Jumat, Oktober 3, 2025
22.6 C
Indonesia
Beranda blog Halaman 6

Konsekuensi Jika Wajib Pajak Tidak Membuat Pemberitahuan Norma Penghitungan Penghasilan Neto

0

Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN) sering menjadi “jalan pintas” yang sah untuk menghitung penghasilan kena pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi. Namun, ada aturan penting yang sering terlewat: Wajib Pajak yang ingin menggunakan norma wajib menyampaikan pemberitahuan ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) dalam jangka waktu tertentu.

Sayangnya, banyak yang tidak menyadari hal ini. Akibatnya, ketika melaporkan SPT Tahunan, penghasilan dihitung dengan norma padahal tidak pernah mengajukan pemberitahuan. Lalu apa konsekuensinya? Mari kita bahas secara lebih detail.

Dasar Hukum

Ketentuan pemberitahuan norma diatur dalam:

  1. Pasal 14 ayat (2) UU PPh (UU No. 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan). Disebutkan bahwa Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dan tidak menyelenggarakan pembukuan dapat menghitung penghasilan neto dengan norma apabila memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan.
  2. PER-17/PJ/2015 tentang Norma Penghitungan Penghasilan Neto. Menegaskan kembali kewajiban pemberitahuan tersebut dan mengatur tata cara pelaksanaannya.

Apa yang Terjadi Jika Tidak Ada Pemberitahuan?

1. Wajib Pajak Dianggap Wajib Membuat Pembukuan

Apabila Wajib Pajak tidak menyampaikan pemberitahuan norma dalam waktu 3 bulan pertama tahun pajak, maka secara otomatis dianggap memilih untuk menyelenggarakan pembukuan.

Artinya, penghasilan neto tidak boleh lagi dihitung dengan norma, melainkan harus dihitung berdasarkan laporan keuangan yang memuat pencatatan penghasilan, biaya, dan laba rugi sesuai standar akuntansi.

2. Risiko Koreksi Fiskus

Jika Wajib Pajak tetap menggunakan norma di SPT Tahunan tanpa pemberitahuan resmi, fiskus (petugas pajak) berhak melakukan koreksi.

  • Koreksi dilakukan dengan menganggap pembukuan wajib ada.
  • Bila tidak ada pembukuan, maka fiskus bisa menerbitkan pajak kurang bayar berdasarkan penghitungan sendiri (official assessment).

3. Sanksi Administrasi

Selain kewajiban pajak pokok yang mungkin bertambah akibat koreksi, Wajib Pajak juga bisa dikenakan sanksi administrasi berupa bunga atau denda sesuai Pasal 13 UU KUP.

4. Potensi Sengketa

Bila Wajib Pajak merasa sudah benar menghitung dengan norma meskipun tidak memberitahukan, hal ini bisa menimbulkan sengketa dengan DJP. Penyelesaiannya bisa panjang, mulai dari keberatan hingga banding.

Ilustrasi Kasus

Kasus 1: Pedagang Tanpa Pemberitahuan

Pak Andi, seorang pedagang pakaian, memiliki omzet Rp400 juta setahun. Ia menghitung pajak dengan norma (30%) tanpa menyampaikan pemberitahuan ke KPP.

  • Penghasilan neto dihitung sendiri = Rp120 juta.
  • Setelah dikurangi PTKP, ia lapor SPT dengan PPh terutang Rp3 juta.

Namun saat diperiksa, DJP menemukan bahwa Pak Andi tidak pernah mengajukan pemberitahuan norma.

  • Akibatnya, ia dianggap wajib melakukan pembukuan.
  • Karena tidak ada laporan keuangan, fiskus melakukan koreksi dan memperkirakan penghasilan neto sebenarnya Rp200 juta.
  • Pajak terutang jadi Rp10 juta, sehingga ada kurang bayar Rp7 juta plus sanksi bunga.

Kasus 2: Freelancer Desainer

Bu Sari, seorang freelancer, omzet Rp300 juta. Ia juga pakai norma (50%), tapi lupa menyampaikan pemberitahuan.

  • DJP kemudian menolak penggunaan norma.
  • Karena tidak ada pembukuan, DJP menggunakan data transaksi dari rekening bank untuk menghitung pajak.
  • Hasilnya jauh lebih tinggi dari yang dilaporkan Bu Sari.

Kasus ini menunjukkan betapa pentingnya pemberitahuan norma sebagai dasar legalitas penggunaan metode tersebut.

Mengapa DJP Mengatur Pemberitahuan?

Ada dua alasan utama:

  1. Kepastian Hukum
    Dengan pemberitahuan, DJP tahu siapa saja yang memilih menggunakan norma. Ini penting untuk menghindari perdebatan di kemudian hari.
  2. Disiplin Administrasi
    Norma hanya boleh digunakan oleh WP dengan omzet kecil. Tanpa pemberitahuan, bisa saja WP besar ikut menggunakan norma untuk menekan pajak, padahal secara aturan mereka wajib pembukuan.

Memahami Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN) dengan Cara Sederhana

0
norma-penghitungan-penghasilan-netto
norma-penghitungan-penghasilan-netto

Pendahuluan

Bagi banyak pelaku usaha kecil, wiraswasta, maupun profesional yang baru belajar pajak, menghitung penghasilan kena pajak seringkali terasa rumit. Ada istilah laporan keuangan, biaya yang boleh dikurangkan, sampai perhitungan laba rugi. Padahal, tidak semua Wajib Pajak punya kemampuan membuat laporan keuangan yang detail.

Nah, untuk kondisi seperti inilah Direktorat Jenderal Pajak memberikan fasilitas yang disebut Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN). Norma ini bisa dianalogikan sebagai “jalan pintas” yang sah secara hukum bagi Wajib Pajak orang pribadi yang tidak menyelenggarakan pembukuan.

Apa Itu Norma Penghitungan Penghasilan Neto?

Secara sederhana, Norma Penghitungan Penghasilan Neto adalah persentase tertentu yang sudah ditetapkan pemerintah untuk menghitung penghasilan neto dari usaha atau pekerjaan bebas seseorang.

Jadi, alih-alih repot mencatat semua pengeluaran, kita cukup menggunakan persentase yang ditentukan sesuai jenis usaha. Dari persentase itulah dihitung berapa penghasilan neto yang akan dikenakan pajak.

Contoh:

  • Seorang pedagang sembako dengan omzet Rp400 juta per tahun.
  • Menurut lampiran norma, usaha perdagangan eceran punya norma 30%.
  • Maka penghasilan neto = 30% × Rp400 juta = Rp120 juta.
  • Rp120 juta inilah yang kemudian menjadi dasar perhitungan Pajak Penghasilan (PPh).

