bangunan, atau jasa konstruksi.
  • PPh Final UMKM (tarif 0,5%).
  • PPh Final transaksi saham, obligasi, atau pengalihan tanah dan bangunan.

Dengan kata lain, SKB hanya bisa diajukan untuk PPh non-final, seperti PPh 21, 22, 22 Impor, dan 23.

Bagaimana Cara Mengajukan SKB PPh?

Langkah-langkahnya cukup sederhana namun perlu ketelitian administratif:

  • Ajukan Surat Permohonan Tertulis Ditujukan kepada Kepala KPP tempat Wajib Pajak terdaftar.
  • Pastikan SPT Tahunan PPh Terakhir Sudah Disampaikan Ini syarat wajib, kecuali bagi perusahaan baru yang masih dalam tahap investasi.
  • Gunakan Formulir Lampiran I PER-1/PJ/2011 Setiap jenis pajak (PPh 21, 22, 22 Impor, dan 23) harus diajukan secara terpisah.
  • Lampirkan Perhitungan PPh yang Diperkirakan Terutang Untuk menunjukkan bahwa pajak yang akan terutang benar-benar kecil atau nihil.
  • Tunggu Proses Verifikasi oleh KPP KPP akan menilai kelengkapan dokumen dan kebenaran alasan permohonan.

Berapa Lama SKB Diterbitkan?

Sesuai Pasal 5 PER-1/PJ/2011:

  • Kepala KPP wajib memberikan keputusan dalam waktu 5 hari kerja sejak permohonan lengkap diterima.
  • Jika dalam 5 hari belum ada keputusan, permohonan dianggap diterima secara otomatis.
  • Dalam hal ini, KPP wajib menerbitkan SKB dalam waktu 2 hari kerja setelahnya.

Artinya, dalam kondisi normal, SKB bisa terbit maksimal dalam 7 hari kerja sejak dokumen dinyatakan lengkap.

Masa Berlaku SKB

SKB berlaku sampai dengan berakhirnya tahun pajak yang bersangkutan.
Jika wajib pajak ingin tetap bebas dari pemotongan di tahun berikutnya, maka permohonan SKB harus diajukan ulang setiap tahun.

Kenapa SKB Penting Bagi Wajib Pajak?

  • Mencegah Overpayment Pajak : SKB melindungi arus kas (cash flow) perusahaan agar tidak ada potongan pajak yang sebetulnya tidak perlu.
  • Meningkatkan Efisiensi Pajak : Dengan SKB, perusahaan tidak perlu menunggu restitusi (pengembalian pajak) di akhir tahun.
  • Memberi Kepastian Hukum : SKB adalah bukti resmi bahwa DJP mengakui kondisi fiskal wajib pajak saat itu.
  • Mendukung Likuiditas Bisnis Baru atau Sektor Investasi : Khususnya bagi perusahaan yang masih dalam tahap investasi dan belum memiliki laba, SKB membantu menjaga kelangsungan pendanaan operasional.

Ilustrasi Kasus: Ketika SKB Jadi Penyelamat

Misalnya, PT X baru berdiri tahun ini dan sedang membangun pabrik. Selama setahun penuh, perusahaan belum menghasilkan pendapatan komersial — artinya, belum ada laba, bahkan masih rugi.

Namun, PT X membeli jasa konsultan dari perusahaan lain. Sesuai aturan, penyedia jasa wajib memotong PPh 23 sebesar 2% atas jasa yang dibayarkan.
Jika tidak ada SKB, PT X akan terus dipotong 2% dari seluruh pembayaran jasa, padahal tahun ini belum punya laba dan nantinya akan rugi.

Dengan SKB, PT X bebas dari potongan PPh 23 karena sudah terbukti tidak akan terutang pajak di tahun berjalan.
Hasilnya, cash flow perusahaan tetap sehat tanpa melanggar ketentuan perpajakan.

Ketentuan Peralihan (PER-21/PJ/2014 Pasal II)

Permohonan SKB yang sudah diterima sebelum aturan baru (PER-21/PJ/2014) tetap diselesaikan berdasarkan aturan lama (PER-1/PJ/2011). Artinya, sistem perpajakan Indonesia tetap memberikan kepastian hukum dan transisi yang adil bagi semua wajib pajak.

Kesimpulan: SKB Adalah Alat Efisiensi Pajak yang Legal dan Cerdas

SKB bukan “jalan pintas untuk bebas pajak”, melainkan alat hukum yang sah untuk menghindari pemotongan pajak yang tidak relevan.
Dengan SKB, wajib pajak bisa mengelola keuangan lebih efisien tanpa khawatir melanggar aturan.

Bagi pebisnis, investor, maupun lembaga yang sedang merintis atau mengalami kerugian fiskal, SKB adalah strategi keuangan legal yang bisa menyelamatkan arus kas dan memperkuat kepercayaan fiskal di mata otoritas pajak.

Hot this week

Terlambat Upload e-Faktur? Ketahui Kenapa Batas Waktu Jadi Tanggal 20 Bulan Berikutnya!

Dalam era digitalisasi pajak, kewajiban pelaporan semakin mengikat —...

SPDN vs SPLN: Mengenal Status Pajak agar Tak Salah Lapor dan Tak Kena Denda

Pernahkah kamu mendengar istilah Subjek Pajak Dalam Negeri (SPDN)...

Cara Mudah Menyampaikan Pemberitahuan Norma Penghitungan Penghasilan Netto (NPPN) di Coretax

Bayangkan kamu seorang pedagang, freelancer, atau pemilik usaha kecil....

Bendahara Siaga! Jangan Abaikan Kewajiban Pungut PPN ke Rekanan Non-PKP – Kode 411211-108 Menjadi Penentu!

Dalam era Coretax yang semakin nyata, bendahara instansi pemerintah...

Kalkulator Jasa Konstruksi Online – Hitung Tarif Pajak Konstruksi Sesuai PP Nomor 9 Tahun 2022

Latar Belakang: Mengapa Tarif Jasa Konstruksi Perlu Dihitung dengan...

Topics

Terlambat Upload e-Faktur? Ketahui Kenapa Batas Waktu Jadi Tanggal 20 Bulan Berikutnya!

Dalam era digitalisasi pajak, kewajiban pelaporan semakin mengikat —...

SPDN vs SPLN: Mengenal Status Pajak agar Tak Salah Lapor dan Tak Kena Denda

Pernahkah kamu mendengar istilah Subjek Pajak Dalam Negeri (SPDN)...

Cara Mudah Menyampaikan Pemberitahuan Norma Penghitungan Penghasilan Netto (NPPN) di Coretax

Bayangkan kamu seorang pedagang, freelancer, atau pemilik usaha kecil....

Kalkulator Jasa Konstruksi Online – Hitung Tarif Pajak Konstruksi Sesuai PP Nomor 9 Tahun 2022

Latar Belakang: Mengapa Tarif Jasa Konstruksi Perlu Dihitung dengan...

Jangan Remehkan Saldo Rekeningmu! Data Sudah Terbuka, Saatnya Jujur di SPT Tahunan!

Pernahkah kamu berpikir bahwa saldo rekening bankmu di akhir...

Kalkulator Pajak: Alat Cerdas untuk Menghitung Rasio Keuangan Perusahaan

Mengenal Kalkulator Rasio Keuangan dari Konsul Pajak Dalam dunia bisnis...

Stimulus PPh Pasal 21 DTP: Harapan Baru Bagi Industri Padat Karya

Memasuki tahun 2025, pemerintah hadirkan sebuah langkah nyata untuk...

Related Articles

Popular Categories