Kamis, Oktober 23, 2025
19.5 C
Indonesia
Beranda blog Halaman 3

Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2): Panduan Lengkap untuk Wajib Pajak

0
pbb sektor pedesaan dan perkotaan
pbb sektor pedesaan dan perkotaan

Kalau Anda memiliki rumah, tanah kosong, atau ruko di kota maupun desa, pasti tidak asing lagi dengan istilah PBB (Pajak Bumi dan Bangunan). Salah satu jenis PBB yang paling dekat dengan masyarakat adalah PBB sektor Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2).

PBB-P2 merupakan pajak daerah yang setiap tahunnya harus dibayar oleh pemilik atau pihak yang memanfaatkan tanah dan bangunan. Pajak ini hasilnya masuk ke kas daerah dan digunakan untuk membiayai pembangunan lokal, seperti perbaikan jalan, penerangan jalan, hingga fasilitas umum di sekitar kita.

Apa Itu PBB-P2?

Menurut UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, PBB-P2 adalah pajak yang dikenakan atas kepemilikan atau pemanfaatan bumi dan bangunan yang berada di wilayah perdesaan dan perkotaan.

👉 Sederhananya, kalau Anda punya tanah atau bangunan di kota maupun desa, Anda wajib bayar PBB-P2 setiap tahun.

Dasar Hukum PBB-P2

  • UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
  • Peraturan daerah (Perda) di masing-masing kabupaten/kota yang mengatur tarif, NPOPTKP (Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak), dan tata cara pembayaran.

Siapa yang Wajib Bayar PBB-P2?

Subjek pajaknya adalah orang pribadi atau badan yang memiliki atau memanfaatkan:

  1. Bumi → tanah, sawah, kebun, tanah kosong.
  2. Bangunan → rumah tinggal, apartemen, ruko, gedung perkantoran, gudang, pusat perbelanjaan, dll.

👉 Contoh:

  • Pak Budi punya rumah di Jakarta → wajib bayar PBB-P2.
  • Bu Sari punya tanah kosong di desa → wajib bayar PBB-P2.

Objek Pajak PBB-P2

Objek yang dikenakan PBB-P2 adalah bumi dan bangunan dengan kriteria:

  • Bumi → permukaan tanah dan perairan pedalaman serta laut wilayah kabupaten/kota.
  • Bangunan → konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah/perairan.

Termasuk bangunan: rumah, gedung, jalan tol, kolam renang, pagar mewah, lapangan tenis, dermaga, taman mewah, dan lain-lain.

Cara Menghitung PBB-P2

Penghitungan PBB-P2 menggunakan formula berikut:

PBB Terutang = Tarif × (NJOP – NJOPTKP)

Keterangan:

  • NJOP (Nilai Jual Objek Pajak) → nilai jual tanah/bangunan ditetapkan pemerintah daerah.
  • NJOPTKP (Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak) → jumlah tertentu yang dibebaskan dari pengenaan pajak (minimal Rp10 juta, tergantung daerah).
  • Tarif PBB-P2 → maksimal 0,3% dari NJKP (Nilai Jual Kena Pajak).

Contoh Perhitungan

Misalnya, sebuah rumah di kota A punya NJOP Rp500.000.000, dan NJOPTKP daerah tersebut Rp15.000.000. Tarif PBB ditetapkan 0,1%.

PBB terutang:
= 0,1% × (Rp500.000.000 – Rp15.000.000)
= 0,1% × Rp485.000.000
= Rp485.000

👉 Jadi, pemilik rumah wajib membayar PBB sebesar Rp485 ribu per tahun.

Cara Membayar PBB-P2

  1. Terima SPPT (Surat Pemberitahuan Pajak Terutang) dari Pemda.
  2. Bayar di tempat yang ditunjuk, misalnya:
    • Bank daerah, kantor pos, atau loket pembayaran.
    • Aplikasi online/sistem e-BPHTB atau e-PBB (di beberapa daerah sudah tersedia).
  3. Simpan bukti pembayaran untuk arsip.

Manfaat Membayar PBB-P2

Banyak orang menganggap PBB hanya beban tambahan, padahal manfaatnya kembali ke masyarakat:

  • Untuk pembangunan infrastruktur daerah seperti jalan, jembatan, dan drainase.
  • Untuk pelayanan publik seperti sekolah, puskesmas, dan penerangan jalan.
  • Sebagai bukti kepatuhan, karena bukti pembayaran PBB sering diminta saat mengurus jual beli tanah atau bangunan.

Risiko Jika Tidak Bayar PBB-P2

  1. Denda keterlambatan sebesar 2% per bulan dari nilai PBB terutang.
  2. Penagihan aktif oleh Pemda jika menunggak lebih dari 1 tahun.
  3. Penyitaan atau lelang aset dalam kasus tertentu jika tidak ada penyelesaian.
  4. Kesulitan administrasi saat jual beli tanah/bangunan, karena bukti pembayaran PBB adalah salah satu syarat balik nama.

Perbedaan PBB-P2 dengan PBB Sektor Lain

  • PBB-P2 → untuk tanah/bangunan di desa/kota, dikelola oleh pemerintah kabupaten/kota.
  • PBB-P3 (Perkebunan, Perhutanan, Pertambangan) → untuk sektor khusus, masih dikelola pemerintah pusat.

👉 Jadi, rumah pribadi, ruko, tanah kosong → masuk PBB-P2. Tapi perkebunan sawit besar atau tambang batu bara → masuk PBB-P3.

Tips Membayar PBB-P2 Tepat Waktu

  • Tandai jatuh tempo di kalender Anda.
  • Manfaatkan layanan pembayaran online jika daerah sudah mendukung.
  • Bayar lebih awal untuk menghindari antrean panjang menjelang jatuh tempo.

Kesimpulan

PBB Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) adalah pajak daerah yang dikenakan kepada orang pribadi atau badan atas kepemilikan maupun pemanfaatan bumi dan bangunan di wilayah desa maupun kota.

  • Pemungut: Pemerintah kabupaten/kota.
  • Tarif: maksimal 0,3% dari NJKP.
  • Manfaat: hasilnya digunakan untuk pembangunan daerah dan pelayanan publik.
  • Risiko: jika tidak dibayar, terkena denda 2% per bulan hingga penagihan aktif.

👉 Jadi, jangan anggap remeh PBB-P2. Mungkin jumlahnya terlihat kecil, tapi manfaatnya besar untuk membangun daerah kita sendiri. Dengan membayar PBB tepat waktu, kita ikut berkontribusi langsung dalam pembangunan lingkungan sekitar.

Mengapa Coretax Menggunakan Format XML?

0
template xml coretax
template xml coretax

Sistem perpajakan baru yang dinamakan Coretax mengubah cara kita mengunggah dokumen perpajakan. Tidak lagi menggunakan CSV atau PDF seperti sistem lama, melainkan menggunakan XML (Extensible Markup Language) sebagai format baku impor data ke dalam sistem DJP.

Mengapa XML? Karena format ini lebih fleksibel, terstruktur, dan bisa menangkap data banyak sekaligus dalam satu file. XML memungkinkan penyisipan tag yang menjelaskan makna tiap elemen data, sehingga validasi sistem bisa jauh lebih kuat.

Misalnya, dokumen bukti potong, faktur pajak, lampiran SPT, daftar penyusutan — semuanya kini diwajibkan dalam format XML agar bisa diimpor ke Coretax.

Template XML & Converter Resmi yang Disediakan DJP

Untuk memudahkan wajib pajak beradaptasi, DJP telah menyediakan template XML dan converter dari Excel ke XML yang bisa diunduh melalui situs resmi DJP melalui tautan https://www.pajak.go.id/reformdjp/coretax/template-xml-dan-converter-excel-ke-xml

Beberapa dokumen yang sudah disediakan template dan converter-nya antara lain:

  • Bukti potong PPh Pasal 21/26 (BPMP)
  • Bukti potong final dan tidak final (BP21)
  • Bukti potong PPh Pasal 26 luar negeri (BP26)
  • Bukti potong Unifikasi, penyetoran sendiri, faktur keluaran, dokumen lain masukan, retur, lampiran SPT tahunan badan, dan lainnya

Converter ini memungkinkan Anda mengisi data lewat file Excel (sheet “DATA”) dan kemudian mengekspornya ke XML sesuai template.