Dasar Hukum NPPN

Ada beberapa regulasi penting yang mengatur penggunaan norma ini, yaitu:

  • Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU No. 7 Tahun 1983 tentang PPh sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan).
  • Pasal 14 menyebutkan bahwa Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan tidak menyelenggarakan pembukuan dapat menghitung penghasilan neto dengan menggunakan norma.
  • Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-17/PJ/2015 tentang Norma Penghitungan Penghasilan Neto. Lampiran peraturan ini berisi daftar jenis usaha dan besarnya persentase norma untuk setiap daerah.
  • Surat Edaran Dirjen Pajak serta regulasi teknis yang memperbarui lampiran norma, karena bisa berbeda antara satu daerah dan daerah lainnya.

Siapa yang Bisa Menggunakan NPPN?

Tidak semua Wajib Pajak bisa memakai norma ini. Ada syarat yang harus dipenuhi:

  • Subjek Pajak : Hanya berlaku untuk orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas. Wajib Pajak badan (PT, CV, yayasan, dsb.) tidak bisa menggunakan norma.
  • Syarat Omzet : Wajib Pajak dengan peredaran bruto (omzet) setahun kurang dari Rp4,8 miliar. Jika omzet lebih besar, maka wajib menyelenggarakan pembukuan.
  • Pemberitahuan ke KPP : Wajib Pajak yang memilih menggunakan norma harus menyampaikan pemberitahuan tertulis ataupun secara elektronik ke Kantor Pajak paling lambat 3 bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan.

Bagaimana Cara Menggunakan NPPN?

Langkah-langkahnya cukup sederhana:

  1. Hitung Omzet
    Catat seluruh peredaran bruto atau omzet setahun. Misalnya, hasil jualan online selama 1 tahun Rp300 juta.
  2. Cek Norma Sesuai Jenis Usaha
    Lihat di lampiran PER-17/PJ/2015. Misalnya, usaha perdagangan eceran di wilayah Jawa norma = 30%.
  3. Kalikan dengan Norma
    Rp300 juta × 30% = Rp90 juta → inilah penghasilan neto.
  4. Hitung PPh Terutang
    Dari Rp90 juta, kurangi dengan PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak). Misalnya status WP lajang PTKP = Rp54 juta.
    • Penghasilan Kena Pajak (PKP) = Rp90 juta – Rp54 juta = Rp36 juta.
    • PPh = 5% × Rp36 juta = Rp1,8 juta setahun.

Contoh Kasus Nyata

Contoh 1: Pedagang Warung Makan

Pak Joko memiliki warung makan kecil dengan omzet Rp500 juta per tahun.

  • Norma usaha rumah makan = 40%.
  • Penghasilan neto = 40% × Rp500 juta = Rp200 juta.
  • Dikurangi PTKP (misalnya Rp54 juta) → PKP = Rp146 juta.
  • PPh terutang:
    • Rp60 juta pertama = 5% × Rp60 juta = Rp3 juta.
    • Sisanya Rp86 juta = 15% × Rp86 juta = Rp12,9 juta.
    • Total PPh = Rp15,9 juta.

Contoh 2: Freelancer Desainer Grafis

Bu Rani bekerja sebagai freelancer dengan penghasilan bruto Rp150 juta setahun.

  • Norma pekerjaan bebas (jasa profesional) misalnya 50%.
  • Penghasilan neto = 50% × Rp150 juta = Rp75 juta.
  • Dikurangi PTKP Rp54 juta → PKP = Rp21 juta.
  • PPh terutang = 5% × Rp21 juta = Rp1,05 juta.

Kelebihan dan Kekurangan NPPN

Kelebihan:

  • Praktis: Tidak perlu membuat laporan keuangan detail.
  • Mudah dihitung: Tinggal pakai persentase norma.
  • Legal: Diatur jelas dalam UU dan peraturan Dirjen Pajak.

Kekurangan:

  • Kurang mencerminkan kondisi riil: Bisa jadi sebenarnya biaya lebih besar dari norma, tetapi tetap dihitung sesuai norma.
  • Tidak fleksibel untuk omzet besar: Jika omzet sudah mendekati Rp4,8 miliar, lebih baik membuat pembukuan agar biaya bisa diklaim lebih rinci.

Tips Praktis bagi Wajib Pajak

  • Cermati jenis usaha: Norma tiap usaha berbeda. Jangan sampai salah klasifikasi.
  • Arsipkan bukti penghasilan: Meski pakai norma, sebaiknya tetap punya catatan omzet.
  • Konsultasi ke KPP: Jika ragu memilih norma atau pembukuan, bisa diskusi dengan petugas pajak.
  • Perhatikan batas omzet: Jika usaha berkembang dan omzet tembus Rp5 miliar, wajib beralih ke pembukuan.

Penutup

Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN) adalah fasilitas yang mempermudah Wajib Pajak orang pribadi dalam memenuhi kewajiban pajaknya. Dengan adanya norma, penghitungan penghasilan neto jadi lebih sederhana, terutama bagi usaha kecil, pedagang, maupun pekerja lepas yang belum siap menyusun laporan keuangan detail.

Dasar hukumnya jelas, yaitu Pasal 14 UU PPh dan PER-17/PJ/2015 beserta lampirannya. Intinya, selama omzet masih di bawah Rp4,8 miliar setahun dan sudah menyampaikan pemberitahuan ke KPP, Wajib Pajak bisa menggunakan norma dengan tenang.

Pada akhirnya, memilih norma atau pembukuan tergantung kondisi usaha. Jika ingin praktis, norma bisa jadi pilihan. Tetapi jika usaha sudah besar, pembukuan lebih adil karena biaya usaha bisa dihitung sesuai kenyataan.

Dengan memahami konsep ini, kita bisa lebih siap dan tenang dalam melaksanakan kewajiban pajak—tanpa harus bingung dengan istilah rumit.

Pengenaan PPh atas Jasa yang Dilakukan Orang Pribadi: Dipotong PPh Pasal 21 atau PPh Pasal 23?

0
PPh atas Jasa yang Dilakukan Orang Pribadi
PPh atas Jasa yang Dilakukan Orang Pribadi

Dalam praktik perpajakan di Indonesia, salah satu isu yang sering menimbulkan kebingungan adalah bagaimana pengenaan Pajak Penghasilan (PPh) atas jasa yang dilakukan oleh orang pribadi. Kebingungan ini terutama muncul ketika harus menentukan apakah pemotongan dilakukan melalui PPh Pasal 21 atau PPh Pasal 23.

Sekilas, keduanya sama-sama mengatur mengenai pemotongan pajak atas penghasilan dari jasa. Namun, keduanya memiliki objek, subjek, dan mekanisme yang berbeda. Artikel ini mencoba mengupas perbedaan tersebut dengan bahasa sederhana, agar mudah dipahami oleh praktisi pajak, pengusaha, maupun masyarakat umum.

