Jumat, Agustus 29, 2025
20.1 C
Indonesia
Beranda blog

PNS, TNI/Polri, dan Karyawan Jangan Sampaikan SPT Tahunan dengan Status Lebih Bayar

0
spt tahunan pph op lebih bayar
spt tahunan pph op lebih bayar

Pendahuluan

Setiap Wajib Pajak orang pribadi, baik yang berprofesi sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), anggota TNI/Polri, maupun karyawan swasta, memiliki kewajiban untuk menyampaikan SPT Tahunan. Proses ini terlihat sederhana: ambil bukti potong dari bendahara atau perusahaan, lalu isi di DJP Online atau Coretax.

Namun, ada catatan penting: jangan sampai SPT Tahunan Anda berstatus Lebih Bayar. Bagi PNS, TNI/Polri, maupun karyawan, status lebih bayar bisa menimbulkan kerumitan yang sebenarnya tidak perlu terjadi.

Apa Itu Lebih Bayar?

Lebih Bayar adalah kondisi ketika jumlah pajak yang dipotong/ disetor ke negara lebih besar daripada pajak yang sebenarnya terutang. Secara aturan, Wajib Pajak berhak meminta pengembalian kelebihan itu (restitusi).

Tetapi bagi kelompok PNS, TNI/Polri, maupun karyawan, kondisi lebih bayar tidak relevan dan seharusnya tidak muncul dalam SPT Tahunan.

Kenapa Jangan Sampai SPT Lebih Bayar?

1. Untuk Karyawan Swasta

Jika dalam pengisian SPT ditemukan adanya nilai lebih bayar, maka yang bertanggung jawab menyelesaikan adalah perusahaan pemberi kerja. Mekanismenya dilakukan melalui pembetulan bukti potong PPh 21 (Formulir 1721 A1).

Artinya, karyawan tidak perlu melaporkan SPT dengan status lebih bayar. Setelah perusahaan melakukan koreksi dan mengembalikan nilai lebih bayar jika memang ada, maka karyawan melaporkan SPT tahunan dengan status Nihil.

Hal ini penting agar karyawan tidak terbebani pemeriksaan pajak yang sebenarnya bukan tanggung jawabnya.

2. Untuk PNS dan TNI/Polri

Berdasarkan PER-11 Tahun 2025, PPh Pasal 21 atas penghasilan PNS, anggota TNI, dan Polri ditanggung pemerintah. Dengan demikian, tidak ada kondisi lebih bayar ataupun kurang bayar.

Oleh karena itu, SPT Tahunan PNS dan TNI/Polri harus selalu Nihil. Semua perhitungan potong, setor, dan lapor sudah diselesaikan oleh bendahara instansi.

Ilustrasi Kasus

Kasus Karyawan Swasta

Bu Sinta, seorang karyawan, menerima bukti potong dari perusahaannya. Saat mengisi SPT, muncul status lebih bayar Rp750 ribu. Setelah dicek, ternyata perusahaan salah input potongan PPh 21. Dalam kondisi ini, perusahaanlah yang wajib memperbaiki bukti potong. Setelah diperbaiki, SPT Bu Sinta kembali Nihil.

Kasus PNS

Pak Andi, seorang PNS golongan III, menerima bukti potong A2 dari bendahara. Berdasarkan PER-11 Tahun 2025, PPh 21-nya sudah ditanggung pemerintah. Maka, saat melaporkan SPT, status otomatis Nihil tanpa ada kelebihan atau kekurangan bayar.

Tips Agar Tidak Salah Saat Lapor

  1. Gunakan bukti potong resmi:
    • Karyawan swasta → Formulir 1721 A1.
    • PNS/TNI/Polri → Formulir 1721 A2.
  2. Salin sesuai bukti potong. Jangan ubah angka sesuka hati, agar tidak muncul status lebih bayar.
  3. Pastikan hasil akhir Nihil.
    • Untuk karyawan: jika lebih bayar, koordinasi dengan perusahaan agar bukti potong diperbaiki.
    • Untuk PNS/TNI/Polri: selalu Nihil karena sudah ditanggung pemerintah.
  4. Konsultasi bila ragu. Gunakan layanan KPP atau call center pajak agar lebih yakin sebelum submit.

Penutup

Bagi PNS, TNI/Polri, dan karyawan, SPT Tahunan seharusnya selalu Nihil.

  • Karyawan swasta: jika muncul lebih bayar, itu adalah tanggung jawab perusahaan untuk menyelesaikan melalui koreksi bukti potong.
  • PNS dan TNI/Polri: berdasarkan PER-11 Tahun 2025, PPh 21 sudah ditanggung pemerintah, sehingga laporan SPT wajib Nihil.

Jangan sampai status lebih bayar justru membuat Anda dipanggil pemeriksaan atau repot mengurus sesuatu yang bukan kewenangan pribadi. Pastikan laporan benar sejak awal, dan selesaikan melalui jalur yang tepat.