Perubahan Struktur & Validasi Data XML

Saat menggunakan format XML di Coretax, ada beberapa perubahan dan penambahan elemen yang wajib diperhatikan agar file XML diterima oleh sistem:

  1. Kode NITKU
    Format XML terbaru mengharuskan adanya kode NITKU (Nomor Identitas Tempat Kegiatan Usaha) pada pemotong maupun lawan transaksi.
  2. Penambahan elemen baru sesuai jenis dokumen
    Misalnya, pada lampiran daftar penyusutan/amortisasi fiskal, ada penambahan elemen metode penyusutan/amortisasi.
  3. Validasi data ketat
    Sebelum sistem menerima file XML, DJP melakukan validasi terhadap:
    • NPWP pemotong & lawan transaksi
    • Kode Objek Pajak (sesuai referensi)
    • Tarif pajak yang sesuai kode objek
    • NITKU yang valid

Jika data tidak sesuai format atau elemen wajib kosong atau salah, sistem akan menolak impor dan hasil muncul error. Itu sebabnya penting memastikan data dalam Excel mengikuti template dengan tepat.

Cara Membuat File XML & Impor ke Coretax

Berikut langkah praktis untuk membuat file XML dari Excel dan mengimpornya ke sistem Coretax:

A. Melalui Excel + Konverter Resmi

  1. Unduh template Excel dan converter XML dari situs DJP.
  2. Buka file Excel pada sheet DATA, isi kolom-kolom sesuai petunjuk (NPWP, masa pajak, tarif, kode objek, NITKU, lawan transaksi, dsb.). Bagian “REF” atau “REFERENSI” di template bisa Anda gunakan sebagai petunjuk isi kolom.
  3. Pastikan menu Developer aktif di Excel (Customize Ribbon → centang Developer).
  4. Klik tombol Export di menu Developer untuk menghasilkan file XML.
  5. Simpan file XML di lokasi yang mudah diakses.

B. Dengan Aplikasi Converter

Beberapa template Excel sudah disesuaikan agar dapat dikonversi ke XML melalui aplikasi converter yang disediakan. Anda tinggal memilih file Excel, memilih jenis dokumen (misalnya faktur keluaran, dokumen lainnya), lalu klik konversi.

C. Unggah XML ke Coretax

  1. Masuk ke sistem Coretax DJP
  2. Pilih menu impor data (modul e-Faktur, e-Bupot, SPT, lampiran, dsb.)
  3. Klik tombol Browse dan pilih file XML yang telah dibuat
  4. Sistem akan memeriksa validitas (cek elemen data)
  5. Jika valid, data berhasil diimpor ke sistem. Jika gagal, Anda akan mendapatkan notifikasi error dan data kolom mana yang perlu diperbaiki.

Sebagai contoh nyata, dalam kasus upload Bukti Potong PPh 21 (BP21), sering terjadi kegagalan impor karena file XML tidak cocok format, sehingga perlu diperiksa elemen seperti NITKU dan tarif.

Kesimpulan & Catatan Akhir

Format impor XML di Coretax adalah bagian penting dari transformasi sistem perpajakan Indonesia. Beralih ke XML membawa fitur validasi yang lebih ketat dan efisiensi pengolahan data. Namun, agar tidak salah langkah:

  • Pastikan template XML yang Anda gunakan resmi dari DJP
  • Perhatikan struktur data: NPWP, NITKU, kode objek, tarif, dsb.
  • Gunakan converter yang kompatibel agar file Excel bisa dikonversi ke XML sesuai standar
  • Cek error jika impor gagal dan perbaiki data sesuai notifikasi
  • Unduh template sesegera mungkin agar punya margin koreksi sebelum batas waktu

Jangan Asal Trading! Ini Cara Hitung PPh Pasal 22 atas Penjualan Aset Kripto

0
pajak atas trading crypto
pajak atas trading crypto

Beberapa tahun terakhir, dunia investasi di Indonesia semakin ramai dengan hadirnya aset kripto seperti Bitcoin, Ethereum, hingga berbagai altcoin. Banyak orang mencoba peruntungan dalam trading kripto karena peluang cuan yang besar. Namun, jangan sampai lupa: profit dari kripto bukan hanya soal investasi, tapi juga ada pajak yang menyertainya.

Sejak terbitnya PMK-68/PMK.03/2022, setiap transaksi penjualan aset kripto dikenakan PPh Pasal 22. Aturan ini penting dipahami agar Anda sebagai trader atau investor tidak kaget ketika mendapati hasil trading dipotong pajak.

Artikel ini akan membahas dengan detail: apa itu PPh Pasal 22 untuk aset kripto, siapa yang wajib memungut, berapa tarifnya, cara hitung, hingga manfaat patuh pajak.

Apa Itu PPh Pasal 22 Aset Kripto?

PPh Pasal 22 adalah pajak yang dipungut oleh pihak tertentu, baik badan usaha maupun institusi, atas kegiatan tertentu, salah satunya perdagangan aset kripto. Untuk kripto, pungutan dilakukan pada saat penjualan atau transaksi.

👉 Jadi, setiap kali Anda menjual Bitcoin, Ethereum, Dogecoin, atau aset kripto lainnya, ada pajak final yang langsung dipotong dari nilai transaksi.

Dasar Hukum Pajak Kripto

  1. UU No. 36 Tahun 2008 Pasal 22 tentang Pajak Penghasilan.
  2. PMK-68/PMK.03/2022 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penghasilan atas transaksi perdagangan aset kripto.

Aturan ini menegaskan bahwa pemerintah mengakui aset kripto sebagai komoditas yang sah diperdagangkan, dan setiap peredaran ekonominya harus memberikan kontribusi pajak bagi negara.

Siapa yang Memungut Pajak?

Pajak kripto tidak serta-merta disetor sendiri oleh trader, karena mekanisme pemungutan sudah diatur:

  • Bursa resmi (PPMSE) berizin Bappebti → otomatis memotong PPh Pasal 22 saat transaksi berlangsung. Anda hanya akan menerima nilai bersih setelah pajak.
  • Trader sendiri → jika transaksi dilakukan di luar bursa resmi, misalnya melalui decentralized exchange (DEX), maka Anda wajib setor sendiri ke kas negara.

Perbedaan mekanisme ini membuat lebih praktis jika menggunakan bursa resmi, karena kewajiban pajak langsung beres.

Tarif PPh Pasal 22 Aset Kripto

Tarif pajak untuk aset kripto ditentukan berdasarkan izin bursa:

  • 0,1% dari nilai transaksi → jika bursa memiliki izin resmi dari Bappebti.
  • 0,2% dari nilai transaksi → jika bursa tidak memiliki izin.

📌 Penting untuk diingat bahwa pajak ini bersifat final, artinya tidak perlu digabungkan lagi dengan penghasilan lain di SPT Tahunan. Jadi, sekali dipotong, urusan pajaknya selesai untuk transaksi tersebut.

Dasar Pengenaan Pajak (DPP)

Dasar pengenaan pajak dalam transaksi kripto meliputi:

  • Nilai uang rupiah yang dibayarkan,
  • Nilai tukar kripto jika transaksi barter antar aset kripto, atau
  • Nilai ekuivalen metode pembayaran lain yang digunakan.

Jika transaksi dilakukan menggunakan mata uang asing, maka nilainya harus dikonversi terlebih dahulu ke rupiah menggunakan kurs Menteri Keuangan.

Contoh Perhitungan

Contoh 1: Jual Bitcoin di Bursa Resmi

Andi menjual Bitcoin senilai Rp50.000.000 di bursa resmi.

  • Tarif = 0,1%.
  • PPh Pasal 22 = 0,1% × Rp50.000.000 = Rp50.000.
    👉 Hasil bersih yang masuk ke Andi setelah dipotong pajak = Rp49.950.000.