Sekilas tentang PPh Pasal 21

PPh Pasal 21 adalah pajak yang dikenakan atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima oleh orang pribadi dalam negeri.

Dasar hukum utama:

  • Pasal 21 UU PPh (UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan).
  • Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-16/PJ/2016 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26.
  • PMK-168 Tahun 2023 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak atas Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan,Jasa, atau Kegiatan Orang Pribadi

Secara sederhana, PPh 21 berlaku jika:

  • Penerima penghasilan adalah orang pribadi,
  • Sumber penghasilan tersebut terkait dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan,
  • Hubungan hukum bisa berupa pegawai, bukan pegawai, atau tenaga ahli.

Contoh : dokter, notaris, pengacara, akuntan, konsultan, dosen, maupun pengajar yang memberikan jasa profesional.

Sekilas tentang PPh Pasal 23

Berbeda dengan Pasal 21, PPh Pasal 23 dikenakan atas penghasilan yang berasal dari modal, penyerahan jasa, atau hadiah dan penghargaan, yang diterima oleh Wajib Pajak dalam negeri atau BUT (Bentuk Usaha Tetap).

Dasar hukum utama:

  • Pasal 23 UU PPh
  • Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 141/PMK.03/2015 tentang Jenis Jasa Lain sebagai Objek Pemotongan PPh Pasal 23.

Objek PPh 23 jasa meliputi jasa manajemen, jasa konsultan, jasa teknik, jasa perantara, dan puluhan jenis jasa lainnya sebagaimana dirinci dalam PMK 141/2015. Namun, penting digarisbawahi: PPh 23 umumnya berlaku untuk penerima penghasilan berupa Badan, bukan orang pribadi. Tarif PPh 23 untuk jasa adalah 2% dari jumlah bruto, tidak termasuk PPN.

Di Mana Sering Terjadi Kebingungan?

Kebingungan muncul ketika seseorang menggunakan jasa orang pribadi namun jasa yang diberikan masuk dalam daftar “jasa lain” yang diatur di PPh Pasal 23.
Contoh kasus:

  • Sebuah perusahaan menggunakan jasa konsultan pajak orang pribadi. Apakah dipotong PPh 21 atau PPh 23?
  • Perusahaan membayar jasa pelatihan yang dilakukan oleh seorang trainer individu. Apakah dipotong PPh 21 atau PPh 23?

Di lapangan, sebagian pihak cenderung menggunakan Pasal 23 karena menyamakan semua jenis jasa konsultan ke Pasal 23, tanpa melihat siapa penerimanya. Padahal, menurut aturan, jika penerima penghasilan adalah orang pribadi, maka yang berlaku adalah PPh Pasal 21, bukan Pasal 23.

Prinsip Dasar Penentuan

Untuk memudahkan, mari kita tarik garis tegas:

  • Jika penerima penghasilan adalah orang pribadi → PPh Pasal 21.
  • Jika penerima penghasilan adalah badan (CV, PT, firma, yayasan, dll.) → PPh Pasal 23.

Dengan kata lain, yang menjadi pembeda utama adalah status subjek pajak penerima penghasilan. Bukan semata-mata jenis jasanya. Hal ini ditegaskan dalam berbagai aturan teknis, termasuk:

  • PER-16/PJ/2016, yang menyebutkan bahwa pembayaran kepada tenaga ahli (dokter, pengacara, akuntan, konsultan, notaris, dll.) yang menjalankan pekerjaan bebas, dipotong PPh Pasal 21.
  • PMK 141/2015, yang mengatur jasa lain sebagai objek Pasal 23, tetapi berlaku bila penerima penghasilan adalah badan.
  • PMK-168 Tahun 2023 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak atas Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan,Jasa, atau Kegiatan Orang Pribadi

Ilustrasi Kasus

Agar lebih jelas, mari kita lihat ilustrasi berikut:

  • Kasus 1: Konsultan Individu
    Perusahaan A menggunakan jasa konsultan bisnis independen bernama Budi (orang pribadi, NPWP ada). Perusahaan membayar fee Rp100.000.000.
    → Karena Budi adalah orang pribadi, maka perusahaan wajib memotong PPh 21 tenaga ahli, bukan PPh 23.
  • Kasus 2: Konsultan Berbadan Hukum
    Perusahaan A menggunakan jasa konsultan bisnis PT XYZ. Fee yang dibayarkan Rp100.000.000.
    → Karena penerimanya adalah badan (PT), maka perusahaan wajib memotong PPh 23 sebesar 2% dari jumlah bruto, yaitu Rp2.000.000.

Tarif PPh 21 untuk Jasa Orang Pribadi

Tarif PPh 21 untuk tenaga ahli atau jasa orang pribadi berbeda dengan pegawai. Mekanismenya adalah:

  • Dasar pengenaan adalah 50% dari penghasilan bruto.
  • Atas penghasilan neto tersebut, dikenakan tarif Pasal 17 UU PPh (tarif progresif orang pribadi).

Contoh:

  • Fee bruto Rp100.000.000
  • Penghasilan neto = 50% x Rp100.000.000 = Rp50.000.000
  • Dikenakan tarif progresif (misalnya 5% untuk lapisan pertama sampai Rp60 juta).
  • Maka PPh terutang = 5% x Rp50.000.000 = Rp2.500.000

Penutup

Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan:

  • PPh Pasal 21 berlaku untuk jasa yang dilakukan oleh orang pribadi, termasuk tenaga ahli dan pekerjaan bebas.
  • PPh Pasal 23 berlaku untuk jasa yang diterima oleh badan usaha, baik berupa PT, CV, firma, maupun yayasan.
  • Perbedaan ini penting dipahami agar tidak salah memotong, yang bisa berakibat pada sanksi administrasi di kemudian hari.

Cara Membuat Kode Otorisasi di Coretax

0
Cara Membuat Kode Otorisasi di Coretax
Cara Membuat Kode Otorisasi di Coretax

Dalam era digitalisasi perpajakan, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) terus berupaya memberikan kemudahan bagi Wajib Pajak melalui sistem terbaru bernama Coretax. Salah satu fitur penting di sistem ini adalah kode otorisasi. Meski terdengar teknis, sebenarnya kode otorisasi hanyalah “kunci keamanan” yang memastikan bahwa setiap transaksi atau permohonan pajak yang kita lakukan memang benar dilakukan oleh pemilik akun, bukan orang lain.

Bagi sebagian orang, istilah ini mungkin masih terdengar rumit. Namun, dengan pemahaman yang tepat, pembuatan kode otorisasi di Coretax sebenarnya sederhana dan sangat membantu dalam menjaga keamanan data serta transaksi pajak kita.

