Kamis, Oktober 23, 2025
20.8 C
Indonesia
Beranda blog

Kabar Gembira! Rumah Subsidi Bebas PPN Sesuai PP No. 49 Tahun 2022

0
rumah subsidi bebas ppn

Bayangkan Anda baru saja menikah. Tabungan tidak seberapa, tapi impian memiliki rumah sendiri begitu besar. Pertanyaan yang sering muncul adalah: “Mampukah saya membeli rumah dengan gaji pas-pasan?”

Di tengah harga properti yang terus naik, hadir sebuah kabar baik: Rumah subsidi kini bebas PPN!
Kebijakan ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 49 Tahun 2022, tepatnya Pasal 6 ayat (2) huruf i.

Artinya, membeli rumah sederhana atau rumah subsidi tidak lagi dibebani Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Bagi masyarakat berpenghasilan rendah, ini adalah pintu besar menuju hunian impian.

Dasar Hukum Rumah Subsidi Bebas PPN

Peraturan ini memiliki landasan kuat:

  • PP Nomor 49 Tahun 2022 tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
  • Pasal 6 ayat (2) huruf i menyebutkan bahwa penyerahan rumah sederhana, rumah sangat sederhana, rumah susun sederhana, dan rumah khusus yang memenuhi kriteria tertentu dikecualikan dari pengenaan PPN.

Dengan kata lain, ketika Anda membeli rumah subsidi yang masuk kategori tersebut, Anda tidak perlu membayar PPN 11% dari harga jual rumah.

Mengapa Rumah Subsidi Dibebaskan dari PPN?

Kebijakan ini bukan tanpa alasan. Pemerintah ingin:

  1. Meningkatkan akses kepemilikan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
  2. Mengurangi beban biaya dalam proses membeli rumah.
  3. Mendukung program sejuta rumah agar backlog perumahan di Indonesia semakin berkurang.

Bayangkan, tanpa PPN, harga rumah subsidi bisa lebih terjangkau jutaan rupiah.

Cerita Nyata: Beli Rumah Tanpa PPN

Rina, seorang pegawai swasta dengan gaji Rp4 juta per bulan, bermimpi memiliki rumah sendiri. Setelah menabung selama 2 tahun, ia akhirnya bisa membeli rumah subsidi seharga Rp168 juta.

  • Jika rumah ini dikenai PPN 11%, maka tambahan pajak yang harus dibayar adalah:
    Rp168.000.000 × 11% = Rp18.480.000
  • Namun, berkat bebas PPN, Rina tidak perlu membayar biaya ekstra tersebut.
    Ia hanya membayar harga rumah sesuai ketentuan, plus biaya administrasi kecil lain.

“Bayangkan kalau saya harus bayar PPN hampir Rp19 juta. Tabungan saya bisa jebol! Untung ada kebijakan rumah subsidi bebas PPN ini,” kata Rina sambil tersenyum lega.

Apa Itu Rumah Subsidi?

Rumah subsidi adalah rumah yang harganya sudah ditetapkan pemerintah dengan tujuan membantu masyarakat berpenghasilan rendah. Ciri-cirinya:

  • Harga jual ditentukan pemerintah.
  • Spesifikasi standar (luas tanah dan bangunan terbatas).
  • Bisa mendapatkan fasilitas Kredit Pemilikan Rumah (KPR) subsidi dengan bunga rendah.
  • Dibangun oleh pengembang yang sudah bekerja sama dengan pemerintah.

Jenis rumah subsidi yang bebas PPN sesuai PP 49/2022:

  • Rumah sederhana.
  • Rumah sangat sederhana.
  • Rumah susun sederhana (rusunami).
  • Rumah khusus untuk masyarakat berpenghasilan rendah.

Syarat Mendapatkan Rumah Subsidi Bebas PPN

Tidak semua orang bisa menikmati fasilitas ini. Ada beberapa syarat utama:

  1. Warga Negara Indonesia (WNI).
  2. Berpenghasilan sesuai ketentuan MBR (umumnya gaji maksimal Rp8 juta per bulan untuk rumah tapak, Rp10 juta per bulan untuk rusunami).
  3. Belum pernah memiliki rumah sebelumnya.
  4. Menggunakan untuk hunian pribadi, bukan investasi.

Manfaat Nyata Rumah Subsidi Bebas PPN

  1. Harga Lebih Murah → tanpa tambahan PPN 11%.
  2. Meringankan cicilan KPR → karena harga pokok rumah lebih rendah.
  3. Akses lebih mudah bagi MBR → mendukung kesejahteraan masyarakat.
  4. Meningkatkan kepemilikan rumah → mengurangi backlog perumahan nasional.

Kesimpulan

Kebijakan Rumah Subsidi Bebas PPN sesuai PP No. 49 Tahun 2022 Pasal 6 ayat (2) huruf i adalah kabar gembira bagi masyarakat berpenghasilan rendah.

Kini, membeli rumah subsidi jadi lebih ringan tanpa beban pajak tambahan. Jadi, kalau Anda masih ragu untuk mengambil rumah subsidi, inilah saat terbaik untuk melangkah menuju hunian impian.

Penyedia Jasa Aplikasi Perpajakan (PJAP): Kolaborasi Digital Menuju Ekosistem Pajak yang Lebih Mudah dan Aman

0
PJAP

Di era digital seperti sekarang, hampir setiap aspek kehidupan berpindah ke dunia daring—termasuk urusan pajak. Namun, di balik kemudahan yang kita rasakan ketika membuat e-Faktur, mengirim SPT, atau menghasilkan kode billing, ada “jembatan digital” yang bekerja di balik layar: Penyedia Jasa Aplikasi Perpajakan (PJAP).

Apa Itu PJAP?

Secara sederhana, PJAP adalah pihak swasta yang ditunjuk oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk menyediakan layanan aplikasi perpajakan kepada Wajib Pajak. Mereka inilah yang membantu memastikan setiap proses pelaporan dan pembayaran pajak bisa dilakukan secara cepat, akurat, dan aman—tanpa harus antre di kantor pajak.

Penunjukan PJAP diatur dalam PER-5/PJ/2025, sebuah regulasi terbaru dari DJP yang memperjelas mekanisme, persyaratan, dan tanggung jawab bagi para penyedia jasa ini. Tujuan akhirnya jelas: mewujudkan ekosistem perpajakan yang modern, transparan, dan berkeadilan.

Ruang Lingkup dan Layanan yang Diberikan PJAP

PJAP tidak hanya sekadar penyedia sistem, tetapi juga mitra pemerintah dalam menyukseskan digitalisasi pajak. Beberapa layanan utama yang dapat disediakan oleh PJAP antara lain:

  • Validasi Status Wajib Pajak, untuk memastikan data identitas pajak benar dan terkini.
  • Pembuatan dan Penyaluran Bukti Potong/Pungut Elektronik, yang menjadi dasar pelaporan PPh 21, 23, dan seterusnya.
  • Modul e-Faktur, yang kini menjadi bagian penting dalam administrasi PPN.
  • Aplikasi Pembuatan Kode Billing, agar pembayaran pajak bisa dilakukan dengan mudah melalui berbagai kanal.
  • Penyaluran Surat Pemberitahuan Elektronik (e-SPT), yang menggantikan proses manual di masa lalu.

Dengan layanan ini, Wajib Pajak dapat mengelola seluruh kewajiban perpajakannya dalam satu platform terpadu, tanpa repot berpindah sistem.

Bagaimana Cara Menjadi PJAP?

Untuk bisa ditunjuk sebagai PJAP, sebuah perusahaan tidak bisa asal mendaftar. Ada syarat administratif dan teknis ketat yang harus dipenuhi, di antaranya:

  • Berbadan hukum Indonesia dan memiliki NPWP serta status PKP.
  • Bebas dari tunggakan pajak dan tidak sedang dalam pemeriksaan atau penyidikan perpajakan.
  • Dimiliki oleh WNI atau badan hukum Indonesia dengan kepemilikan saham di atas 50%.
  • Memiliki rencana bisnis dan rencana keberlangsungan bisnis (business continuity plan).
  • Seluruh infrastruktur IT wajib berada di Indonesia, termasuk data center dan disaster recovery center.