Contoh 2: Jual Altcoin di Bursa Non-Izin

Sari menjual altcoin dengan nilai Rp100.000.000 di bursa non-izin.

  • Tarif = 0,2%.
  • PPh Pasal 22 = 0,2% × Rp100.000.000 = Rp200.000.
    👉 Lebih mahal, karena bursa tidak punya izin resmi.

Contoh 3: Transaksi Barter Kripto

Budi menukar Ethereum senilai Rp20.000.000 dengan Bitcoin di bursa resmi.

  • Tarif = 0,1%.
  • PPh Pasal 22 = 0,1% × Rp20.000.000 = Rp20.000.

Kapan Pajak Dipotong?

Pajak dipotong langsung saat transaksi terjadi.

  • Jika melalui bursa resmi → dipotong otomatis.
  • Jika melalui DEX → Anda harus hitung dan setor sendiri.

Dengan mekanisme ini, pemerintah memastikan setiap peredaran kripto ikut menyumbang pajak ke negara.

Cara Setor Pajak Kripto

Bagi Anda yang harus setor sendiri (misalnya transaksi di DEX), langkahnya sederhana:

  1. Cek transaksi dan catat nilai rupiahnya.
  2. Hitung pajak sesuai tarif 0,1% atau 0,2%.
  3. Buat kode billing di sistem DJP Online/Coretax
  4. Lakukan pembayaran via bank, ATM, atau e-channel.
  5. Simpan bukti setor untuk dilaporkan di SPT Tahunan.

Risiko Jika Mengabaikan Pajak Kripto

  • Sanksi administrasi berupa bunga dan denda atas keterlambatan setor.
  • SP2DK atau pemeriksaan pajak jika DJP menemukan transaksi kripto yang tidak dilaporkan.
  • Reputasi buruk di mata otoritas keuangan jika tidak patuh.

👉 Dengan kata lain, lebih baik taat sejak awal daripada repot di kemudian hari.

Manfaat Patuh Pajak Kripto

  1. Trading lebih tenang karena sah secara hukum.
  2. Tidak perlu khawatir dikejar pemeriksaan pajak.
  3. Bukti setor pajak bisa jadi dokumen pendukung legalitas transaksi.
  4. Membantu meningkatkan penerimaan negara yang akhirnya kembali ke masyarakat dalam bentuk pembangunan.

Kesimpulan

Trading kripto memang seru, tapi jangan sampai lupa bahwa ada kewajiban pajak yang menyertainya. Sesuai PMK-68/PMK.03/2022, setiap transaksi penjualan aset kripto dikenakan PPh Pasal 22 final dengan tarif 0,1%–0,2% dari nilai transaksi.

  • Jika melalui bursa resmi, pajak langsung dipotong otomatis.
  • Jika melalui DEX, Anda harus setor sendiri.

Dengan patuh membayar pajak kripto, Anda bisa trading dengan lebih aman, legal, dan terhindar dari masalah hukum. Jadi, jangan hanya fokus pada grafik harga, tapi pastikan juga pajak Anda beres!

Perbedaan Pajak Pusat dan Pajak Daerah: Jenis, Contoh, dan Siapa yang Memungut

0
jenis pajak daerah
jenis pajak daerah

Kita semua tahu bahwa pajak adalah salah satu sumber utama pendapatan negara. Dari pajaklah pemerintah bisa membiayai pembangunan jalan, sekolah, rumah sakit, hingga subsidi. Tapi, apakah Anda tahu bahwa pajak di Indonesia terbagi menjadi dua kelompok besar? Yakni pajak pusat dan pajak daerah.

Meski sama-sama disebut “pajak”, keduanya memiliki perbedaan mendasar: siapa yang memungut, untuk apa digunakan, dan jenis-jenis apa saja yang termasuk di dalamnya. Artikel ini akan membahas secara detail perbedaan pajak pusat dan pajak daerah, beserta contoh-contohnya agar lebih mudah dipahami.

Apa Itu Pajak Pusat?

Pajak pusat adalah pajak yang ditetapkan dan dipungut oleh pemerintah pusat melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan instansi terkait. Hasil pemungutan pajak pusat digunakan untuk membiayai belanja negara secara nasional, termasuk pembangunan infrastruktur, pertahanan, pendidikan, dan kesehatan.

👉 Sederhananya, pajak pusat dikelola langsung oleh pemerintah pusat dan hasilnya masuk ke kas negara (APBN).

Jenis-Jenis Pajak Pusat

  1. Pajak Penghasilan (PPh)
    • Dipungut atas penghasilan orang pribadi maupun badan.
    • Contoh: PPh Pasal 21 (gaji karyawan), PPh Pasal 22 (impor barang), PPh Pasal 23 (jasa tertentu), dan PPh Badan.
  2. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
    • Dipungut atas konsumsi barang/jasa di dalam negeri.
    • Contoh: saat Anda belanja di supermarket, ada PPN yang sudah termasuk dalam harga.
  3. Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM)
    • Dikenakan atas penjualan barang-barang mewah.
    • Contoh: mobil sport, perhiasan mewah, atau kapal pesiar.
  4. Bea Materai
    • Dikenakan pada dokumen tertentu, misalnya perjanjian, akta notaris, atau transaksi di atas Rp5 juta.
  5. Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Perkebunan, Perhutanan, dan Pertambangan (PBB-P3)
    • Berbeda dengan PBB perumahan, PBB untuk sektor ini dipungut oleh pemerintah pusat.

Apa Itu Pajak Daerah?

Pajak daerah adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah (provinsi maupun kabupaten/kota) untuk membiayai kebutuhan daerah masing-masing. Hasil pemungutan pajak daerah masuk ke kas daerah (APBD) dan digunakan untuk pembangunan lokal, seperti perbaikan jalan desa, lampu jalan, pasar, atau pelayanan publik lainnya.

👉 Pajak daerah memberi kewenangan lebih besar kepada pemerintah daerah untuk mengelola sumber pendapatannya sendiri.

Jenis-Jenis Pajak Daerah

Berdasarkan UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, pajak daerah dibagi dua: pajak provinsi dan pajak kabupaten/kota.

1. Pajak Provinsi

  • Pajak Kendaraan Bermotor (PKB)
  • Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB)
  • Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB)
  • Pajak Air Permukaan
  • Pajak Rokok

2. Pajak Kabupaten/Kota

  • Pajak Hotel
  • Pajak Restoran
  • Pajak Hiburan
  • Pajak Reklame
  • Pajak Penerangan Jalan (PPJ)
  • Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan
  • Pajak Parkir
  • Pajak Air Tanah
  • Pajak Sarang Burung Walet
  • PBB Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2)
  • Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)

Perbedaan Pajak Pusat dan Pajak Daerah

AspekPajak PusatPajak Daerah
Dasar hukumUU PPh, UU PPN, UU Bea Materai, PP terkaitUU No. 28 Tahun 2009
PemungutPemerintah pusat melalui DJP/KemenkeuPemerintah daerah (provinsi/kabupaten/kota)
Pengelolaan hasilMasuk ke APBN (anggaran negara)Masuk ke APBD (anggaran daerah)
CakupanNasionalLokal/daerah
Jenis pajakPPh, PPN, PPnBM, Bea Materai, PBB-P3Pajak kendaraan, pajak hotel, restoran, reklame, PPJ, BPHTB, dll.
Tujuan utamaMembiayai pembangunan nasionalMembiayai pembangunan dan pelayanan daerah

Contoh Praktis dalam Kehidupan Sehari-hari

Kasus 1: Karyawan di Jakarta

  • Gaji bulanan Anda dipotong PPh 21 oleh perusahaan (pajak pusat).
  • Saat makan siang di restoran, Anda membayar tambahan 10% pajak restoran (pajak daerah).

Kasus 2: Beli Mobil Baru

  • Penjual mobil wajib setor PPh dan memungut PPN (pajak pusat).
  • Pembeli harus bayar BBNKB (pajak daerah) agar mobil bisa balik nama.