Apa Itu Kode Otorisasi?

Kode otorisasi / tanda tangan digital / Passphrase adalah kombinasi khusus antara huruf, angka dan karakter khusus yang kita buat pada saat pertama kali akses ke sistem perpajakan coretax. Fungsi kode otorisasi tersebut adalah untuk memvalidasi aktivitas tertentu. Misalnya, ketika Anda ingin mengajukan permohonan pemindahbukuan, mengubah data, atau melakukan transaksi yang bersifat sensitif.

Fungsinya mirip seperti PIN pada ATM atau kode OTP (One-Time Password) pada aplikasi perbankan. Tanpa kode otorisasi ini, transaksi Anda tidak akan diproses oleh sistem. Jadi, meskipun Anda sudah login ke akun Coretax, kode otorisasi tetap dibutuhkan sebagai lapisan keamanan tambahan.

Cara Membuat Kode Otorisasi di Coretax

Step pertama untuk membuat kode otorisasi pastinya adalah login di halaman coretax dan login dengn menggunakan NIK (Nomor KTP) serta password akun coretax anda

Berikutnya silahkan klik menu Profil Saya dan pilih sub menu Permintaan Kode Otorisasi / Sertifikat Elektronik

Berikutnya kolom-kolom NIK/NPWP , Nama, Alamat, Email dan Nomor Handphone akan terisi otomatis sesuai data kita dan silahkan scroll ke bawah

Berikutnya pada bagian Jenis Sertifikat Digital silahkan pilih opsi Kode Otorisasi DJP

Berikutnya silahkan isi kolom Passphrase dengan minimal 8 karakter yang terdiri dari minimal 1 Huruf kapital, 1 angka dan 1 karakter khusus. selanjutnya centang pernyataan dan klik Simpan

Berikutnya akan muncul notifikasi bahwa Sertifikat Digital berhasil dibuat.

Untuk melakukan pengecekan apakah status pembuatan kode otorisasi / sertifikat digital sudah valid, maka silahkan masuk ke menu Profil Saya

Berikutnya setelah masuk ke menu profil silahkan pilih Nomor Identifikasi Eksternal

Berikutnya silahkan pilih menu Digital Certificate dan cek kolom Status Kepemilikan jika berstatus invalid maka silahkan scroll ke kanan

Berikutnya silahkan klik menu Periksa status

maka akan muncul status sukses dan akan muncul 2 menu yaitu tombol periksa status dan menghasilkan. silahkan klik tombol Menghasilkan

Maka akan otomatis terupdate kolom status ke[pemilikan menjadi valid

Pembuatan kode otorisasi di Coretax adalah langkah kecil yang memberikan dampak besar bagi keamanan transaksi pajak Anda. Dengan kode ini, setiap aktivitas yang dilakukan akan lebih terjamin keasliannya, sehingga terhindar dari penyalahgunaan akun.

Meskipun awalnya terlihat teknis, sebenarnya prosesnya sederhana—tidak jauh berbeda dengan membuat PIN ATM atau password email. Jadi, jangan ragu untuk segera membuat dan menggunakan kode otorisasi di Coretax agar setiap kewajiban perpajakan Anda berjalan aman, lancar, dan terlindungi.

Cara Pemindahbukuan Setoran Pajak di Coretax

0
pemindahbukuan setoran pajak di coretax
pemindahbukuan setoran pajak di coretax

Dalam perjalanan memenuhi kewajiban perpajakan, tidak jarang Wajib Pajak mengalami situasi di mana setoran pajak yang sudah dilakukan ternyata salah. Misalnya, salah memasukkan kode jenis setoran, salah tahun pajak, atau bahkan salah menuliskan nominal setoran. Kondisi seperti ini tentu membuat kita cemas dan bingung, apalagi bila nominal setoran cukup besar. Namun, jangan khawatir, berikut akan kami share tentang step by step cara pengajuan pemindahbukuan setoran pajak melalui sistem Coretax.

Apa itu pemindahbukuan setoran pajak ?

Pemindahbukuan (PBK) adalah proses administrasi perpajakan untuk memindahkan pencatatan setoran pajak yang sudah dilakukan, tetapi salah tempat, ke pos yang sebenarnya. Dengan kata lain, uang pajak yang sudah Anda setorkan tidak hilang, melainkan hanya perlu diarahkan kembali sesuai tujuan yang benar.

Contohnya, Anda bermaksud membayar deposit pajak dengan kode 411618-100, tetapi ternyata salah input dan tercatat sebagai deposit pajak tahunan dengan kode 411618-200. Di sinilah fungsi pemindahbukuan: mengoreksi alokasi setoran agar sesuai peruntukannya.

Langkah-Langkah Pemindahbukuan di Coretax

Sejak implementasi Coretax, pengajuan pemindahbukuan menjadi lebih mudah dan transparan. Berikut langkah-langkah yang bisa Anda ikuti:

Silahkan rekan-rekan akses alamat coretaxdjp.pajak.go.id dan lakukan login dengan menggunakan NIK PIC utama / direktur / pengurus kemudian jangan lupa lakukan impersonating ke akun wajib pajak yang diwakili. Jika sudah sukses melakukan impersonating maka silahkan pilih menu Pembayaran dan klik sub menu Permohonan Pemindahbukuan

Berikutnya silahkan klik menu Buat Permohonan Pemindahbukuan di sebelah kanan atas

Selanjutnya akan ditampilkan form permohonan pemindahbukuan coretax, di bagian pertama akan muncul data kita sebagai wajib pajak yang mengajukan permohonan pemindahbukuan, pastikan nama, npwp serta detil data sudah sesuai dengan data kita, kemudian scroll ke bawah

Berikutnya di bagian Pilih Data Pembayaran sumber pemindahbukuan silahkan klik tombol pencarian

Maka akan muncul daftar setoran yang bisa diajukan pemindahbukuan. setoran disin adalah setoran yang memang belum dibukukan ke jenis pajak apapaun atau belum dilakukan validasi oleh sistem. silahkan pilih setoran yang akan diajukan permohonan pemindahbukuan dengan mengklik tombol pilih

Otomatis jika sudah memilih maka kolom jenis pajak, kode jenis setoran, referensi akan terisi otomatis. Silahkan pilih alasan pemindahbukuan, dan isikan nominal yang akan kita pindahbukukan di kolom sebelah kanan.