DJP juga memastikan setiap calon PJAP menjalani uji teknis ketat, mulai dari penilaian business plan, pengujian aplikasi, hingga verifikasi keamanan data. Hanya yang lulus seluruh tahap inilah yang akhirnya resmi ditetapkan sebagai PJAP.

Masa Berlaku dan Pengawasan

Penunjukan sebagai PJAP berlaku selama enam tahun, dan bisa diperpanjang dua tahun sebelum masa berlaku habis. Namun, penunjukan ini bukanlah “lisensi permanen.” DJP melakukan pengawasan rutin setidaknya sekali dalam setahun untuk memastikan kualitas layanan, keamanan data, serta kepatuhan terhadap ketentuan.

Jika ditemukan pelanggaran, PJAP dapat dikenai sanksi administratif mulai dari teguran, penghentian sementara, hingga pencabutan izin.

Tanggung Jawab dan Kewajiban PJAP

Sebagai mitra resmi DJP, PJAP memiliki tanggung jawab besar. Mereka wajib:

  • Menjaga kerahasiaan data pengguna sesuai peraturan.
  • Memenuhi standar kualitas layanan dan perlindungan konsumen.
  • Melaksanakan manajemen risiko dan pengawasan jika bekerja sama dengan pihak ketiga.
  • Mendukung upaya DJP dalam meningkatkan kepatuhan pajak sukarela, misalnya lewat edukasi dan kampanye publik.

Dengan prinsip-prinsip ini, DJP memastikan bahwa layanan perpajakan berbasis teknologi tidak hanya efisien, tapi juga aman dan berintegritas tinggi.

Manfaat Keberadaan PJAP bagi Wajib Pajak

Bagi pelaku usaha, konsultan, atau bahkan individu, keberadaan PJAP membawa banyak manfaat:

  • Kemudahan akses layanan pajak di mana pun dan kapan pun.
  • Kecepatan dan keakuratan dalam pelaporan pajak elektronik.
  • kepastian hukum dan keamanan data, karena PJAP diawasi langsung oleh DJP.
  • Konektivitas sistem yang memungkinkan integrasi dengan sistem akuntansi atau ERP perusahaan.

Digitalisasi ini juga mengubah paradigma hubungan antara pemerintah dan Wajib Pajak: dari yang dulu bersifat administratif menjadi kolaboratif.

PJAP: Pilar Baru Ekosistem Pajak Digital Indonesia

Melalui regulasi PER-5/PJ/2025, DJP tidak hanya memperkuat tata kelola penyedia jasa pajak, tapi juga membuka peluang besar bagi sektor swasta berperan dalam modernisasi sistem perpajakan nasional.

PJAP menjadi “mitra strategis” dalam memastikan transformasi digital berjalan dengan aman, terukur, dan berkelanjutan. Ke depan, peran mereka akan semakin penting dalam membangun kepercayaan publik terhadap sistem perpajakan elektronik—sebuah langkah kunci menuju reformasi pajak yang inklusif dan berbasis teknologi.

Kesimpulan

Peraturan ini bukan sekadar soal izin atau teknis aplikasi. Ini adalah fondasi dari masa depan perpajakan Indonesia yang lebih efisien, transparan, dan adaptif terhadap perkembangan teknologi.

Melalui PJAP, DJP mengajak seluruh pihak untuk bersama-sama membangun sistem pajak digital yang kuat—di mana kemudahan dan kepatuhan dapat berjalan beriringan.

Sertifikat Badan Usaha (SBU): Identitas Penting Dalam Dunia Konstruksi & Legalitas Usaha

0
kualifikasi jasa konstruksi
kualifikasi jasa konstruksi

Ketika sebuah perusahaan ingin ikut tender proyek konstruksi—membangun gedung, jalan, jembatan, fasilitas umum—banyak lembaga menuntut: “Sertifikat Badan Usaha, tolong lampirkan dulu.” Bagi yang belum tahu, SBU kadang menimbulkan pertanyaan: “Apa itu SBU? Mengapa perlu? Bagaimana mendapatkannya?” Artikel ini hadir untuk menjawab semua itu.

Apa Itu Sertifikat Badan Usaha (SBU)?

SBU adalah dokumen resmi yang menyatakan bahwa suatu badan usaha telah memenuhi standar kompetensi, kapasitas teknis, manajemen, dan persyaratan lain yang ditetapkan agar bisa melakukan pekerjaan jasa konstruksi. Dalam dunia konstruksi, SBU menjadi salah satu izin / sertifikasi wajib agar perusahaan dapat berpartisipasi dalam proyek-proyek formal.

Dalam situs sertifikasi.biz, disebut bahwa SBU konstruksi diselenggarakan sesuai dengan PP Nomor 5 Tahun 2021 dan regulasi terkait sektor konstruksi.

SBU bukan sekadar label—ia membuktikan bahwa badan usaha tersebut kompeten, punya pengalaman, sumber daya manusia yang memadai, alat, serta jaringan legal untuk menjalankan proyek konstruksi.

Landasan Hukum: PP Nomor 5 Tahun 2021

SBU diatur dalam kerangka Perizinan Berusaha Berbasis Risiko melalui Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang penyelenggaraan perizinan berusaha berbasis risiko.

Beberapa poin penting dari PP 5/2021 terkait SBU:

  • Pekerjaan jasa konstruksi dikelompokkan sebagai subsektor di bawah sektor Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
  • Dalam subsektor jasa konstruksi, perusahaan tidak lagi menggunakan izin usaha tradisional (IUJK) seperti sebelumnya; melainkan menggunakan sertifikasi dan standar yang sesuai risiko proyek.
  • PP 5/2021 menetapkan bahwa SBU konstruksi adalah salah satu sertifikat wajib yang harus dimiliki oleh perusahaan yang ingin melakukan pekerjaan jasa konstruksi (Pasal yang mengatur sertifikasi usaha konstruksi).
  • Pemerintah mengintegrasikan SBU ke dalam sistem OSS (One Single Submission) berbasis risiko, agar proses sertifikasi badan usaha menjadi lebih efisien.

Jadi, SBU bukanlah izin lama yang berdiri sendiri, melainkan bagian dari perizinan berusaha berbasis risiko dalam ekosistem regulasi usaha baru di Indonesia.

Fungsi & Manfaat SBU

Kenapa perusahaan konstruksi harus punya SBU? Berikut fungsi dan manfaatnya:

  1. Syarat untuk mengikuti tender proyek konstruksi
    Banyak instansi pemerintah atau swasta mensyaratkan adanya SBU sebelum perusahaan bisa ikut tender lelang. Tanpa SBU, legalitas perusahaan dianggap belum lengkap.
  2. Validasi kompetensi & kapasitas teknis
    Dengan SBU, perusahaan menunjukkan bahwa tim ahli, peralatan, sistem manajemen, dan pengalaman proyek-nya sesuai standar yang ditetapkan.
  3. Kepercayaan dan reputasi usaha
    Klien proyek lebih percaya jika perusahaan sudah bersertifikat. SBU menjadi “tanda jaminan” bahwa perusahaan serius dan memenuhi regulasi.
  4. Penyederhanaan perizinan usaha konstruksi
    Dengan PP 5/2021, SBU menjadi bagian dari perizinan berusaha berbasis OSS, sehingga perusahaan tidak harus mengurus izin banyak layer lagi.
  5. Kontrol dan pengawasan pemerintah terhadap sektor konstruksi
    Dengan sertifikasi badan usaha, pemerintah bisa memantau kualitas, kompetisi sehat, dan kepatuhan usaha konstruksi.

Persyaratan & Proses Mendapatkan SBU

Berikut ringkasan persyaratan umum perusahaan konstruksi untuk memperoleh SBU (berdasarkan praktik di lapangan dan ketentuan standar):

  • Badan usaha harus terdaftar formally (PT, CV, Firma, dsb).
  • Memiliki Nomor Induk Berusaha (NIB) melalui OSS sistem.
  • Memiliki tenaga ahli bersertifikat (misalnya insinyur, supervisor) serta sertifikat kompetensi kerja (SKK) yang relevan.
  • Melampirkan data peralatan kerja konstruksi, daftar pengalaman proyek, keuangan perusahaan, organisasi, dan manajemen mutu.
  • Memenuhi standar kualitas dan keamanan, misalnya sistem manajemen mutu (ISO 9001) atau standar keselamatan sesuai regulasi proyek. (ini sering menjadi bagian dari penilaian).