Kasus 3: Jual Beli Tanah / Bangunan

  • Pemilik rumah menjual rumah dan kena PPh Final 2,5% (pajak pusat).
  • Pembeli rumah wajib bayar BPHTB 5% setelah dikurangi NPOPTKP (pajak daerah).

Kenapa Harus Ada Pajak Pusat dan Pajak Daerah?

Ada dua alasan besar:

  1. Keadilan distribusi pendapatan
    • Pajak pusat untuk pembangunan skala nasional seperti jalan tol antar provinsi, pertahanan, subsidi energi.
    • Pajak daerah untuk kebutuhan lokal, misalnya perbaikan jalan kota, penerangan jalan umum, hingga pasar tradisional.
  2. Desentralisasi fiskal
    • Dengan adanya pajak daerah, pemerintah daerah tidak hanya bergantung pada transfer dari pusat. Mereka bisa mengatur anggarannya sendiri sesuai kebutuhan warganya.

Risiko Jika Tidak Bayar Pajak Pusat atau Daerah

  • Sanksi administrasi berupa bunga/denda.
  • Sanksi pidana pajak jika menghindari kewajiban secara sengaja.
  • Kesulitan layanan publik seperti pengurusan sertifikat tanah, balik nama kendaraan, atau perizinan usaha.

Kesimpulan

Perbedaan mendasar antara pajak pusat dan pajak daerah terletak pada siapa yang memungut dan untuk apa hasilnya digunakan.

  • Pajak pusat → dipungut pemerintah pusat, masuk ke APBN, untuk kebutuhan nasional.
  • Pajak daerah → dipungut pemerintah daerah, masuk ke APBD, untuk kebutuhan lokal.

👉 Jadi, kalau Anda membayar PPh atau PPN, itu masuk ke kas negara. Sementara ketika Anda bayar pajak kendaraan atau pajak restoran, itu masuk ke kas daerah.

Dengan memahami perbedaan ini, kita jadi lebih sadar bahwa pajak yang kita bayar, baik pusat maupun daerah, pada akhirnya kembali ke kita juga dalam bentuk layanan publik dan pembangunan.

Medical Check Up Kena PPN atau Tidak? Ini Jawaban Resminya Berdasarkan PP 49/2022!

0
apakah medical checkup kena ppn
apakah medical checkup kena ppn

Banyak orang yang pernah ikut medical check up (MCU), entah untuk keperluan kerja, syarat sekolah, atau sekadar cek kesehatan rutin. Nah, yang sering bikin bingung adalah:

👉 “Apakah biaya medical check up kena PPN?”

Pertanyaan ini wajar banget, apalagi sejak tarif PPN naik jadi 11% (dan rencananya 12% di 2025). Jangan sampai kita kaget lihat tagihan rumah sakit yang tiba-tiba ada tambahan pajak. Yuk, kita bahas dengan bahasa sederhana berdasarkan aturan terbaru PP 49 Tahun 2022.

Sekilas Tentang PPN

PPN alias Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak yang dikenakan hampir pada semua barang dan jasa di Indonesia. Tapi, ada pengecualian khusus. Tidak semua jasa dikenakan PPN, karena pemerintah sadar ada sektor yang sifatnya vital untuk masyarakat, misalnya kesehatan.

Dasar Hukum: PP 49/2022

Nah, inilah kabar baiknya. Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 49 Tahun 2022, pemerintah menegaskan bahwa jasa kesehatan medis dibebaskan dari PPN.

Artinya, layanan kesehatan seperti:

  • rumah sakit,
  • klinik,
  • laboratorium kesehatan,
  • jasa dokter, perawat, bidan, hingga tenaga medis lainnya,

👉 semuanya masuk kategori tidak kena PPN.

Jadi, Medical Check Up Kena PPN Nggak?

Jawabannya : tidak.
Medical check up masuk ke dalam jasa kesehatan medis yang memang dibebaskan dari PPN. Jadi, ketika Anda ikut MCU di rumah sakit atau klinik, biayanya tidak ditambah 11% PPN.

Contoh Sehari-Hari

1. MCU Karyawan

Perusahaan mengadakan MCU untuk 100 karyawan dengan biaya Rp500 ribu per orang. Total Rp50 juta.
👉 Karena masuk kategori jasa kesehatan medis, biaya itu tidak ditambah PPN.

2. MCU Mandiri

Anda melakukan tes darah, rontgen, dan EKG di klinik dengan biaya Rp1 juta.
👉 Biaya tersebut bebas PPN karena semua termasuk jasa medis.

3. MCU dengan Paket Tambahan

Ada juga rumah sakit yang menawarkan paket MCU plus suplemen atau vitamin.
👉 Biaya pemeriksaan kesehatannya tetap bebas PPN, tapi suplemen atau barang tambahan bisa saja kena PPN karena dianggap barang dagangan.

Kenapa Pemerintah Bebaskan Jasa Kesehatan dari PPN?

Ada beberapa alasan logis:

  1. Akses kesehatan untuk semua orang → kalau dikenakan PPN, biaya kesehatan jadi makin mahal.
  2. MCU penting untuk pencegahan penyakit → pemerintah ingin mendorong masyarakat lebih peduli kesehatan tanpa terbebani pajak.
  3. Keadilan sosial → kesehatan dianggap kebutuhan dasar, jadi wajar kalau diberi perlakuan khusus.

Risiko Kalau Tidak Paham Aturan

Banyak orang sering salah kaprah. Ada yang bilang, “MCU kena PPN tuh, buktinya ada tambahan biaya di tagihan.” Padahal:

  • Bisa jadi yang kena PPN adalah obat atau suplemen tambahan, bukan jasanya.
  • Atau ada biaya lain yang bukan murni jasa kesehatan.

👉 Jadi, jangan buru-buru panik. Kalau ragu, tanyakan ke rumah sakit atau klinik, “Bagian mana yang kena PPN, dan mana yang bebas PPN?”

Manfaat Tahu Aturan Ini

  • Lebih tenang saat ikut MCU, karena tahu biayanya tidak ditambah PPN.
  • Bisa menghemat anggaran perusahaan, terutama bagi perusahaan yang rutin mengadakan MCU karyawan.
  • Tidak salah paham dengan rumah sakit atau klinik.
  • Lebih peduli kesehatan, karena tahu biaya yang dikeluarkan memang murni untuk layanan medis, bukan pajak tambahan.

Kesimpulan

Balik lagi ke pertanyaan awal: apakah jasa medical check up dikenakan PPN?
👉 Jawabannya: tidak, karena MCU termasuk jasa kesehatan medis yang dibebaskan dari PPN berdasarkan PP 49 Tahun 2022.

Namun, ingat ya, kalau ada paket tambahan berupa produk atau layanan non-medis, bagian itu bisa kena PPN.

Dengan tahu aturan ini, kita jadi tidak lagi bingung atau salah kaprah. MCU tetap penting untuk menjaga kesehatan, dan kabar baiknya: biayanya tidak terbebani PPN.

Pajak Daerah: Pengertian, Jenis, dan Contoh Lengkap

0
jenis pajak daerah
jenis pajak daerah

Kalau kita berbicara soal pajak, biasanya orang langsung teringat pada PPh (Pajak Penghasilan) atau PPN (Pajak Pertambahan Nilai). Padahal, ada satu jenis pajak yang dekat dengan kehidupan sehari-hari namun sering dilupakan: pajak daerah.

Pajak daerah adalah kontribusi wajib masyarakat yang dipungut oleh pemerintah daerah untuk membiayai kebutuhan pembangunan lokal. Pajak ini berbeda dari pajak pusat yang masuk ke APBN, karena pajak daerah hasilnya langsung masuk ke APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah).

Dengan pajak daerah, pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota bisa membangun jalan, memperbaiki pasar, menyediakan penerangan jalan, hingga pelayanan publik lain yang manfaatnya bisa langsung dirasakan masyarakat.