Selanjutnya jika kolom dibagian sumber pemindahbukuan sudah terisi semua, maka kita geser ke bawah dan silahkan isi kolom tujuan pemindahbukuan. Pada bagian kolom Tujuan, silahkan pilih tujuan pemindahbukuan ke akun wajib pajak atau ke akun wajib pajak lain (beda NPWP)

karena kita akan memindahbukukan ke akun wajib pajak yang sama, maka kita pilih opsi Akun Wajib Pajak, sehingga kolom nama dan npwp akan terisi otomatis. Berikutnya pada bagian kolom Jenis Kewajiban silahkan pilih Lainnya.

Berikutnya pada bagian KAP-KJS silahkan pilih jenis pajak dan masa pajak tujuan pemindahbukuan. semisal kita akan pindahbuku ke jenis pajak deposit pajak masa, maka kita pilih kode jenis pajak 411618-100 dan masa pajak 01122025.

Selanjutnya kita ke bagian bawah di bagian menu unggah, silahkan upload lampiran pendukung pemindahbukuan seperi bukti setornya yang sudah berformat pdf, dengan mengklik Pilih file

Silahkan pilih file yang akan diupload kemudian klik Open

Jika sudah memilih file tersebut berikutnya silahkan klik Unggah file

Selanjutnya jika sudah sukses mengupload berkas lampiran, akan muncul pesan bahwa upload dan validasi berhasil dan kia scroll ke bagia bawah

Selanjutnya silahkan masukkan kode otorisasi dibagian bawah dengan klik tombol tanda tangan, pastikan kode otorisasi / passphrase yang dimasukkan sudah benar, kemudian silahkan simpan konsep agar data erekaman tidak hilang

Selanjutnya setelah step simpan konsep permohonan berhasil, silahkan klik kirim permohonan pemindahbukuan tersebut

Selanjutnya akan muncul notifikasi bahwa Blance transfer request submitted Successfully

Berikutnya jika proses pemindahbukuan tersebut berkaitan dengan setoran deposit maka akan langsung diproses otomatis oleh sistem dan langsung keluar bukti pemindahbukuan yang bisa dicek di menu Dokumen Saya. contohhasil pemindahbukuan secara otomatis di coretax

Oke demikian tentang cara melakukan pemindahbukuan di coretax. semoga rekan-rekan bisa memahami alur dan prosedur pengajuan pbk ini. semoga bermanfaat

Cara Pengajuan Pengembalian Pajak Yang Seharusnya Tidak Terutang

0
Cara permohonan pengembalian pajak yang seharusnya tidak terutang
Cara permohonan pengembalian pajak yang seharusnya tidak terutang

Ketika membuat kode billing mandiri di coretax, rekan-rekan harus hati-hati ketika memilih masa pajak, karena di opsi menu dropdown pilihan masa pajak muncul pilihan untuk tahun pajak 2026 yang pastinya ketika terlanjur disetorkan maka kita tidak mudah untuk memindahbukukan seperti tahun-tahun dulu. Berdasarkan pada PMK-81 tahun 2025 saat ini mayoritas setoran tidak bisa dipindahbukukan seperti dulu, yang bisa kita lakukan adalah menggunakan prosedur Pengembalian Pajak Yang Seharusnya Tidak Terutang (PYSTT). Nah bagaimana step by step cara pengajuan permohonan Pengembalian Pajak Yang Seharusnya Tidak Terutang ini, silahkan ikuti tutorial berikut ini

Step pertama adalah silahkan lakukan Login terlebih dahulu di akun coretax PIC / Pengurus kemudian jangan lupa lakukan impersonating terlebih dahulu ke akun wajib pajak yang diwakili. Selanjutnya pilih menu Pembayaran dan pilih sub menu Formulir Restitusi Pajak

Selanjutnya akan muncul tampilan formulir yang wajib kita isi kolom-kolomnya. Lakukan pengisian pada kolom Nomor Surat Permohonan, Email dan Status Penandatangan. Khusus pada kolom Status Penandatangan silahkan pilih opsi Wakil Wajib Pajak / Pengurus

Berikutnya pada bagian kolom Alasan Permintaan Restitusi, silahkan pilih opsi Pembayaran Pajak Yang Seharusnya Tidak Terutang Terkait Pembayaran yang dipersamakan dengan Pelaporan

Lalu step berikutnya adalah silahkan isi kolom dengan rincian sebagai berikut:

  • Kolom Kode Akun Pajak diisi dengan kode akun pajak yang kita ajukan permohonan PYSTT (contoh Kode 411126)
  • Kolom Kode Jenis Setoran diisi dengan kode setoran yang kita ajukan permohonan PYSTT (Contoh kode 100)
  • Kolom Masa dan Tahun Pajak diisi dengan Masa dan tahun pajak setoran yang kita ajukan permohonan
  • Kolom Mata Uang kita isi dengan opsi Rupiah Indonesia
  • Kolom Jenis Akun Wajib Pajak diisi Kewajiban Pajak Lain
  • Kolom Jenis Detail Akun Wajib Pajak diisi dengan Pelaporan Melalui Pembayaran

Setelah semua kolom terisi kemudian kita klik menu Tambah Data yang ada dibagian bawah sebeah kiri

Lalu selanjutnya otomatis dibagian tabel yang berwarna kuning akan terisi data setoran yang kita ajukan permohonan pengembalian. Silahkan cek terlebih data setoran di tabel tersebut sudah sesuai dengan yang akan diajukan permohonan

Lalu berikutnya sedikit scroll ke bawah pada bagian Pilih Rekening Bank silahkan klik tombol pencarian yang ada disebelah kanan

Lalu selanjutnya pilih nomor rekening yang muncul di daftar tersebut. Jika nomor rekening tersebut belum sesuai dengan rekening yang kita punya maka silahkan update data rekening bank utama di menu profil terlebih dahulu.

Lalu selanjutnya pada bagian dokumen pendukung pada kolom Penghitungan Pajak Yang Seharusnya Tidak Terutang silahkan upload bukti pendukung yang sudah kita scan dalam bentuk pdf dengan klik unggah dokumen

maka akan muncul jendela menu yang beberapa kolomnya harus kita isi yaitu kolom Nama Jenis Dokumen kita pilih dengan opsi Dokumen Pendukung Lainnya kemudian kolom Pengirim Dokumen kita isi dengan Nama wajib pajak (Misal CV. Maju Jaya), berikutnya kita sedikit scroll ke bawah dan kita pilih file nya kemudian klik Simpan.

Lalu selanjutnya di bagian kolom Surat Kuasa khusus kita upload juga dengan dokumen pendukungnya dengan mengulangi step seperti langkah sebelumnya

Periksa kembali seluruh bagian isian yang bertanda bintang, kemudian berikutnya jika kita sudah mengisi dan mengupload bukti pendukungnya silahkan scroll ke bawah

Lalu step selanjutnya silahkan klik tombol Submit di sebelah kanan bawah, sehingga akan muncul notifikasi bahwa Kasus Berhasil Dibuat

Untuk memantau dan mengecek bahwa permohonan kita sudah masuk, silahkan rekan mengecek di menu Portal Saya –> Kasus Saya dan silahkan refresh agar muncul data terupdate. Jika kita sudah berhasil melakukan permohonan maka kasus tersebut akan muncul di daftar tersebut.