Lama proses pengurusan SBU bervariasi tergantung kelengkapan dokumen dan verifikasi lembaga sertifikasi yang ditunjuk. Dalam sistem modern (OSS berbasis risiko), banyak proses yang menjadi lebih cepat dan digital.

Jenis SBU & Klasifikasi

SBU biasanya dibedakan berdasarkan kelas/prefix pekerjaan konstruksi atau tingkatan risiko proyek:

  • SBU Konstruksi — untuk perusahaan pelaksana konstruksi.
  • SBU Konsultansi Konstruksi — untuk perusahaan jasa konsultasi desain, perencanaan, pengawasan.
  • SBU Konstruksi Terintegrasi — untuk perusahaan yang menangani proyek penuh mulai desain sampai pelaksanaan.

Klasifikasi ini tergantung regulasi teknis dan jenis proyek. Misalnya proyek kelas besar, menengah, atau kecil punya persyaratan SBU yang berbeda.

Contoh Real: Implementasi SBU

Misalkan PT “Maju Konstruksi” ingin mengikuti tender pembangunan jalan di provinsi. Persyaratannya: wajib punya SBU Konstruksi Kelas Menengah.

Mereka akan:

  1. Siapkan dokumen — NIB, SKK tenaga ahli, laporan keuangan, daftar alat, pengalaman proyek.
  2. Submit permohonan SBU lewat OSS / lembaga sertifikasi yang ditunjuk LPJK / PUPR.
  3. Setelah diverifikasi, SBU diterbitkan dan berlaku selama beberapa tahun (umumnya 3 tahun).
  4. Dalam paket tender, sertakan SBU sebagai syarat administrasi agar tidak gugur secara formal.

Karena PP 5/2021, proses sertifikasi ini sudah terintegrasi dengan sistem OSS berbasis risiko, sehingga proses pengurusan bisa lebih transparan dan cepat dibanding sistem lama IUJK.

Tantangan & Catatan Penting

Beberapa hal yang sering menjadi tantangan terkait SBU:

  • Biaya sertifikasi bisa jadi berat bagi usaha kecil atau baru.
  • Kepastian standar teknologi — perusahaan harus terus upgrade kompetensi agar tetap relevan.
  • Jangka waktu masa berlaku — SBU harus diperpanjang setelah habis masa berlaku, dan perusahaan harus menjaga kepatuhan agar SBU tetap aktif.
  • Sertifikasi oleh lembaga yang akreditasi — hanya lembaga yang telah ditunjuk atau diakreditasi yang bisa mengeluarkan SBU yang sah.

Kesimpulan

Sertifikat Badan Usaha (SBU) adalah dokumen krusial dalam dunia konstruksi yang menunjukkan bahwa sebuah perusahaan telah memenuhi standar teknis, kompetensi, dan aspek manajemen agar layak mengerjakan proyek konstruksi secara legal.

Dengan hadirnya PP Nomor 5 Tahun 2021, SBU menjadi bagian dari perizinan berusaha berbasis risiko, yang mempermudah integrasi sertifikasi konstruksi ke dalam OSS serta menghapus izin-izin lama yang berbelit.

Bagi pengusaha konstruksi, memahami SBU dan cara mendapatkannya bukan sekadar administratif — ini pintu untuk ikut tender, membangun reputasi, dan memastikan usaha tetap berjalan sah dan kompetitif.

Risiko dan Sanksi bagi PKP yang Tidak Menerbitkan Faktur Pajak

0
sanksi pkp tidak menerbitkan faktur pajak

(Panduan Lengkap agar Pengusaha Tidak Terjerat Denda dan Pemeriksaan Pajak di Era Coretax)

Bagi seorang Pengusaha Kena Pajak (PKP), faktur pajak bukan sekadar dokumen biasa. Ia adalah bukti resmi transaksi kena PPN dan bagian penting dari sistem pelaporan pajak elektronik (Coretax).

Namun masih banyak PKP yang lalai menerbitkan faktur pajak. Ada yang lupa, ada yang sengaja menunda, bahkan ada yang menganggapnya tidak penting. Padahal, kelalaian kecil ini bisa berakibat besar: mulai dari denda, kehilangan hak pengkreditan PPN, hingga pemeriksaan pajak oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

Melalui artikel ini, kita akan membahas secara lengkap, humanis, dan logis tentang risiko dan sanksi bagi PKP yang tidak membuat faktur pajak, dasar hukumnya, dan cara menghindarinya.

Dasar Hukum: Kewajiban Menerbitkan Faktur Pajak

Kewajiban ini diatur dalam Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang PPN Nomor 8 Tahun 1983 yang telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 (UU HPP). Pasal tersebut menyebutkan bahwa:

Pengusaha Kena Pajak wajib membuat faktur pajak pada saat:
a. penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak;
b. penerimaan pembayaran;
c. penerimaan pembayaran tahap; atau
d. saat lain yang ditentukan oleh Menteri Keuangan.

Artinya, setiap transaksi yang terutang PPN wajib dibuatkan faktur pajak, tanpa pengecualian. Ketentuan teknisnya dijelaskan melalui:

  • PER-03/PJ/2022 tentang Faktur Pajak Elektronik (e-Faktur); dan
  • PER-11/PJ/2022 yang mengatur perubahan dan penyesuaian kode serta waktu penerbitan faktur pajak.

Risiko dan Sanksi Jika Tidak Membuat Faktur Pajak

  • Sanksi Administratif 1% dari Dasar Pengenaan Pajak (DPP). Sanksi administratif ini berubah dari sebelumnya 2% menjadi 1% dari DPP sesuai dengan ketentuan terbaru dalam:

    Pasal 14 ayat (4) UU KUP yang telah disesuaikan melalui UU HPP, dan PER-03/PJ/2022 serta PER-11/PJ/2022 yang mengatur teknis pelaksanaan e-Faktur di sistem Coretax.

    Bunyi ketentuannya menyebutkan bahwa:

    “Pengusaha Kena Pajak yang tidak membuat faktur pajak atau membuat faktur pajak tidak tepat waktu dikenai sanksi administrasi sebesar 1% (satu persen) dari Dasar Pengenaan Pajak.”

    Contoh:
    Jika PKP menjual barang senilai Rp500 juta (belum termasuk PPN), namun lupa membuat faktur pajak, maka akan dikenakan denda 1% x Rp500 juta = Rp5 juta, di luar kewajiban menyetor PPN sebesar 11% (Rp55 juta).

    Perubahan ini menunjukkan bahwa pemerintah ingin lebih proporsional dalam memberi sanksi, namun tetap menegaskan pentingnya kepatuhan PKP.

    • PPN Tetap Harus Dibayar + Potensi Denda 100%

      Meski denda administratif 1% tampak lebih ringan, jangan lupa:
      jika DJP menemukan transaksi yang terutang PPN tapi tidak diterbitkan faktur pajak, maka PPN tersebut tetap dianggap belum dipungut dan belum disetor.

      PKP wajib menyetor PPN terutang tersebut, dan jika dianggap sengaja tidak memungut atau melaporkan, DJP dapat mengenakan tambahan denda sebesar 100% dari pajak yang kurang dibayar sesuai Pasal 14 ayat (3) UU KUP.

      • Lawan Transaksi Tidak Bisa Mengkreditkan Pajak Masukan

        Salah satu dampak nyata adalah kerugian bagi pembeli (lawan transaksi).
        Tanpa faktur pajak keluaran dari penjual, pembeli tidak bisa mengkreditkan PPN masukan di SPT Masa-nya.

        Akibatnya: hubungan bisnis bisa terganggu, pelanggan kehilangan kepercayaan, dan PKP bisa ditinggalkan rekan bisnis karena dianggap “tidak tertib administrasi”.

        • Risiko Pemeriksaan Pajak & SP2DK

          Sistem Coretax DJP kini mampu melakukan data matching otomatis antara faktur keluaran (penjual) dan faktur masukan (pembeli).
          Jika data tidak cocok, sistem akan mengeluarkan notifikasi dan bisa berujung pada SP2DK (Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan).