Dasar Hukum Pajak Daerah

Pajak daerah diatur dalam:

  • UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
  • Peraturan daerah (Perda) di masing-masing provinsi/kabupaten/kota yang mengatur tarif dan tata cara pemungutan.

👉 Jadi, meskipun jenis pajaknya sama, tarif antar daerah bisa berbeda sesuai kebijakan pemda masing-masing.

Pengertian Pajak Daerah

Menurut UU No. 28/2009:

Pajak daerah adalah kontribusi wajib kepada daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan, yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, tanpa imbalan langsung, dan digunakan untuk keperluan daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Sederhananya: kalau Anda bayar pajak restoran di kota Anda, uangnya akan masuk ke kas pemerintah kota untuk membiayai pembangunan di kota tersebut.

Jenis Pajak Daerah

Pajak daerah terbagi menjadi dua kategori: pajak provinsi dan pajak kabupaten/kota.

1. Pajak Provinsi

Dipungut oleh pemerintah provinsi, biasanya berkaitan dengan kendaraan bermotor, bahan bakar, atau pemanfaatan sumber daya alam.

a. Pajak Kendaraan Bermotor (PKB)

  • Dikenakan atas kepemilikan atau penguasaan kendaraan bermotor.
  • Contoh: Anda punya mobil atau motor, wajib bayar PKB setiap tahun di Samsat.
  • Tarif: bervariasi antar provinsi, biasanya 1%–2,5% dari NJKB (Nilai Jual Kendaraan Bermotor).

b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB)

  • Dikenakan atas peralihan hak kepemilikan kendaraan, misalnya jual beli mobil/motor.
  • Contoh: Anda beli motor bekas, saat balik nama STNK dan BPKB, wajib bayar BBNKB.
  • Tarif: biasanya 10% untuk kepemilikan pertama, 1% untuk kepemilikan kedua dst.

c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB)

  • Dikenakan atas penggunaan bahan bakar kendaraan bermotor.
  • Contoh: Saat beli bensin di SPBU, harga per liter sudah termasuk PBBKB.
  • Tarif: maksimal 10% dari nilai jual bahan bakar, ditetapkan oleh Pemprov.

d. Pajak Air Permukaan

  • Dikenakan atas pemanfaatan air permukaan untuk kegiatan usaha.
  • Contoh: perusahaan air minum atau pabrik yang memanfaatkan air sungai untuk produksi.

e. Pajak Rokok

  • Dikenakan atas cukai rokok yang dipungut bersamaan dengan pembayaran cukai.
  • Tarif: 10% dari cukai rokok.

2. Pajak Kabupaten/Kota

Dipungut oleh pemerintah kabupaten/kota, umumnya terkait kegiatan ekonomi sehari-hari seperti hotel, restoran, hiburan, hingga perolehan tanah.

a. Pajak Hotel

  • Dikenakan atas pelayanan yang disediakan hotel, penginapan, atau sejenisnya.
  • Contoh: menginap di hotel, Anda membayar tambahan pajak hotel di tagihan.
  • Tarif: maksimal 10% dari jumlah pembayaran.

b. Pajak Restoran

  • Dikenakan atas pelayanan di restoran, rumah makan, kafe, atau warung.
  • Contoh: saat makan di restoran, Anda membayar pajak restoran sekitar 10%.

c. Pajak Hiburan

  • Dikenakan atas penyelenggaraan hiburan.
  • Contoh: tiket konser musik, bioskop, karaoke, hingga diskotik.
  • Tarif: bervariasi, bisa 10%–35%.

d. Pajak Reklame

  • Dikenakan atas penyelenggaraan papan iklan/reklame.
  • Contoh: billboard iklan di jalan raya, spanduk toko, atau baliho kampanye.

e. Pajak Penerangan Jalan (PPJ)

  • Dikenakan atas penggunaan listrik.
  • Contoh: tagihan listrik rumah tangga sudah termasuk PPJ.

f. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan

  • Dikenakan atas kegiatan pengambilan mineral bukan logam dan batuan.
  • Contoh: usaha galian pasir, batu, atau tanah urug.

g. Pajak Parkir

  • Dikenakan atas penyelenggaraan tempat parkir berbayar.
  • Contoh: pusat perbelanjaan yang mengenakan tarif parkir.

h. Pajak Air Tanah

  • Dikenakan atas pengambilan air tanah untuk kegiatan usaha.
  • Contoh: perusahaan air isi ulang yang memanfaatkan sumur bor.

i. Pajak Sarang Burung Walet

  • Dikenakan atas kegiatan usaha sarang burung walet.

j. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2)

  • Dikenakan atas kepemilikan atau pemanfaatan bumi dan bangunan di kawasan perdesaan/perkotaan.
  • Contoh: rumah tinggal, ruko, atau tanah kosong di perkotaan.

k. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)

  • Dikenakan atas perolehan hak atas tanah/bangunan.
  • Contoh: pembeli rumah membayar BPHTB sebesar 5% setelah dikurangi NPOPTKP.

Contoh Praktis Pajak Daerah dalam Kehidupan Sehari-Hari

  1. Beli Mobil Baru
    • Bayar PKB dan BBNKB ke provinsi.
  2. Menginap di Hotel Bandung
    • Bayar pajak hotel ke Pemkot Bandung.
  3. Nonton Konser di Jakarta
    • Tiket yang Anda beli sudah termasuk pajak hiburan ke Pemprov DKI.
  4. Makan di Restoran Surabaya
    • Tagihan Anda sudah ditambah pajak restoran 10% untuk Pemkot Surabaya.
  5. Balik Nama Sertifikat Tanah di Semarang
    • Wajib bayar BPHTB ke Pemkot Semarang.

Perbedaan Pajak Provinsi vs Pajak Kabupaten/Kota

AspekPajak ProvinsiPajak Kabupaten/Kota
PemungutPemerintah provinsiPemerintah kabupaten/kota
Objek pajakKendaraan, bahan bakar, air permukaan, rokokHotel, restoran, hiburan, reklame, PPJ, parkir, PBB-P2, BPHTB
Contoh sehari-hariBayar PKB di SamsatBayar pajak restoran saat makan di kafe

Kesimpulan

Pajak daerah adalah kontribusi wajib masyarakat kepada pemerintah daerah yang hasilnya langsung digunakan untuk membiayai pembangunan lokal.

Jenisnya terbagi dua:

  1. Pajak Provinsi → misalnya PKB, BBNKB, PBBKB, pajak rokok.
  2. Pajak Kabupaten/Kota → misalnya pajak hotel, restoran, hiburan, reklame, PPJ, PBB-P2, BPHTB.

👉 Jadi, ketika Anda membayar pajak kendaraan, pajak restoran, atau BPHTB, ketahuilah bahwa uang itu tidak masuk ke pemerintah pusat, melainkan langsung ke daerah untuk membiayai kebutuhan lokal.

Dengan memahami pajak daerah, kita jadi lebih sadar bahwa setiap rupiah yang kita bayarkan, pada akhirnya kembali ke masyarakat dalam bentuk pembangunan dan pelayanan.

Heboh Pajak Warisan! Benarkah Ahli Waris Harus Bayar 2,5%? Yuk Bongkar Fakta & Aturannya

0
pph rumah warisan
pph rumah warisan

Bayangkan Anda baru saja kehilangan orang tercinta, lalu harus mengurus rumah atau tanah yang diwariskan. Di tengah duka, muncul biaya tambahan yang sering disebut “pajak warisan”. Inilah yang baru-baru ini dialami Leony, eks Trio Kwek Kwek, ketika mengurus balik nama rumah almarhum ayahnya.

Leony sempat kaget karena dikenakan pungutan yang disebutnya “pajak warisan” sebesar 2,5% dari nilai rumah. Keluhan ini viral, membuat banyak orang bertanya-tanya: benarkah warisan kena pajak?

Jawabannya tidak sesederhana iya atau tidak. Ada aturan khusus yang mengatur pajak atas warisan, hibah, dan pengalihan hak tanah/bangunan. Mari kita bahas lebih detail.

Apakah Warisan Kena Pajak?