Contoh Kasus Perhitungan Pajak UMKM Orang Pribadi

0
Rina Pengusaha UMKM
Rina Pengusaha UMKM

Pemerintah memberikan fasilitas perpajakan untuk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) agar kewajiban pajak lebih ringan dan mudah dihitung. Salah satunya adalah tarif PPh Final 0,5% sesuai PP 23 Tahun 2018, yang berlaku untuk Wajib Pajak Orang Pribadi dengan omzet di bawah Rp 4,8 miliar setahun. Selain itu, UU HPP memberikan fasilitas bebas PPh untuk omzet sampai Rp 500 juta dalam setahun. Berikut contoh kasus nyata untuk memahami perhitungannya.

Contoh kasus

Rina seorang pedagang sembako di sebuah pasar tradisional di kota Sukamaju, mempunyai NPWP sejak Maret 2024, selama tahun 2024 Rina mendapatkan omset total sebesar 960 Juta dengan Rincian sebagai berikut :

Ketentuan Bebas PPh untuk Omzet ≤ Rp 500 Juta

Berdasarkan UU HPP dan PMK-164/2023, Wajib Pajak Orang Pribadi yang menggunakan skema UMKM:

  • Tidak dikenakan PPh Final 0,5% atas omzet hingga Rp 500 juta setahun.
  • PPh Final hanya dikenakan atas omzet yang melebihi Rp 500 juta.

Perhitungan PPh Final Rina

Dari tabel dibawah ini , omzet Rina dimulai pada bulan Maret dan terus meningkat setiap bulan. Berikut perhitungan terperinci:

Tahap 1: Periode Omset di Bawah Rp 500 Juta (Maret – Juli)

Rina mulai mencatatkan omsetnya pada bulan Maret. Sejak bulan Maret hingga Juli, akumulasi omset yang diterima Rina masih berada di bawah batas Rp 500.000.000.

Maret: Omset Rp 56.000.000 (Akumulasi: Rp 56.000.000)

April: Omset Rp 45.000.000 (Akumulasi: Rp 101.000.000)

Mei: Omset Rp 120.000.000 (Akumulasi: Rp 221.000.000)

Juni: Omset Rp 90.000.000 (Akumulasi: Rp 311.000.000)

Juli: Omset Rp 94.000.000 (Akumulasi: Rp 405.000.000)

Selama periode ini, karena total omset kumulatif belum melebihi Rp 500.000.000, Rina tidak diwajibkan untuk membayar PPh Final 0,5%. Oleh karena itu, kolom PPh Final pada bulan-bulan tersebut bernilai nol.

Tahap 2: Bulan Peralihan Saat Omset Melebihi Rp 500 Juta (Agustus)

Pada bulan Agustus, terjadi peralihan dimana omset kumulatif Rina melampaui batas Rp 500.000.000.

Akumulasi omset s/d Juli: Rp 405.000.000

Omset Agustus: Rp 115.000.000

Akumulasi Omset s/d Agustus: Rp 405.000.000 + Rp 115.000.000 = Rp 520.000.000

Pada bulan inilah kewajiban PPh Final mulai dihitung, namun hanya atas bagian omset yang telah melewati batas Rp 500.000.000.

Dasar Pengenaan Pajak (Agustus): Rp 520.000.000 – Rp 500.000.000 = Rp 20.000.000

Perhitungan PPh Final Agustus: 0,5% x Rp 20.000.000 = Rp 100.000

Tahap 3: Periode Setelah Melebihi Batas Rp 500 Juta (September – Desember)

Setelah fasilitas omset tidak kena pajak sebesar Rp 500.000.000 habis terpakai di bulan Agustus, maka untuk bulan-bulan berikutnya (September hingga Desember), seluruh omset bulanan Rina dikenakan tarif PPh Final 0,5%.

PPh Final: 0,5% x Rp 35.000.000 = Rp 175.000

September:

Omset: Rp 125.000.000

PPh Final: 0,5% x Rp 125.000.000 = Rp 625.000

Oktober:

Omset: Rp 145.000.000

PPh Final: 0,5% x Rp 145.000.000 = Rp 725.000

November:

Omset: Rp 135.000.000

PPh Final: 0,5% x Rp 135.000.000 = Rp 675.000

Desember:

Omset: Rp 35.000.000

PPh Final: 0,5% x Rp 35.000.000 = Rp 175.000

Ringkasan Total PPh Final Setahun

Untuk memverifikasi total PPh Final yang harus dibayar Rina dalam setahun, kita dapat menghitungnya sebagai berikut:

  • Total Omset Setahun: Rp 960.000.000
  • Batas Omset Tidak Kena Pajak: Rp 500.000.000
  • Total Omset Kena Pajak: Rp 960.000.000 – Rp 500.000.000 = Rp 460.000.000

Maka, total PPh Final yang harus dibayar adalah:

  • Total PPh Final Setahun: 0,5% x Rp 460.000.000 = Rp 2.300.000

Kesimpulan

Kasus Rina menunjukkan bahwa:

  • Penghasilan bruto hingga Rp 500 juta setahun bebas PPh Final bagi UMKM Orang Pribadi.
  • Sisa omzet di atas Rp 500 juta dikenai tarif 0,5%, menghasilkan pajak tahunan Rp 2,25 juta.
  • Pembayaran pajak mulai dilakukan setelah omzet kumulatif melewati batas bebas pajak.
  • Pencatatan omzet yang rapi penting untuk memanfaatkan fasilitas ini secara optimal dan terhindar dari kesalahan pajak.

Masa Berlaku Skema UMKM Bagi Orang Pribadi dan Badan Usaha

0
skema berlaku tarif UMKM
skema berlaku tarif UMKM

Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) merupakan tulang punggung perekonomian Indonesia, dengan kontribusi yang sangat besar terhadap PDB dan penyerapan tenaga kerja. Untuk mendukung pertumbuhan UMKM dan memudahkan kepatuhan pajak, pemerintah memberikan fasilitas Pajak Penghasilan (PPh) Final dengan tarif rendah yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2018 dan kemudian diperkuat dalam PP Nomor 55 Tahun 2022 jo PMK-164 Tahun 2023. Namun, fasilitas ini tidak berlaku selamanya. Ada masa berlaku tertentu yang diberikan, baik untuk Wajib Pajak Orang Pribadi maupun Wajib Pajak Badan Usaha.