          Jika tidak ada klarifikasi memadai, maka PKP bisa masuk ke tahap pemeriksaan pajak formal dan menerima SKPKB (Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar).

          • Risiko Pidana (Jika Ada Unsur Kesengajaan)

            Apabila DJP membuktikan bahwa PKP sengaja tidak membuat faktur pajak untuk menghindari pajak, maka hal tersebut masuk kategori tindak pidana perpajakan sesuai Pasal 39 ayat (1) huruf d UU KUP, dengan ancaman:

            penjara paling singkat 6 bulan dan paling lama 6 tahun, dan

            denda 2 kali hingga 4 kali jumlah pajak terutang.

            Tips Agar Tidak Terkena Sanksi

            • Selalu Buat Faktur Pajak Tepat Waktu : Faktur harus diterbitkan paling lambat pada saat penyerahan BKP/JKP atau penerimaan pembayaran, mana yang lebih dahulu.
            • Gunakan Sistem e-Faktur Coretax Terbaru : Pastikan Anda menggunakan aplikasi e-Faktur yang terhubung langsung ke Coretax agar semua transaksi terekam otomatis dan mengurangi risiko lupa atau duplikasi faktur.
            • Periksa Kode Transaksi dan DPP dengan Teliti : Kesalahan pengisian kode atau nilai DPP bisa membuat faktur dianggap tidak sah atau tidak tepat waktu.
            • Segera Perbaiki Jika Lupa Membuat Faktur : Jika terlanjur, segera buat faktur susulan dan laporkan dalam masa pembetulan SPT. Lebih baik terlambat sedikit daripada tidak sama sekali.
            • Jalin Komunikasi Baik dengan Lawan Transaksi : Pastikan pelanggan menerima faktur pajak sesuai waktu transaksi agar tidak ada selisih data antara faktur keluaran dan masukan.
            • Lakukan Audit Internal Pajak Secara Berkala : Periksa setiap bulan apakah seluruh transaksi sudah diterbitkan faktur dan sudah diunggah ke sistem.

            Ilustrasi Kasus

            Misalnya:
            PT Mega Tekno (PKP) menjual laptop senilai Rp1 miliar ke PT Digisolve namun lupa membuat faktur pajak. DJP melalui sistem Coretax mendeteksi bahwa PT Digisolve melaporkan pembelian tersebut dengan membiayakan dalam laporan keuangan, sementara PT Mega Tekno tidak melaporkan faktur keluaran.

            Akibatnya:

            PPN yang seharusnya dipungut: Rp110 juta (11% dari Rp1 miliar).

            Denda administratif: 1% x Rp1 miliar = Rp10 juta.

            Total beban pajak: Rp120 juta + potensi pemeriksaan.

            Kesimpulan

            Tidak membuat faktur pajak bukan kesalahan kecil. Meskipun sanksinya kini turun menjadi 1% dari DPP sesuai UU HPP dan PER-03/PJ/2022, konsekuensinya tetap serius karena bisa berujung pada pemeriksaan, denda 100%, atau bahkan pidana jika terbukti ada unsur kesengajaan.

            Faktur pajak bukan sekadar administrasi, tapi tanda kepatuhan dan bukti transparansi usaha.
            Dengan membuat faktur pajak tepat waktu, Anda tidak hanya terhindar dari denda, tetapi juga membangun kepercayaan di mata pelanggan dan otoritas pajak.

            Pasal 3 PP 49 Tahun 2022: Barang & Jasa yang Dibebaskan dari PPN, Apa Saja?

            0
            barang yang dibebaskan ppn

            Banyak orang sering mengira bahwa semua barang dan jasa otomatis kena PPN (Pajak Pertambahan Nilai). Padahal, kenyataannya tidak selalu begitu. Ada beberapa barang dan jasa tertentu yang justru dibebaskan dari PPN oleh pemerintah.

            Hal ini diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 49 Tahun 2022, tepatnya di Pasal 3. Aturan ini penting banget buat diketahui, baik oleh masyarakat umum, pelaku usaha, maupun instansi pemerintah, supaya tidak salah hitung pajak.

            Apa Itu Pasal 3 PP 49/2022?

            Menurut Pasal 3 PP 49/2022, ada beberapa Barang Kena Pajak (BKP) tertentu yang impor atau penyerahannya dibebaskan dari PPN. Selain itu, ada juga Jasa Kena Pajak (JKP) tertentu yang masuk dalam pengecualian.

            Dengan kata lain, aturan ini hadir untuk memastikan barang-barang yang menyangkut kepentingan publik tidak semakin mahal karena beban PPN.

            Jenis Barang Kena Pajak (BKP) yang Dibebaskan

            Dalam Pasal 3 ayat (1) PP 49/2022, pemerintah menyebut tiga kategori BKP yang mendapat fasilitas bebas PPN:

            1. Vaksin untuk kepentingan nasional
              • Misalnya vaksin polio dalam rangka Pekan Imunisasi Nasional dan vaksin COVID-19.
              • Ini bentuk dukungan pemerintah untuk menjaga kesehatan masyarakat.
            2. Buku pelajaran umum, kitab suci, dan buku pelajaran agama
              • Buku pelajaran umum adalah buku pendidikan formal yang dipakai di sekolah.
              • Kitab suci semua agama juga masuk kategori bebas PPN.
              • Tujuannya: mendorong pendidikan dan meningkatkan literasi.
            3. Barang untuk penanganan bencana nasional
              • Barang yang diserahkan ke kementerian, lembaga, atau badan yang bertugas dalam penanggulangan bencana.
              • Contoh: tenda darurat, obat-obatan, peralatan medis darurat.

            Bagaimana dengan Jasa Kena Pajak (JKP) Tertentu?

            Walaupun Pasal 3 lebih menekankan pada barang, PP 49/2022 juga menyebut bahwa jasa tertentu bisa bebas PPN. Misalnya:

            • Jasa kesehatan medis (rumah sakit, klinik, dokter).
            • Jasa pendidikan formal.
            • Jasa sosial (pemakaman, keagamaan).

            Artinya, tidak semua transaksi jasa dikenakan PPN. Pemerintah memilih jasa yang bersifat pelayanan publik agar tetap terjangkau.

            Contoh Sehari-Hari

            1. Program Vaksinasi Nasional

            Jika pemerintah mengimpor vaksin COVID-19 untuk program vaksinasi gratis, impor tersebut dibebaskan dari PPN.

            2. Penjualan Buku Sekolah

            Toko buku menjual buku pelajaran untuk sekolah dasar. Karena buku ini termasuk kategori “buku pelajaran umum”, maka tidak ada tambahan PPN 11% di dalam harga jual.

            3. Bantuan Bencana

            Ada gempa bumi di suatu daerah, lalu pemerintah membeli peralatan darurat untuk korban. Barang tersebut bisa dibebaskan dari PPN karena masuk kategori penanganan bencana nasional.

            Kenapa Pemerintah Membebaskan PPN untuk Barang/Jasa Tertentu?

            Ada beberapa alasan utama:

            1. Menekan biaya kebutuhan vital → agar masyarakat tetap bisa mengakses pendidikan, kesehatan, dan bantuan bencana tanpa terbebani pajak.
            2. Mendukung program pemerintah → misalnya vaksinasi nasional, literasi, dan mitigasi bencana.
            3. Keadilan sosial → pajak tidak boleh menjadi penghalang dalam memenuhi kebutuhan dasar rakyat.

            Manfaat Bagi Masyarakat

            1. Harga lebih murah → buku sekolah tidak mahal karena bebas PPN.
            2. Layanan kesehatan terjangkau → vaksinasi bisa gratis atau lebih murah.
            3. Bantuan bencana cepat tersalurkan → tanpa terhambat administrasi pajak.

            Bagi pelaku usaha yang bergerak di bidang buku, pendidikan, atau distribusi barang bantuan, pembebasan PPN juga membantu mereka lebih kompetitif.

            Tantangan di Lapangan

            Walaupun sudah jelas diatur, tetap ada tantangan seperti:

            • Kesalahpahaman → masih ada yang tidak tahu bahwa buku pelajaran bebas PPN, sehingga ada toko yang keliru mengenakan PPN.
            • Kriteria khusus → misalnya definisi “buku pelajaran umum” harus sesuai aturan Menteri.
            • Pengawasan → harus ada kontrol agar fasilitas bebas PPN tidak disalahgunakan.