👉 Jawaban singkat: Warisan bukan objek PPh.
Aturan ini jelas tertuang dalam UU Pajak Penghasilan dan ditegaskan kembali dalam PMK-81 Tahun 2024. Jadi, ketika Anda menerima rumah, tanah, atau tabungan sebagai warisan, harta itu tidak dihitung sebagai penghasilan dan tidak langsung dikenai PPh.

Tapi, jangan buru-buru lega. Dalam praktiknya, ada dua hal penting yang perlu diperhatikan:

  1. PPh Final 2,5% bisa tetap muncul saat balik nama tanah/bangunan warisan jika ahli waris tidak mengurus SKB PPh warisan.
  2. Selain itu, ada BPHTB (Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan) sebesar 5% dari nilai perolehan setelah dikurangi NPOPTKP, yang merupakan pajak daerah.

Jadi, meskipun warisan bebas dari PPh, masih ada kewajiban administrasi yang harus dipenuhi.

Kenapa Leony Kena Pajak Warisan?

Kasus Leony jadi ramai karena beliau tidak tahu bahwa perlu mengajukan Surat Keterangan Bebas (SKB) PPh Warisan. Tanpa SKB, sistem pajak menganggap pengalihan hak atas tanah/bangunan itu sama dengan transaksi jual beli biasa, sehingga muncul tarif PPh Final 2,5%.

Padahal, dengan SKB, seharusnya pengalihan karena warisan dibebaskan dari PPh. Di sinilah letak kesalahpahaman yang sering terjadi.

Dasar Hukum yang Mengatur Pajak Warisan & Hibah

  1. UU PPh Pasal 4 ayat (3) → menegaskan bahwa warisan bukan objek pajak.
  2. PMK-81 Tahun 2024 → memperjelas aturan bahwa pengalihan hak karena warisan dan hibah tertentu dikecualikan dari kewajiban PPh, asalkan ahli waris atau penerima hibah mengurus SKB PPh.
  3. UU No. 20 Tahun 2000 tentang BPHTB (jo. UU HKPD No. 1 Tahun 2022) → mengatur kewajiban BPHTB sebesar 5% saat balik nama tanah/bangunan.

👉 Jadi, kuncinya ada dua: SKB untuk membebaskan PPh, dan BPHTB yang tetap wajib dibayar.

SKB PPh Warisan: Kunci Agar Bebas Pajak

Agar tidak salah kaprah, mari kita bahas: apa itu SKB PPh warisan?

SKB (Surat Keterangan Bebas) adalah dokumen resmi dari DJP yang menyatakan bahwa pengalihan harta karena warisan (atau hibah tertentu) tidak dikenai PPh.

Dokumen yang Harus Disiapkan

  • Fotokopi KTP pewaris dan ahli waris.
  • Surat keterangan kematian.
  • Akta pembagian waris.
  • Sertifikat tanah/bangunan atau bukti kepemilikan harta.
  • Surat permohonan SKB.

Setelah dokumen lengkap, SKB biasanya terbit dalam waktu 3 hari kerja. Dengan SKB ini, pengalihan warisan tidak dikenai PPh Final.

Contoh Kasus Praktis

1. Warisan Rumah Rp1 Miliar (Tanpa SKB)

  • Dianggap transaksi biasa → kena PPh Final 2,5%.
  • PPh terutang = Rp1.000.000.000 × 2,5% = Rp25 juta.

2. Warisan Rumah Rp1 Miliar (Dengan SKB)

  • Dibebaskan dari PPh Final.
  • Tapi tetap wajib bayar BPHTB.
    • NPOP = Rp1 miliar.
    • NPOPTKP = Rp300 juta.
    • Dasar BPHTB = Rp700 juta.
    • BPHTB = 5% × Rp700 juta = Rp35 juta.

👉 Jadi, perbedaan mengurus SKB atau tidak bisa menghemat puluhan juta rupiah!

Bagaimana dengan Hibah?

Selain warisan, hibah juga sering dipertanyakan. Menurut PMK-81/2024 Pasal 200 ayat (1), pengalihan hak atas tanah/bangunan karena hibah tertentu juga bisa bebas PPh, dengan syarat:

  • Hibah diberikan kepada keluarga sedarah satu garis keturunan lurus (orang tua ke anak, atau sebaliknya).
  • Hibah digunakan untuk kepentingan sosial, keagamaan, atau pendidikan.

Namun, sama seperti warisan, agar bebas PPh tetap perlu SKB PPh Hibah.

Risiko Jika Tidak Mengurus SKB

  1. Kena PPh Final 2,5% dari nilai warisan.
  2. Akta jual beli atau balik nama bisa tertunda karena dokumen kurang lengkap.
  3. Menanggung beban pajak yang seharusnya tidak perlu dibayar.

Manfaat Memahami Aturan Pajak Warisan

  • Menghemat biaya administrasi hingga puluhan juta rupiah.
  • Menghindari salah kaprah seperti kasus Leony.
  • Memastikan proses balik nama tanah/bangunan berjalan lancar.
  • Memberi kepastian hukum bagi ahli waris.

Kesimpulan

Kasus Leony membuka mata kita bahwa masih banyak masyarakat salah paham soal pajak warisan. Faktanya, warisan bukan objek PPh, tapi pengalihan hak atas tanah/bangunan wajib mengurus SKB agar benar-benar bebas pajak.

Dasar hukumnya jelas: UU PPh, UU BPHTB, dan aturan terbaru PMK-81/2024. Jadi, jika suatu hari Anda menerima warisan atau hibah, jangan lupa urus SKB di kantor pajak agar tidak kaget dengan tagihan pajak yang seharusnya tidak muncul.

Aturan Pemeriksaan Pajak Terbaru PMK-15 Tahun 2025: DJP Kini Lebih Cepat, Tegas, dan Transparan

0

Mulai tahun 2025, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) resmi memberlakukan aturan baru pemeriksaan pajak melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 15 Tahun 2025. Aturan ini menggantikan berbagai regulasi lama dan menyatukannya dalam satu kerangka yang lebih jelas, terukur, dan transparan.

Dengan adanya aturan ini, wajib pajak—baik orang pribadi maupun badan usaha—perlu memahami bahwa proses pemeriksaan pajak kini lebih cepat, lebih spesifik, dan lebih luas cakupannya. Jadi, kalau sebelumnya masih ada yang menganggap pemeriksaan bisa “berlarut-larut” atau “bermain abu-abu”, di era PMK-15/2025 hal itu semakin sulit terjadi.

1. Penyederhanaan Aturan Pemeriksaan Pajak

Sebelum PMK-15/2025, ketentuan pemeriksaan pajak tersebar di berbagai regulasi, antara lain PMK-17/2013, PMK-18/2021, dan PMK-256/2014. Kini, seluruh aturan tersebut dikonsolidasi menjadi satu peraturan.

👉 Dampaknya:

  • Tidak ada lagi kebingungan aturan.
  • Proses pemeriksaan jadi lebih ringkas dan efisien.
  • Wajib pajak dan fiskus punya pedoman yang sama sehingga meminimalisir sengketa.

2. Jenis Pemeriksaan Pajak: Lengkap, Terfokus, Spesifik

PMK-15/2025 membagi pemeriksaan pajak menjadi tiga jenis utama, masing-masing dengan tenggat waktu tegas.

Jenis PemeriksaanCakupanBatas Waktu
LengkapSeluruh pos SPT (penjualan, pembelian, aset, dll.)Maksimal 5 bulan
TerfokusHanya pos tertentu dalam SPT (misalnya biaya, PPN, atau transaksi khusus)Maksimal 3 bulan
SpesifikPemeriksaan terbatas, misalnya satu transaksiMaksimal 1 bulan

Selain itu, setelah DJP menerbitkan SPHP (Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan), wajib pajak diberi waktu 30 hari untuk menanggapi dan berdiskusi dengan fiskus.

👉 Artinya, DJP kini lebih disiplin waktu, dan wajib pajak punya kepastian proses yang jelas.