Apa itu Skema UMKM?

Skema UMKM adalah mekanisme pembayaran pajak menggunakan tarif PPh Final sebesar 0,5% dari omzet bruto, yang dapat digunakan oleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto (omzet) tidak melebihi Rp4,8 miliar per tahun. Fasilitas ini dirancang untuk memberikan kemudahan administrasi pajak dan ringan secara beban, sehingga pelaku UMKM tidak terbebani kewajiban pajak yang kompleks di awal pertumbuhan usahanya.

Masa Berlaku Skema UMKM

Masa berlaku fasilitas tarif final 0,5% tidak sama untuk setiap kategori Wajib Pajak. Berikut rincian berdasarkan jenis wajib pajak:

  • Wajib Pajak Orang Pribadi (WP OP)
    • Masa berlaku: 7 tahun pajak berturut-turut sejak pertama kali menggunakan skema ini.
    • Contoh: Jika seorang pedagang terdaftar NPWP di tahun pajak 2024, maka ia dapat memanfaatkannya hingga akhir tahun pajak 2030.
    • Setelah 7 tahun berakhir, WP OP tidak lagi dapat menggunakan skema ini dan wajib beralih ke mekanisme penghitungan PPh umum, yaitu menggunakan tarif progresif berdasarkan penghasilan kena pajak setelah dikurangi biaya-biaya usaha (pembukuan lebih rinci).
  • Wajib Pajak Badan Usaha Berbentuk Koperasi, CV, atau Firma
    • Masa berlaku: 4 tahun pajak berturut-turut.
    • Fasilitas ini diberikan lebih singkat dibanding WP OP karena badan usaha umumnya memiliki sistem administrasi yang lebih baik dan diharapkan lebih cepat beralih ke pembukuan lengkap.
    • Setelah 4 tahun, badan usaha wajib menghitung pajak menggunakan tarif umum PPh Badan sebesar 22% (berdasarkan UU HPP) dari laba bersih usaha.
  • Wajib Pajak Badan Usaha Berbentuk Perseroan Terbatas (PT)
    • Masa berlaku: 3 tahun pajak berturut-turut.
    • Jangka waktu yang lebih singkat diberikan karena PT dianggap memiliki kapasitas manajerial dan sistem keuangan yang lebih tertata sejak awal berdiri, sehingga lebih siap melakukan pembukuan penuh.
    • Setelah 3 tahun, PT wajib beralih ke skema pajak normal dan tidak dapat lagi menggunakan tarif 0,5%.

Pentingnya Memperhatikan Masa Berlaku

Masa berlaku ini penting karena:

  • Menghindari kesalahan pembayaran pajak ketika fasilitas berakhir.
  • Memberi waktu bagi UMKM untuk belajar menyusun pembukuan dan laporan keuangan.
  • Mendorong transisi ke skema perpajakan normal yang lebih sesuai dengan pertumbuhan usaha.

Jika wajib pajak tetap menggunakan skema 0,5% setelah masa berlaku berakhir, maka akan ada sanksi pajak berupa kekurangan bayar beserta bunga dan denda.

Kesimpulan

Skema UMKM dengan tarif PPh Final 0,5% merupakan fasilitas sementara yang diberikan pemerintah untuk mendukung pelaku usaha di tahap awal. Dengan masa berlaku 7 tahun bagi orang pribadi, 4 tahun bagi koperasi/CV/firma, dan 3 tahun bagi PT, fasilitas ini diharapkan menjadi sarana belajar administrasi pajak sebelum beralih ke sistem perpajakan normal. Pelaku UMKM perlu memahami batas waktu ini agar terhindar dari kesalahan dan dapat mengelola kewajiban perpajakan dengan baik seiring berkembangnya usaha mereka.

Komparasi Pengaturan Wajib Pajak UMKM Berdasarkan PP 23 Tahun 2018 dan PP 55 Tahun 2022

0
pengusaha sembako umkm
pengusaha sembako umkm

Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) memiliki peran penting dalam perekonomian Indonesia, terutama dalam menciptakan lapangan kerja dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Pemerintah memberikan fasilitas perpajakan khusus bagi UMKM agar kewajiban pajak tidak memberatkan mereka, salah satunya melalui penerapan Pajak Penghasilan (PPh) Final dengan tarif yang lebih ringan. Dua regulasi yang menjadi dasar pengaturan perpajakan UMKM adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2018 dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2022. Meskipun sama-sama mengatur kemudahan bagi UMKM, terdapat sejumlah perubahan yang kami sajikan dalam komparasi berikut ini.

Dasar Pengenaan dan Subjek Pajak

PP 23 Tahun 2018 mengatur PPh Final sebesar 0,5% atas peredaran bruto (omzet) tertentu dengan batas omzet maksimal Rp4,8 miliar setahun. Ketentuan ini berlaku bagi Wajib Pajak Orang Pribadi dan Badan (kecuali Bentuk Usaha Tetap) yang memiliki usaha di luar kategori jasa profesi tertentu.

Sementara itu, PP 55 Tahun 2022 yang berlaku mulai 1 Januari 2023 menegaskan pengaturan PPh Final UMKM dalam kerangka pelaksanaan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Dalam PP ini, konsep PPh Final tetap ada, namun pengaturan lebih diarahkan pada transisi menuju mekanisme pembukuan penuh dan perhitungan pajak umum (tarif progresif atau tarif badan). PP 55 juga menguatkan kriteria wajib pajak yang dapat menggunakan fasilitas tersebut, termasuk ketaatan dalam menyampaikan SPT dan membayar pajak.

Tarif dan Batasan Waktu Penggunaan

Dalam PP 23 Tahun 2018, tarif PPh Final adalah 0,5% dari omzet dan dapat digunakan dalam jangka waktu tertentu:

  • Orang Pribadi: 7 tahun
  • Badan berbentuk CV/Firma: 4 tahun
  • Badan berbentuk PT: 3 tahun

Setelah jangka waktu berakhir, wajib pajak harus berpindah ke mekanisme penghitungan pajak normal.

PP 55 Tahun 2022 tidak mengubah tarif 0,5% secara langsung, namun mengatur lebih detail bahwa tarif ini hanya dapat digunakan bagi wajib pajak dengan omzet ≤ Rp4,8 miliar dan belum diwajibkan pembukuan lengkap. Selain itu, PP ini menekankan kewajiban transisi ke tarif umum setelah periode tertentu, serta mengatur pengawasan lebih ketat melalui integrasi data perpajakan.

Fokus Regulasi dan Penegasan Hak serta Kewajiban

PP 23/2018 berfokus pada pemberian insentif bagi UMKM dengan tarif ringan sebagai bentuk dukungan pemerintah. Peraturan ini lebih bersifat stimulus dan mendorong kepatuhan awal.