            Kesimpulan

            Pasal 3 PP 49 Tahun 2022 menegaskan bahwa tidak semua barang dan jasa kena PPN. Ada yang memang dikecualikan demi kepentingan masyarakat luas, yaitu:

            • Vaksin nasional,
            • Buku pelajaran & kitab suci,
            • Barang untuk penanganan bencana nasional,
            • Ditambah beberapa jasa vital seperti kesehatan, pendidikan, dan sosial.

            Dengan memahami aturan ini, masyarakat dan pelaku usaha bisa lebih tenang: tidak semua transaksi harus menanggung beban PPN.

            Sumbangan & Biaya Pembangunan Infrastruktur: Beban Pajak Lebih Ringan, Bisnis Jadi Lebih Bermakna

            0
            sumbangan bencana nasional sebagai pengurang penghasilan

            Bayangkan sebuah perusahaan besar di kota Anda. Setiap tahun, mereka tidak hanya fokus mencari keuntungan, tapi juga ikut membangun jalan desa, merenovasi sekolah, hingga membantu korban bencana alam.

            Pertanyaan muncul: Apakah biaya sosial seperti ini bisa diakui sebagai pengurang pajak?
            Jawabannya: Ya, bisa! Dengan catatan sesuai aturan yang berlaku.

            Di Indonesia, pemerintah telah memberi ruang melalui UU No. 36 Tahun 2008, PP No. 93 Tahun 2010, dan PMK No. 76/PMK.03/2011 agar sumbangan tertentu dan biaya pembangunan infrastruktur sosial bisa dikurangkan dari penghasilan bruto.

            Dasar Hukum

            1. Pasal 6 UU PPh (UU No. 36 Tahun 2008) → mengatur biaya yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto.
            2. PP No. 93 Tahun 2010 → secara khusus mengatur sumbangan yang bisa menjadi pengurang pajak.
            3. PMK No. 76/PMK.03/2011 → mengatur tata cara pencatatan, pelaporan, dan batasan pengurangannya.

            Apa Itu Sumbangan dalam Konteks Pajak?

            Sumbangan di sini bukan sekadar amal biasa. Dalam konteks perpajakan, yang dimaksud adalah pemberian bantuan oleh Wajib Pajak (WP) yang secara tegas ditujukan untuk:

            • Penanggulangan bencana nasional.
            • Penelitian dan pengembangan di Indonesia.
            • Fasilitas pendidikan.
            • Pembinaan olahraga.
            • Biaya pembangunan infrastruktur sosial (jalan umum, poliklinik, rumah ibadah, sanggar budaya, dll).

            Berapa Besar yang Bisa Dikurangkan?

            Ada batas maksimal. Menurut Pasal 3 PP 93 Tahun 2010, nilai sumbangan dan/atau biaya pembangunan infrastruktur sosial yang bisa dikurangkan dari penghasilan bruto adalah maksimal 5% dari Penghasilan Neto Fiskal tahun pajak sebelumnya.

            Kapan Dibebankan?

            • Sumbangan biasa (bencana, pendidikan, riset, olahraga): dikurangkan di tahun pajak saat sumbangan diserahkan.
            • Biaya pembangunan infrastruktur sosial: dikurangkan di tahun pajak saat infrastruktur sudah bisa dimanfaatkan.

            Jika pembangunan berlangsung lebih dari 1 tahun, biaya tetap dibebankan sekaligus saat infrastruktur selesai dan mulai digunakanSumbangan Biaya Pembangunan Inf….

            Syarat Agar Bisa Menjadi Pengurang Pajak

            Tidak semua sumbangan otomatis bisa jadi pengurang pajak. Ada beberapa syarat pentingSumbangan Biaya Pembangunan Inf…:

            1. Wajib Pajak memiliki penghasilan neto fiskal dari SPT Tahun sebelumnya.
            2. Pemberian sumbangan tidak boleh membuat WP menjadi rugi.
            3. Harus ada bukti yang sah (kwitansi/nota resmi).
            4. Lembaga penerima sumbangan wajib punya NPWP (kecuali lembaga yang memang dikecualikan dari subjek pajak).
            5. Tidak diberikan kepada pihak yang punya hubungan istimewa (afiliasi) dengan pemberi sumbangan.

            Bentuk Sumbangan yang Diakui

            • Uang tunai.
            • Barang, yang nilainya ditentukan berdasarkan:
              • Nilai perolehan (jika belum disusutkan).
              • Nilai buku fiskal (jika sudah disusutkan).
              • Harga pokok penjualan (jika barang hasil produksi sendiri).

            Untuk biaya pembangunan infrastruktur sosial, bentuknya hanya berupa sarana/prasarana (misalnya bangun klinik, sekolah, atau rumah ibadah)Sumbangan Biaya Pembangunan Inf….

            Kewajiban Pemberi Sumbangan

            • Melampirkan bukti penerimaan sumbangan dalam SPT Tahunan PPh.
            • Mencatat sumbangan sesuai peruntukan.
            • Memastikan lembaga penerima melaporkan kembali ke DJP (untuk bencana, riset, pendidikan, olahraga, dan infrastruktur sosial)Sumbangan Biaya Pembangunan Inf….

            Contoh Kasus

            PT Maju Jaya memiliki Penghasilan Neto Fiskal tahun 2024 sebesar Rp20 miliar.
            Pada 2025, perusahaan ini membangun sebuah poliklinik untuk masyarakat dengan biaya Rp1,5 miliar.

            • Batas sumbangan yang boleh diakui = 5% × Rp20 miliar = Rp1 miliar.
            • Walaupun biaya riil Rp1,5 miliar, yang bisa diakui sebagai pengurang penghasilan bruto hanya Rp1 miliar.
            • Sisanya Rp500 juta tidak bisa diakui secara fiskal.

            Manfaat untuk Perusahaan

            1. Meringankan beban pajak → karena biaya bisa jadi pengurang penghasilan bruto.
            2. Citra positif perusahaan → aktif membangun masyarakat dan lingkungan.
            3. Sinergi bisnis & sosial → usaha tetap untung, masyarakat juga mendapat manfaat.

            Kesimpulan

            Sumbangan dan biaya pembangunan infrastruktur bukan hanya amal, tapi juga strategi fiskal yang sah. Dengan memenuhi aturan UU PPh, PP 93/2010, dan PMK 76/2011, perusahaan bisa mengurangi beban pajak sekaligus memberikan manfaat nyata bagi masyarakat.

            Ini bukti nyata bahwa pajak bukan sekadar kewajiban, tapi juga bisa menjadi sarana gotong royong untuk pembangunan bangsa.

            Restitusi Cepat, Risiko Juga Melekat! Mengupas Untung-Rugi Pengembalian Pendahuluan Pajak

            0
            restitusi pajak
            restitusi pajak

            Bagi banyak wajib pajak, terutama pengusaha besar maupun eksportir, istilah restitusi pajak sudah tidak asing lagi. Restitusi artinya pemerintah mengembalikan kelebihan pembayaran pajak yang sebelumnya sudah disetor oleh wajib pajak.

            Namun, proses restitusi normal sering dianggap panjang dan berbelit karena harus melewati pemeriksaan mendalam. Untuk mengatasi itu, pemerintah memberikan fasilitas Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak (Restitusi Dipercepat).

            Di satu sisi, metode ini adalah angin segar karena wajib pajak bisa mendapat uangnya kembali lebih cepat. Tapi, di sisi lain, ada risiko besar jika data yang diajukan tidak akurat. Mari kita bedah apa saja risiko dan kelebihannya.

            Apa Itu Pengembalian Pendahuluan Restitusi?

            Secara sederhana, pengembalian pendahuluan adalah mekanisme di mana DJP mengembalikan kelebihan pembayaran pajak lebih dulu tanpa pemeriksaan panjang. Pemeriksaan tetap bisa dilakukan, tapi dilakukan setelah restitusi dicairkan.