3. Cakupan Pemeriksaan Lebih Luas

PMK-15/2025 memperluas objek pemeriksaan, meliputi hingga 14 jenis pajak untuk kepatuhan dan 25 jenis pajak lain untuk tujuan tertentu.

Tujuan Pemeriksaan bisa berupa:

  • Menguji kepatuhan wajib pajak.
  • Menguji transaksi dengan pihak terkait (hubungan istimewa / transfer pricing).
  • Memproses permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak (restitusi).
  • Mengumpulkan data dan keterangan lain untuk pengawasan pajak.

👉 Jadi, pemeriksaan tidak hanya terbatas pada “ada selisih di SPT”, tetapi juga bisa terkait transaksi kompleks, permohonan restitusi, hingga profil risiko wajib pajak.

4. Transparansi dan Perlindungan Hukum

Hal baru yang menarik dalam PMK-15/2025 adalah adanya perlindungan hukum bagi pemeriksa pajak.

  • Pemeriksa yang bekerja dengan itikad baik tidak akan dikenai sanksi.
  • Pemeriksa wajib menjunjung profesionalisme dan transparansi.
  • Di sisi lain, wajib pajak juga dilindungi dengan adanya kepastian hukum dan batas waktu pemeriksaan yang jelas.

👉 Pemeriksaan kini bukan lagi momok yang penuh misteri, tapi proses yang jelas, terukur, dan bisa dipertanggungjawabkan.

5. Prosedur Transisi

Bagaimana dengan pemeriksaan yang sudah berjalan sebelum PMK-15/2025 terbit?

  • Pemeriksaan yang sudah dimulai tetap mengikuti aturan lama sampai selesai.
  • Pemeriksaan yang baru dimulai setelah PMK-15 berlaku mengikuti sistem baru.

👉 Ini memberi kepastian hukum agar tidak ada pemeriksaan yang “setengah aturan lama, setengah aturan baru.”

6. Dampak bagi Wajib Pajak

Dengan aturan baru ini, wajib pajak harus lebih disiplin dalam:

  1. Menyusun laporan keuangan dan SPT → pastikan konsisten antara laporan usaha dan laporan pajak.
  2. Menjawab SP2DK dengan baik → agar tidak berlanjut ke pemeriksaan lengkap.
  3. Menyiapkan dokumen transfer pricing jika ada transaksi hubungan istimewa.
  4. Mengatur manajemen pajak agar saat diperiksa, dokumen sudah rapi.

Kalau tidak siap, pemeriksaan yang kini waktunya lebih singkat justru bisa membuat wajib pajak kerepotan.

7. Contoh Kasus Praktis

Contoh A: Pemeriksaan Terfokus

PT ABC melaporkan SPT PPN dengan status lebih bayar Rp1 miliar. DJP melakukan pemeriksaan terfokus hanya pada transaksi ekspor. Batas waktu pemeriksaan → 3 bulan.

Contoh B: Pemeriksaan Spesifik

Seorang wajib pajak perorangan menerima penghasilan dari sewa properti yang tidak dilaporkan. DJP melakukan pemeriksaan spesifik hanya untuk transaksi sewa tersebut. Batas waktu → 1 bulan.

Contoh C: Pemeriksaan Lengkap

Grup usaha besar dengan banyak entitas dilaporkan memiliki transaksi transfer pricing. DJP melakukan pemeriksaan lengkap mencakup seluruh laporan keuangan. Batas waktu → 5 bulan.

Kesimpulan

PMK-15 Tahun 2025 adalah tonggak baru dalam sistem pemeriksaan pajak di Indonesia. Aturan ini membawa perubahan besar: pemeriksaan lebih ringkas, cepat, transparan, dan adil.

Bagi wajib pajak, pesan utamanya jelas:

  • Jangan menunggu diperiksa baru beres-beres.
  • Siapkan laporan pajak dengan rapi sejak awal.
  • Gunakan kesempatan diskusi 30 hari setelah SPHP untuk menyelesaikan perbedaan sebelum jadi sengketa.

Terbongkar! DJP Bisa Lacak Arus Uang Grup Usaha Lewat Pemeriksaan dan Buka Rekening

0
pemeriksaan pajak di wilayah tambang
pemeriksaan pajak di wilayah tambang

Banyak orang masih beranggapan bahwa jika mereka membagi usaha ke dalam beberapa entitas—baik berbentuk perorangan, CV, firma, maupun PT—maka arus keuangan mereka akan lebih sulit dilacak oleh pajak. Sayangnya, di era digital ini, anggapan itu sudah ketinggalan zaman.

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) kini memiliki kewenangan untuk melakukan pemeriksaan grup usaha dan bahkan menjalankan prosedur Buka Rekening. Artinya, perputaran uang tidak hanya dilihat dari satu perusahaan saja, tapi juga bisa ditelusuri antar entitas dalam satu kelompok usaha, bahkan sampai ke rekening pribadi pemiliknya.

Dasar Hukum Kewenangan DJP

  1. UU No. 6 Tahun 1983 tentang KUP (diubah terakhir dengan UU HPP) → memberi dasar pemeriksaan pajak.
  2. UU No. 9 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan → membuka akses rekening bank.
  3. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 15 Tahun 2025 → mengatur tata cara pemeriksaan pajak, termasuk pemeriksaan terintegrasi pada grup usaha.

Dengan dasar hukum ini, kerahasiaan bank tidak lagi mutlak dan bisa dibuka untuk kepentingan pajak.

Apa Itu Pemeriksaan Grup Usaha?

Pemeriksaan grup usaha adalah langkah DJP untuk melihat aktivitas keuangan tidak hanya pada satu entitas, tetapi secara menyeluruh. Pemeriksaan ini biasanya dilakukan ketika:

  • Ada indikasi perpindahan laba antar perusahaan (profit shifting).
  • Ada transaksi hubungan istimewa antar entitas (transfer pricing).
  • Ada dugaan pemilik usaha menyamarkan omzet dengan membagi transaksi ke beberapa perusahaan kecil.

📌 Jadi, jangan mengira dengan punya banyak PT atau CV lalu memecah omzet, otomatis pajaknya aman. DJP bisa menelusuri benang merahnya.

Prosedur Buka Rekening oleh DJP

Istilah “buka rekening” bukan berarti DJP membuka rekening baru, melainkan membuka data rekening bank wajib pajak untuk dilihat perputaran uangnya.

Prosesnya:

  1. DJP mengajukan permintaan resmi kepada bank berdasarkan dasar hukum.
  2. Bank wajib menyerahkan data saldo, mutasi, hingga transaksi tertentu.
  3. Data tersebut dianalisis oleh DJP untuk mencocokkan dengan laporan pajak wajib pajak.

Dengan mekanisme ini, DJP bisa mengetahui:

  • Adanya aliran dana antar perusahaan dalam satu grup.
  • Adanya pemasukan besar ke rekening pribadi pemilik yang tidak dilaporkan di SPT.
  • Adanya pola “split omzet” untuk menghindari batasan omzet tertentu (misalnya PP 23/2018 UMKM).

Contoh Kasus yang Sering Terjadi

Kasus 1: Pemilik Banyak PT

Seorang pengusaha memiliki 3 PT berbeda di bidang yang sama. Masing-masing melaporkan omzet di bawah Rp4,8 miliar agar tetap bisa pakai tarif UMKM. Tapi setelah DJP melakukan buka rekening, ternyata aliran dana masuk ke rekening pribadi sang pemilik mencapai puluhan miliar. Hasilnya: DJP melakukan koreksi dan menerbitkan tagihan pajak.

Kasus 2: Grup Usaha dengan Transfer Pricing

Sebuah grup usaha konstruksi melakukan transaksi antar perusahaan di bawah harga pasar untuk mengurangi laba salah satu entitas. Dengan buka rekening, DJP menemukan aliran pembayaran yang tidak sesuai laporan. Akhirnya, dilakukan pemeriksaan transfer pricing.