PP 55/2022 memiliki ruang lingkup lebih luas, tidak hanya memberikan insentif tetapi juga mengatur mekanisme pemungutan, pembayaran, dan pengawasan pajak secara menyeluruh. Regulasi ini menegaskan hak dan kewajiban wajib pajak, serta mendorong mereka melakukan pembukuan yang lebih tertib sebagai bagian dari reformasi pajak nasional.

Kesimpulan

Perbedaan utama antara PP 23 Tahun 2018 dan PP 55 Tahun 2022 terletak pada orientasi kebijakan. PP 23 lebih menekankan kemudahan dan insentif tarif final 0,5% bagi UMKM, sedangkan PP 55 membawa arah transisi menuju sistem perpajakan yang lebih komprehensif dengan penekanan pada pembukuan dan pengawasan kepatuhan. Dengan adanya PP 55, pelaku UMKM diharapkan tidak hanya menikmati tarif ringan, tetapi juga bersiap untuk menerapkan sistem perpajakan normal seiring perkembangan usaha mereka.

Surat Keterangan Domisili Bagi Subjek Pajak Dalam Negeri Indonesia Dalam Rangka P3B

0

Dalam era globalisasi dan keterbukaan ekonomi internasional, kegiatan lintas negara seperti investasi, perdagangan, dan penyediaan jasa antarnegara semakin meningkat. Hal ini tentu berdampak pada aspek perpajakan, di mana negara-negara berusaha memastikan hak pemajakannya atas penghasilan yang diperoleh di wilayahnya. Untuk menghindari pemajakan berganda atas penghasilan yang sama, Indonesia menjalin perjanjian dengan berbagai negara melalui skema Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B), atau dikenal juga dengan istilah tax treaty.

P3B adalah perjanjian bilateral antara dua negara yang bertujuan menghindari pemajakan berganda dan mencegah pengelakan pajak. Dalam praktiknya, untuk dapat menikmati manfaat pengurangan atau pembebasan pajak yang diatur dalam P3B, diperlukan suatu dokumen resmi dari negara domisili wajib pajak, yakni Surat Keterangan Domisili (SKD).

Apa Itu Surat Keterangan Domisili?

Surat Keterangan Domisili (SKD) adalah dokumen resmi yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) kepada Wajib Pajak Dalam Negeri (WPDN) Indonesia yang melakukan transaksi lintas negara, guna membuktikan bahwa WPDN tersebut benar-benar berdomisili di Indonesia untuk kepentingan perpajakan.

SKD berfungsi sebagai dasar pengakuan status domisili oleh negara mitra P3B. Dengan adanya SKD, WPDN dapat mengajukan permohonan pengurangan atau pembebasan pajak di negara mitra sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam perjanjian P3B.

Manfaat SKD dalam Rangka P3B

SKD memberikan banyak manfaat bagi WPDN Indonesia yang memiliki transaksi lintas negara, di antaranya :

  • Penghindaran Pemajakan Berganda
    SKD menjadi bukti bahwa wajib pajak berdomisili di Indonesia, sehingga penghasilan yang diperoleh di luar negeri tidak dikenakan pajak berganda di dua yurisdiksi secara bersamaan.
  • Efisiensi Pajak
    Melalui SKD, WPDN dapat memperoleh tarif pemotongan pajak yang lebih rendah, atau bahkan pembebasan pajak sesuai ketentuan P3B. Hal ini tentunya mengurangi beban pajak secara keseluruhan.
  • Kepastian Hukum
    SKD memberikan kejelasan status domisili pajak yang diakui secara internasional, sehingga mencegah perselisihan dengan otoritas pajak negara mitra.

Dasar Hukum

  • PER-28/PJ/2018 (berlaku sejak 1 Februari 2019) tentang Surat Keterangan Domisili Bagi Subjek Pajak Dalam Negeri Indonesia Dalam Rangka Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda. PER ini mencabut:
  • PER-08/PJ/2017 (berlaku sejak 12 Mei 2017) tentang Surat Keterangan Domisili Bagi Subjek Pajak Dalam Negeri Indonesia Dalam Rangka Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda
  • SE-89/PJ/2010 (tanggal 16 Agustus 2010) tentang Tata Cara Penerbitan/ Pengesahan dan Pemanfaatan SKD bagi SPDN Indonesia dalam rangka Penerapan P3B
  • SE-31/PJ/2019 (tanggal 29 Oktober 2019) tentang Petunjuk Pelaksanaan Penerbitan Surat Keterangan Domisili Bagi Subjek Pajak Dalam Negeri Indonesia dan Pengesahan Formulir Khusus

Persyaratan Pengajuan SKD

  • Wajib Pajak berstatus subjek pajak dalam negeri Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang PPh;
  • Wajib Pajak telah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak;
  • Wajib Pajak telah menyampaikan:
    • SPT Tahunan PPh Tahun Pajak terakhir yang sudah menjadi kewajiban Wajib Pajak berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan penerbitan SKD SPDN untuk Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak saat permohonan penerbitan SKD SPDN diajukan; atau
    • SPT Tahunan PPh untuk Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak yang diajukan permohonan penerbitan SKD SPDN yang menjadi kewajiban Wajib Pajak berdasarkan ketentuan peraturan perundang­undangan di bidang perpajakan, dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan penerbitan SKD SPDN untuk Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak sebelum tahun saat permohonan penerbitan SKD SPDN diajukan; dan
  • permohonan yang diajukan memenuhi persyaratan administratif permohonan penerbitan SKD SPDN, yaitu:
    • ​diajukan untuk:
      • satu Negara Mitra yang menjadi tempat penghasilan bersumber;
      • satu Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak; dan
      • satu lawan transaksi; dan
    • ​memuat informasi mengenai lawan transaksi di Negara Mitra paling sedikit berupa:
      • nama lawan transaksi;
      • taxpayer identification number dan/ atau alamat dari lawan transaksi; dan
      • penjelasan mengenai penghasilan yang berasal dari lawan transaksi.

Catatan: Dalam hal Wajib Pajak yang mengajukan permohonan penerbitan SKD SPDN merupakan Wajib Pajak yang berdasarkan ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan dikecualikan dari kewajiban penyampaian SPT Tahunan PPh, Wajib Pajak tersebut harus mengisi pernyataan bahwa Wajib Pajak tersebut tidak memiliki kewajiban penyampaian SPT Tahunan PPh dalam laman milik Direktorat Jenderal Pajak atau saluran tertentu yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak sebagai pengganti persyaratan penyampaian SPT Tahunan PPh. (Pasal 2 ayat (4) PER-28/PJ/2018)