            Dasar hukumnya antara lain:

            • UU KUP (Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan)
            • PMK 39/2018 jo. PMK 209/2021 tentang Tata Cara Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak

            📌 Fasilitas ini berlaku bagi wajib pajak dengan kriteria tertentu, misalnya:

            • Wajib Pajak Patuh
            • Pengusaha Kena Pajak (PKP) tertentu seperti eksportir berisiko rendah

            Kelebihan Menggunakan Pengembalian Pendahuluan

            1. Dana Segar Lebih Cepat

            Proses restitusi normal bisa memakan waktu 12 bulan atau lebih. Dengan pengembalian pendahuluan, wajib pajak bisa menerima pengembalian hanya dalam waktu 1 bulan setelah permohonan dianggap lengkap.

            👉 Bagi pengusaha, percepatan ini bisa sangat membantu cashflow.

            2. Mengurangi Beban Administrasi

            Karena tidak langsung diperiksa detail, beban administrasi di awal jadi lebih ringan. Wajib pajak cukup memastikan dokumen dasar lengkap.

            3. Meningkatkan Likuiditas Usaha

            Dana pajak yang kembali lebih cepat bisa dipakai untuk modal kerja, bayar supplier, gaji karyawan, atau investasi lain.

            4. Memberi Kepastian Bisnis

            Dengan uang kembali lebih cepat, perusahaan bisa menyusun rencana bisnis dengan lebih baik tanpa menunggu lama.

            Risiko dari Pengembalian Pendahuluan

            1. Pemeriksaan Tetap Bisa Dilakukan

            Walaupun uang sudah dikembalikan, DJP berhak melakukan pemeriksaan setelahnya. Jika ditemukan data tidak valid, wajib pajak harus mengembalikan dana restitusi ditambah sanksi bunga/denda.

            2. Risiko Denda Lebih Besar

            Kalau dalam pemeriksaan ditemukan kesalahan signifikan, selain harus mengembalikan dana, wajib pajak juga bisa dikenai sanksi administrasi hingga 100% dari jumlah pajak yang kurang bayar.

            3. Seleksi Wajib Pajak Patuh

            Tidak semua wajib pajak bisa menikmati fasilitas ini. Hanya wajib pajak dengan track record baik yang bisa mengajukan. Jika reputasi pajak Anda buruk, permohonan bisa ditolak.

            4. Beban Moral & Kepatuhan

            Bagi yang memanfaatkan fasilitas ini, harus ada komitmen tinggi untuk melaporkan pajak dengan benar. Jika tidak, justru berisiko diperiksa lebih ketat di masa depan.

            Contoh Kasus

            Kasus 1: Restitusi PPN Ekspor

            PT XYZ melakukan ekspor dan mengajukan restitusi PPN Rp5 miliar. Karena masuk kategori PKP berisiko rendah, restitusi diberikan cepat dalam 1 bulan. Namun, 6 bulan kemudian dilakukan pemeriksaan, ternyata ada faktur pajak masukan fiktif Rp1 miliar. Akhirnya PT XYZ harus mengembalikan Rp1 miliar + denda.

            Kasus 2: Wajib Pajak Patuh

            PT ABC rutin melaporkan SPT dengan benar. Saat ada kelebihan bayar Rp500 juta, mereka ajukan pengembalian pendahuluan. Restitusi cair cepat, dan setelah diperiksa 8 bulan kemudian, tidak ditemukan kesalahan. Hasilnya, PT ABC benar-benar untung karena tidak perlu menunggu lama.

            Tips Mengajukan Pengembalian Pendahuluan Restitusi

            1. Pastikan status wajib pajak patuh
              • Tidak punya tunggakan pajak.
              • SPT disampaikan tepat waktu 3 tahun terakhir.
              • Tidak pernah dipidana pajak.
            2. Gunakan dokumen valid
              • Faktur pajak asli.
              • Bukti potong sah.
              • Pembukuan rapi.
            3. Siapkan diri untuk pemeriksaan lanjutan
              • Anggap saja restitusi cepat itu “pinjaman sementara” sampai DJP memastikan semuanya benar.
            4. Konsultasi dengan Account Representative (AR)
              • Jika ragu, diskusikan dengan AR di KPP agar permohonan tidak salah langkah.

            Kesimpulan

            Pengembalian Pendahuluan Restitusi adalah fasilitas luar biasa yang memberi wajib pajak kesempatan mendapat dana lebih cepat tanpa menunggu pemeriksaan panjang.

            👉 Kelebihannya: cashflow lancar, dana segar cepat kembali, administrasi lebih ringan, dan bisnis lebih pasti.
            👉 Risikonya: pemeriksaan tetap bisa dilakukan, potensi denda besar jika ada kesalahan, dan hanya wajib pajak patuh yang bisa menikmatinya.

            Dengan kata lain, fasilitas ini adalah “pisau bermata dua”. Jika digunakan dengan benar, ia jadi solusi keuangan yang hebat. Tapi kalau disalahgunakan, justru bisa jadi masalah besar.

            Saat Terutang PPh Pasal 23: Panduan Lengkap Berdasarkan PP 94 Tahun 2010

            0
            saat terutang pph pasal 23

            Bayangkan Anda adalah seorang pengusaha yang baru saja membayar jasa konsultan untuk laporan keuangan perusahaan. Di akhir transaksi, konsultan mengirimkan tagihan dan berkata:

            “Jangan lupa ya Pak, PPh 23-nya dipotong.”

            Mungkin Anda langsung berpikir, “Memotongnya kapan ya? Saat saya bayar jasanya, atau saat saya menerima faktur?”

            Inilah yang sering membingungkan banyak wajib pajak. Untuk menjawabnya, kita perlu merujuk ke Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010, khususnya Pasal 15, yang secara tegas mengatur saat terutang Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23.

            Apa Itu PPh Pasal 23?

            Sebelum masuk ke inti, mari segarkan ingatan kita.

            PPh Pasal 23 adalah pajak yang dipotong atas penghasilan yang diterima atau diperoleh wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap (BUT) dari modal, jasa, atau hadiah/penghargaan.

            Contoh transaksi yang dikenai PPh 23 antara lain:

            • Dividen.
            • Bunga.
            • Royalti.
            • Hadiah/penghargaan.
            • Imbalan jasa tertentu (misalnya jasa teknik, manajemen, konsultan).

            Pemotong pajak biasanya adalah pihak pemberi penghasilan (misalnya perusahaan yang membayar jasa).

            Dasar Hukum: PP 94 Tahun 2010

            PP Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan memberikan dasar aturan pelaksanaan dari UU PPh.

            Khusus mengenai saat terutang PPh Pasal 23, hal ini diatur dalam Pasal 15 PP 94/2010.

            Kapan Saat Terutang PPh Pasal 23?

            Menurut Pasal 15 PP No. 94 Tahun 2010, saat terutangnya PPh Pasal 23 adalah pada akhir bulan dilakukannya pembayaran atau pada akhir bulan terutangnya penghasilan yang bersangkutan, mana yang lebih dahulu terjadi.

            Dengan kata lain, ada dua momen penting:

            1. Saat dilakukan pembayaran (misalnya saat transfer ke penerima jasa).
            2. Saat terutang penghasilan (misalnya saat jasa selesai diberikan atau ketika faktur/nota sudah diterbitkan, walaupun belum dibayar).

            Yang dipakai adalah mana yang lebih dahulu dari keduanya.

            Ilustrasi Kasus Sederhana

            Kasus 1: Dibayar Lebih Dulu

            • PT ABC menggunakan jasa konsultan pada 10 Mei 2025.
            • Pembayaran dilakukan tanggal 20 Mei 2025.

            ➡ Saat terutang PPh 23 = Mei 2025 (karena pembayaran lebih dulu).

            Kasus 2: Jasa Selesai Dulu, Dibayar Belakangan

            • PT XYZ menerima jasa teknis pada 15 Juli 2025.
            • Pembayaran baru dilakukan pada 5 Agustus 2025.

            ➡ Saat terutang PPh 23 = Juli 2025 (karena penghasilan sudah terutang sebelum pembayaran).

            Kasus 3: Faktur Diterbitkan, Pembayaran Belum Dilakukan

            • Jasa selesai 25 September 2025, faktur diterbitkan di tanggal yang sama.
            • Pembayaran dilakukan 10 Oktober 2025.

            ➡ Saat terutang PPh 23 = September 2025 (karena penghasilan terutang di bulan tersebut, meskipun uang belum dibayar).

            Kenapa Hal Ini Penting?