Risiko Jika Terbukti Menyembunyikan Omzet

  1. Koreksi Pajak → DJP akan menambahkan penghasilan yang tidak dilaporkan.
  2. Sanksi Administrasi → bunga dan denda hingga 200%.
  3. Pidana Pajak → jika ada indikasi penghindaran pajak secara sengaja.
  4. Lawan Transaksi Ikut Terseret → karena faktur pajak masukan mereka bisa dianggap tidak sah jika lawannya bermasalah.

Kenapa DJP Fokus ke Grup Usaha?

  • Banyak modus penghindaran pajak terjadi lewat pembagian usaha.
  • Keadilan pajak harus dijaga, agar yang patuh tidak dirugikan oleh yang bermain curang.
  • Potensi penerimaan besar karena grup usaha biasanya memiliki omzet signifikan.

Tips Agar Aman dari Pemeriksaan

  1. Laporkan seluruh omzet dengan benar → jangan pecah omzet hanya untuk cari tarif kecil.
  2. Pisahkan rekening usaha dan pribadi → agar mudah ditelusuri.
  3. Gunakan transfer pricing sesuai aturan (arm’s length principle) jika ada hubungan istimewa.
  4. Konsultasi dengan AR di KPP jika ada keraguan dalam pelaporan.

Kesimpulan

Era keterbukaan data membuat tidak ada lagi ruang aman untuk menyembunyikan omzet melalui grup usaha. DJP punya kewenangan memeriksa entitas per entitas, lalu menghubungkannya, bahkan sampai menelusuri rekening pemilik usaha.

👉 Jadi, daripada menunggu ketahuan lewat prosedur buka rekening, lebih baik sejak awal jujur dan patuh dalam melaporkan pajak. Ingat, membayar pajak yang benar bukan hanya kewajiban, tapi juga investasi ketenangan bisnis Anda.

Jangan Kaget! Jual Beli Tanah & Bangunan Kena PPh Final – Ini Aturannya Sesuai PP 34/2016

0
pph final jual beli tanah bangunan
pph final jual beli tanah bangunan

Banyak orang yang bermimpi punya rumah, apartemen, atau tanah sendiri. Tapi tahukah Anda bahwa setiap transaksi jual beli tanah dan/atau bangunan dikenakan pajak khusus berupa PPh Final? Pajak ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2016 yang kemudian dijabarkan lebih teknis melalui PMK-261/PMK.03/2016.

Bagi penjual maupun pembeli, memahami ketentuan ini penting agar tidak salah hitung dan tidak kaget saat berurusan di kantor notaris atau Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Artikel ini akan membahas secara lengkap mulai dari dasar hukum, siapa yang wajib bayar, tarif, pengecualian, hingga contoh perhitungan.

Apa Itu PPh Final Jual Beli Tanah & Bangunan?

PPh Final adalah pajak penghasilan yang dipotong langsung atas transaksi tertentu dan bersifat final alias tidak bisa dikreditkan di SPT Tahunan. Untuk jual beli tanah/bangunan, PPh Final dikenakan pada pihak yang menjual atau mengalihkan hak atas tanah dan/atau bangunan.

Dasar hukum:

  • PP 34 Tahun 2016 → mengatur tarif umum dan pengecualian.
  • PMK-261/PMK.03/2016 → mengatur tata cara pemotongan, penyetoran, dan pelaporan.

👉 Jadi, setiap kali ada akta jual beli tanah atau bangunan, penjual wajib melunasi PPh Final terlebih dahulu sebelum akta ditandatangani PPAT.

Siapa yang Wajib Membayar?

Pihak yang menjual atau mengalihkan hak atas tanah dan/atau bangunan. Termasuk:

  • Orang pribadi yang menjual rumah, ruko, atau tanah.
  • Badan usaha developer yang menjual rumah tapak, apartemen, atau kavling.
  • Badan usaha non-developer yang mengalihkan aset berupa tanah/bangunan.

📌 Catatan: Pembeli tidak dikenakan PPh Final, tapi wajib membayar BPHTB (Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan).

Tarif PPh Final Jual Beli Tanah & Bangunan

Berdasarkan PP 34 Tahun 2016, tarif PPh Final dibedakan:

  1. Tarif umum
    • 2,5% dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan.
  2. Tarif khusus untuk developer
    • Jika menjual rumah sederhana atau rumah susun sederhana → 1% dari jumlah bruto nilai pengalihan.
  3. Pengecualian (tidak dikenakan PPh Final):
    • Hibah kepada keluarga inti (dengan syarat tertentu).
    • Hibah ke badan keagamaan, pendidikan, sosial, dan yayasan.
    • Pengalihan hak untuk kepentingan negara.

Contoh Perhitungan PPh Final

Contoh 1: Penjualan Rumah Biasa

Pak Budi menjual rumah di Jakarta dengan harga Rp1 miliar. Karena bukan rumah sederhana, maka tarifnya 2,5%.

  • PPh Final = 2,5% × Rp1.000.000.000 = Rp25.000.000

👉 Pak Budi harus membayar Rp25 juta sebelum akta jual beli bisa ditandatangani PPAT.

Contoh 2: Penjualan Rumah Sederhana oleh Developer

PT Sejahtera menjual rumah subsidi sederhana seharga Rp200 juta. Tarif khusus berlaku yaitu 1%.

  • PPh Final = 1% × Rp200.000.000 = Rp2.000.000

👉 Developer cukup menyetor Rp2 juta untuk transaksi ini.

Contoh 3: Hibah Tanah untuk Anak

Pak Andi menghibahkan sebidang tanah kepada anak kandungnya. Karena hibah kepada keluarga inti dikecualikan, maka tidak dikenakan PPh Final.

Tata Cara Pembayaran & Pelaporan

1. Penyetoran Pajak

  • Penjual membuat kode billing melalui e-Billing Coretax dengan KAP 411128 (PPh Final) dan KJS 402 (jual beli tanah/bangunan).
  • Setor ke bank persepsi atau kanal pembayaran online (Mobile Banking, Internet Banking).

2. Bukti Setor

  • Bukti setor (SSP/SSPB elektronik) harus diserahkan ke PPAT dan dilakukan divalidasi PHTB.

3. Pelaporan

  • PPh Final ini dilaporkan dalam SPT Masa PPh Final.
  • Juga tetap dicantumkan di SPT Tahunan PPh sebagai penghasilan final.

Risiko Jika Tidak Membayar PPh Final

  1. Akta tidak bisa ditandatangani PPAT karena bukti setor wajib dilampirkan.
  2. Sanksi administrasi berupa bunga/denda jika terlambat setor.
  3. Potensi pemeriksaan pajak jika ditemukan pengalihan hak tanpa pembayaran PPh Final.

Kelebihan Aturan PP 34/2016 dan PMK-261/2016

  • Kepastian hukum → jelas siapa wajib bayar dan berapa tarifnya.
  • Tarif lebih ringan untuk rumah sederhana → mendukung program pemerintah menyediakan hunian murah.
  • Ada pengecualian tertentu → misalnya untuk hibah keluarga inti atau untuk kepentingan sosial.

Tips Agar Lancar dalam Transaksi Jual Beli Tanah/Bangunan

  • Siapkan dana PPh Final sejak awal agar tidak menghambat proses di PPAT.
  • Periksa status tanah/bangunan apakah masuk kategori rumah sederhana atau tidak.
  • Gunakan notaris/PPAT terpercaya untuk memastikan administrasi pajak dan legalitas terpenuhi.
  • Konsultasi ke Account Representative (AR) di KPP jika ada keraguan.

Kesimpulan

Jual beli tanah dan/atau bangunan memang selalu jadi urusan besar dalam hidup banyak orang. Namun, jangan sampai lupa bahwa ada kewajiban PPh Final yang harus dibayar. Sesuai PP 34 Tahun 2016 dan PMK-261/PMK.03/2016, penjual wajib menyetor PPh Final sebesar 2,5% dari nilai transaksi, atau 1% jika menjual rumah sederhana.

Dengan memahami aturan ini, penjual tidak akan kaget, pembeli pun tenang karena proses di PPAT lancar.