            Memahami saat terutang PPh 23 itu sangat penting karena:

            1. Menentukan periode pemotongan → pajak harus dipotong di bulan saat terutang, bukan menunggu dibayar.
            2. Menghindari sanksi → jika salah waktu potong atau telat setor, ada denda administrasi dan bunga.
            3. Kepatuhan administrasi → memastikan laporan SPT Masa PPh 23 sesuai periode yang benar.

            Tips Agar Tidak Salah Memotong PPh 23

            • Selalu cek tanggal faktur, BAST (Berita Acara Serah Terima), atau kontrak jasa.
            • Gunakan prinsip “mana yang lebih dulu”: pembayaran vs penghasilan terutang.
            • Catat transaksi secara detail agar tidak keliru menentukan bulan pajak.
            • Jika ragu, konsultasikan dengan konsultan pajak atau cek ulang ke KPP terdekat.

            Kesimpulan

            Menurut Pasal 15 PP No. 94 Tahun 2010, saat terutang PPh Pasal 23 terjadi pada akhir bulan pembayaran atau akhir bulan penghasilan terutang, mana yang lebih dahulu.

            Aturan ini menegaskan bahwa pemotongan PPh 23 tidak selalu menunggu pembayaran, tetapi bisa lebih awal jika penghasilan sudah terutang.

            Dengan memahami aturan ini, Anda bisa menghindari salah lapor, keterlambatan setor, dan sanksi perpajakan.

            Langkah Praktis: Mengajukan Permohonan KSWP Lewat Coretax

            0
            permohonan status KSWP

            Suatu siang, Budi hendak mengurus izin usaha barunya. Semua dokumen persyaratan sudah lengkap: akta, identitas, rencana usaha. Namun petugas izin berkata, “Tunggu sebentar, kami harus cek status pajak Anda dulu melalui aplikasi pajak nasional.”

            Budi agak bimbang — “Harus bagaimana sih caranya supaya status pajak saya bisa ‘valid’? Apa itu KSWP? Dan apakah benar, sekarang lewat Coretax bisa langsung diajukan online?”

            Nah, kisah Budi ini umum terjadi. Sekarang, permohonan KSWP (Konfirmasi Status Wajib Pajak) bisa diajukan melalui aplikasi digital Coretax, tanpa harus ke kantor pajak. Saya akan menemani Anda langkah demi langkah agar prosesnya lancar, tanpa stres, dan dengan hasil Surat Keterangan KSWP yang sah.

            Mengapa Sekarang di Coretax?

            Sebelumnya, layanan Info KSWP bisa diakses lewat DJP Online. Mulai 2025, layanan ini telah dipindahkan ke Coretax DJP, agar integrasi administrasi makin kuat dan pengguna pajak semakin mudah.

            Melalui Coretax, login, permohonan, penandatanganan elektronik, hingga unduhan surat bisa dilakukan dalam satu aplikasi. Tidak perlu bolak-balik kantor pajak.

            Persiapan Sebelum Mengajukan

            Sebelum Anda masuk ke aplikasi Coretax dan mulai klik sana-sini, berikut poin penting yang harus Anda pastikan:

            1. Data identitas Wajib Pajak sudah benar dan konsisten
              Nama, NPWP, alamat, dan detail lainnya di Coretax harus sesuai dengan data di sistem DJP agar tidak muncul error status “tidak valid.”
            2. Sudah menyampaikan SPT Tahunan PPh
              KSWP bisa valid hanya jika Anda telah melaporkan SPT Tahunan untuk dua tahun pajak terakhir sesuai ketentuan.
            3. NPWP aktif
              Pastikan NPWP Anda dalam status aktif, bukan nonaktif atau dibekukan.
            4. Akses ke akun Coretax
              Anda harus memiliki akun Coretax dan sudah bisa login menggunakan NIK/NPWP + kata sandi + captcha.

            Jika semua hal di atas sudah siap, mari kita masuk ke langkah-langkah praktisnya.

            Langkah-langkah Mengajukan KSWP di Coretax

            Berikut urutan langkah yang diikuti banyak wajib pajak (berikut tips agar tidak salah):

            1. Login ke Coretax DJP
              Gunakan NIK/NPWP dan kata sandi Anda untuk masuk ke sistem. Sistem akan menampilkan dashboard utama.
            2. Pilih Peran (Role Access)
              Jika Anda mengajukan sendiri untuk pribadi, pastikan role Anda adalah sebagai wajib pajak sendiri (jangan memilih role kuasa atau badan jika tidak dibutuhkan).
            3. Menu Layanan Wajib Pajak → Buat Permohonan Layanan Administrasi
              Dari menu utama, pilih Layanan Wajib Pajak, lalu klik Buat Permohonan Layanan Administrasi.
            4. Pilih Layanan AS.01 – Sub-layanan KSWP (AS.01-02)
              • Pada jenis pelayanan, pilih AS.01 Pemenuhan Kewajiban Perpajakan
              • Kemudian pilih AS.01-02 Konfirmasi Status Wajib Pajak (KSWP)
              • Klik “Simpan” atau “Next” untuk lanjut ke formulir pengajuan.
            5. Isi Form “Alur Kasus / Detail Umum Permohonan”
              Di bagian ini sistem secara otomatis akan memunculkan kolom-kolom data umum (pre-fill). Anda harus melengkapi data spesifik seperti:
              • Nama instansi pemerintah pemberi layanan publik
              • Nama jenis layanan publik yang akan Anda ajukan
              • Tahun permohonan
              • Kota / Kabupaten tempat formulir ditandatangani
                Pastikan semua kolom bertanda (*) diisi dengan benar. Klik “Simpan.”
            6. Verifikasi Status Pajak (Tax Clearance Status)
              Setelah “Alur Kasus”, Anda akan melihat bagian Taxpayer Tax Clearance Status, yang menunjukkan:
              • Apakah Anda telah melaporkan SPT dua tahun terakhir
              • Apakah NPWP Anda aktif
                Jika belum muncul, ada tombol Refresh agar data dari sistem DJP diperbarui.
            7. Buat Dokumen Permohonan (Create PDF)
              Klik tombol Create PDF untuk membuat formulir resmi permohonan. Akan muncul pop-up dengan field isian (sering disebut “dokumen keluar”). Isilah semua kolom yang bertanda bintang (*). Kemudian klik “Simpan”.
            8. Tanda Tangan Elektronik (Sign)
              Setelah dokumen siap, Anda harus menandatanganinya dengan cara:
              • Klik tombol Sign
              • Sistem akan meminta Kode Otorisasi DJP atau menggunakan sertifikat digital yang Anda miliki
              • Setelah berhasil ditandatangani, klik “Simpan”.
            9. Kirim Permohonan (Submit)
              Setelah dokumen ditandatangani, klik tombol Submit. Sistem kemudian akan memproses permohonan Anda.
            10. Unduh Dokumen KSWP & Selesaikan Kasus
              Jika pengajuan berhasil, akan muncul tombol Download untuk mengunduh Surat Keterangan Status Wajib Pajak (KSWP). Setelah itu, klik Lanjut atau Tutup Kasus.

            Tips Supaya Pengajuan Lancar dan Tidak Ditolak

            • Pastikan data identitas Anda (nama, NPWP, alamat) di Coretax sudah cocok dengan data di DJP, agar tidak terjadi penolakan status.
            • Laporkan SPT Tahunan PPh tepat waktu untuk dua tahun terakhir agar status Anda bisa dinyatakan “valid.”
            • Gunakan sertifikat digital atau kode otorisasi DJP yang aktif agar penandatanganan elektronik diterima sistem.
            • Jika status belum muncul, gunakan tombol Refresh di bagian Tax Clearance Status agar sistem memperbarui data otomatis.
            • Ingat, pengajuan KSWP di Coretax bersifat satu instansi layanan publik per permohonan. Jika Anda butuh KSWP untuk lebih dari satu instansi (misalnya izin usaha di kota A dan izin lingkungan di kota B), Anda perlu membuat permohonan baru dengan instansi tujuan yang berbeda.

            Dengan mengikuti langkah-langkah di atas dan memperhatikan tipsnya, Budi — dan Anda — dapat memperoleh Surat Keterangan KSWP tanpa harus bolak-balik ke kantor pajak. Semua cukup dilakukan lewat layar laptop atau ponsel, dari mana saja.

            Tarik Napas Lega: Begini Cara KSWP Membuka Gerbang Izin Usaha Anda

            0
            status kswp valid

            Awal Kisah: Ketika Perizinan Tersendat Karena Pajak

            Suatu pagi, Rina, pemilik usaha kuliner kecil, mengurus izin operasional ke dinas setempat. Dokumen lengkap sudah dibawa, persyaratan terpenuhi… tapi saat antrian hampir selesai, petugas berkata:

            “Maaf Mbak, kami harus cek status pajak dulu. Nanti kami minta status valid dari pajak.”

            Rina terdiam. “Status pajak? Saya sudah lapor SPT setiap tahun kok,” pikirnya.

            Ternyata, kasus seperti Rina bukanlah langka. Di balik layanan publik—izin usaha, IMB, sertifikat, dan sejenisnya—ada mekanisme pemeriksaan baru: Konfirmasi Status Wajib Pajak (KSWP). Jika statusnya tidak “valid”, layanan publik tidak bisa langsung diberikan.

            Lalu, apa itu KSWP? Bagaimana prosesnya? Apa syaratnya? Mari kita telusuri bersama.

            Apa Itu KSWP?

            Menurut Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-43/PJ/2015, KSWP (Konfirmasi Status Wajib Pajak) adalah kegiatan yang dilakukan oleh Instansi Pemerintah sebelum memberikan layanan publik tertentu untuk memperoleh Keterangan Status Wajib Pajak.

            Sementara itu, Keterangan Status Wajib Pajak adalah hasil informasi dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang menyatakan apakah wajib pajak tersebut dalam status “valid” atau “tidak valid”.

            Dengan kata lain:

            Instansi pemerintah, sebelum memberikan izin atau layanan tertentu kepada seseorang/badan, harus “bertanya” ke DJP: “Apakah yang akan dilayani ini wajib pajak yang sudah tertib?”

            Hanya jika statusnya valid, layanan publik dapat diteruskan.

            Landasan Hukum & Latar Belakang

            Peraturan ini muncul sebagai bagian dari upaya pemerintah memperkuat pengawasan dan integritas penyelenggaraan layanan publik, agar tidak ada penerima izin publik yang “lewat” tanpa kewajiban pajak yang jelas.

            Beberapa faktor yang melandasi penerapan KSWP:

            1. Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2015 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi, yang mendorong transparansi dan ketertiban administrasi publik.
            2. Kebutuhan harmonisasi regulasi agar instansi pemerintah tidak memberi layanan tanpa memastikan status pajak.
            3. Perkembangan teknologi informasi yang memungkinkan instansi-instansi publik saling “berkomunikasi” dengan DJP melalui sistem informasi.

            PER-43/PJ/2015 mulai berlaku sejak ditetapkan pada 15 Desember 2015.

            Bagaimana KSWP Bekerja: Alur & Mekanisme

            Mari kita bayangkan kisah Rina kembali, dan ikuti langkah proses KSWP.

            1. Permohonan Layanan Publik & KSWP

            Saat Rina mengajukan izin usaha, instansi pemerintah memulai proses KSWP: mereka akan meminta Keterangan Status Wajib Pajak dari DJP.

            2. Saluran Konfirmasi

            Konfirmasi status ini bisa dilakukan dengan dua cara:

            • Sistem informasi instansi pemerintah yang terhubung ke sistem DJP (API atau integrasi data)
            • Aplikasi yang disediakan DJP (seperti modul administrasi layanan)

            3. Penentuan Status: Valid atau Tidak Valid

            DJP akan memberikan Keterangan Status Wajib Pajak yang memuat status:

            • Valid, jika dua syarat terpenuhi:
              1. Nama wajib pajak dan NPWP sesuai data sistem DJP
              2. Telah menyampaikan SPT Tahunan PPh selama dua tahun pajak terakhir sesuai kewajiban
            • Tidak Valid, jika syarat di atas tidak terpenuhi

            Jika status valid, instansi pemerintah dapat melanjutkan pemberian layanan publik. Jika tidak, pengajuan layanan tidak bisa langsung diproses.

            4. Bila Konfirmasi Gagal

            Ada situasi di mana instansi pemerintah tidak bisa langsung melakukan konfirmasi (misalnya sistem belum terkoneksi). Dalam kasus itu, wajib pajak harus mengajukan permohonan Keterangan Status Wajib Pajak ke KPP.

            Permohonan diajukan ke KPP yang wilayahnya meliputi lokasi instansi pemerintah yang memberikan layanan atau KPP tempat wajib pajak terdaftar.

            5. Proses di KPP & Waktu Pemberian

            Setelah permohonan diterima lengkap, KPP meneliti dan memberi status valid (jika syarat terpenuhi) paling lama 1 (satu) hari kerja.

            Jika permohonan tidak memenuhi syarat, KPP akan mengembalikannya dengan pemberitahuan bahwa status tidak valid.

            6. Pemanfaatan Status

            Setelah status diberi (valid atau tidak), instansi pemerintah menggunakan status tersebut sebagai dasar untuk memutuskan apakah layanan publik dapat diteruskan atau ditolak.

            Instansi pemerintah juga dapat mengembangkan sistem mereka agar KSWP dapat berlangsung otomatis dan terintegrasi.

            Cerita Pilihan: Hidupkan Narasi Wajib Pajak

            Mari kita bawa cerita:

            Ani ingin mendirikan cabang usaha kecil di daerah baru. Untuk itu, dia harus mengurus izin lingkungan dan izin usaha di dinas setempat. Dengan penuh harap, Ani menyerahkan dokumen lengkap. Namun, petugas mengatakan:

            “Mohon maaf, kami belum bisa proses izin karena status KSWP Anda belum valid…”

            Ani terkejut. Dia pikir selama ini rajin lapor SPT, kenapa statusnya dianggap tidak valid?

            Ternyata saat dicek, nama di sistem DJP tertulis lengkap “Ani H.” sedangkan Ani mengajukan dengan nama “Ani Hasna.” Perbedaan sedikit dalam penulisan nama membuat sistem menolak. Juga, ditemukan bahwa Ani belum menyampaikan SPT PPh 2 tahun terakhir karena lupa.

            Ani buru-buru membuat permohonan KSWP ke KPP, melengkapi data nama dan laporan SPT. Dalam satu hari kerja, statusnya diperbarui menjadi valid. Akhirnya izinnya bisa diterbitkan.

            Moralnya: ketelitian kecil dan kepatuhan pajak dua tahun terakhir sangat menentukan apakah KSWP berhasil atau tidak.

            Manfaat & Dampak KSWP

            • Meningkatkan kepatuhan pajak
              Instansi publik hanya melayani mereka yang status perpajaknya jelas dan tertib.
            • Mengurangi penyalahgunaan izin publik
              Tidak ada pihak yang bisa mendapatkan izin kalau status pajaknya ambigu atau tidak tertib.
            • Integrasi data pemerintah
              Sistem instansi publik dan DJP saling terhubung, mempercepat pemeriksaan administratif.
            • Kepastian hukum dan transparansi
              Wajib pajak tahu syaratnya jelas, instansi publik punya landasan menolak layanan jika syarat tidak terpenuhi.

            Catatan – Tantangan & Tips Bagi Wajib Pajak

            1. Periksa konsistensi data nama & NPWP
              Pastikan nama, alamat, dan data identitas di aplikasi izin sama persis dengan data di sistem DJP.
            2. Lapor SPT Tahunan tepat waktu
              Jika Anda terlambat melaporkan SPT dua tahun berturut-turut, status KSWP kemungkinan tidak valid.
            3. Cek status KSWP sendiri terlebih dahulu
              Sebelum Anda pergi ke dinas, akses menu administrasi di portal pajak (misalnya Coretax atau DJP Online) untuk melihat status.
            4. Ajukan permohonan ke KPP jika diperlukan
              Jika sistem instansi publik tidak bisa melakukan konfirmasi, ajukan langsung ke KPP tempat Anda terdaftar.
            5. Gunakan sistem elektronik & tanda tangan digital dengan hati-hati
              Formulir permohonan KSWP harus ditandatangani sesuai ketentuan elektronik agar sah.