Dengan memahami aturan ini, kita bisa melaporkan SPT Tahunan dengan tenang, tanpa rasa waswas, dan tentu saja tetap patuh sebagai Wajib Pajak yang baik.

NPWP Non Efektif dan Penghapusan NPWP: Apa Bedanya dan Bagaimana Cara Mengurusnya?

0
penghapusan npwp dan npwp non efektif
penghapusan npwp dan npwp non efektif

Pendahuluan

Banyak Wajib Pajak di Indonesia sering merasa bingung dengan status NPWP mereka. Ada yang sudah tidak bekerja, sudah pindah ke luar negeri, atau usahanya sudah tutup, tapi masih punya Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).

Pertanyaannya:

  • “Kalau sudah tidak punya penghasilan, apakah masih wajib lapor pajak?”
  • “Kalau NPWP tidak dipakai, apakah bisa dihapus?”
  • “Apa bedanya NPWP Non Efektif dan Penghapusan NPWP?”

Nah, artikel ini akan membahas secara sederhana dan humanis mengenai NPWP Non Efektif serta Penghapusan NPWP, lengkap dengan cara mengurusnya.


Apa Itu NPWP?

Sebelum masuk ke topik utama, mari kita ingat dulu. NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak) adalah identitas resmi bagi Wajib Pajak untuk melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan.

Artinya, selama seseorang memiliki NPWP, ia wajib lapor SPT Tahunan, meskipun tidak ada penghasilan atau nol pajak terutang.

Tapi, bagaimana jika sudah tidak punya penghasilan sama sekali atau sudah tidak tinggal di Indonesia? Nah, di sinilah muncul istilah NPWP Non Efektif dan Penghapusan NPWP.


Apa Itu NPWP Non Efektif?

NPWP Non Efektif (NE) adalah status sementara yang diberikan kepada Wajib Pajak yang sebenarnya masih tercatat memiliki NPWP, tetapi tidak wajib lagi menyampaikan SPT Tahunan karena tidak ada kegiatan atau penghasilan yang dikenai pajak.

Dengan kata lain, NPWP masih ada, tapi “tidur” atau dibekukan sementara.

Siapa yang Bisa Mengajukan NPWP Non Efektif?

  1. Wajib Pajak orang pribadi yang sudah tidak bekerja lagi dan tidak punya penghasilan.
  2. Mahasiswa atau pelajar yang dulu sudah terlanjur punya NPWP, tapi belum punya penghasilan.
  3. Wajib Pajak orang pribadi yang tinggal di luar negeri lebih dari 183 hari.
  4. Usaha yang sudah berhenti sementara, tapi belum benar-benar ditutup.

Keuntungan NPWP Non Efektif:

  • Tidak perlu lapor SPT Tahunan.
  • Tidak ada sanksi administrasi karena tidak lapor.
  • Lebih mudah jika suatu saat ingin mengaktifkan kembali NPWP.

Apa Itu Penghapusan NPWP?

Berbeda dengan NE, Penghapusan NPWP berarti NPWP tersebut benar-benar dihapus dari sistem perpajakan. Artinya, Wajib Pajak tidak lagi memiliki kewajiban pajak sama sekali.

Siapa yang Bisa Mengajukan Penghapusan NPWP?

  1. Wajib Pajak orang pribadi yang sudah meninggal dunia dan tidak meninggalkan warisan.
  2. Wajib Pajak orang pribadi yang sudah tidak memenuhi syarat subjektif dan objektif (misalnya pindah kewarganegaraan, atau benar-benar tidak punya penghasilan lagi selamanya).
  3. Badan usaha yang sudah bubar secara hukum.

Konsekuensi Penghapusan NPWP:

  • Wajib Pajak tidak bisa lagi melaporkan SPT.
  • Jika suatu saat memiliki penghasilan kembali, harus daftar NPWP baru.

Perbedaan NPWP Non Efektif dan Penghapusan NPWP

AspekNPWP Non Efektif (NE)Penghapusan NPWP
Status NPWPMasih ada, hanya non aktif sementaraDihapus permanen dari sistem
Kewajiban SPTTidak wajib lapor SPTTidak ada kewajiban pajak sama sekali
Bisa Diaktifkan LagiYa, bisa diaktifkan kembaliTidak bisa, harus daftar NPWP baru
Cocok untukTidak ada penghasilan sementaraTidak ada penghasilan selamanya/bubar

Bagaimana Cara Mengajukan NPWP Non Efektif?

Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan NPWP Non Efektif secara online maupun langsung ke KPP (Kantor Pelayanan Pajak).

Syarat Dokumen:

  1. Surat pernyataan tidak lagi punya penghasilan.
  2. Fotokopi KTP.
  3. Dokumen pendukung (misalnya surat keterangan berhenti bekerja, surat domisili luar negeri, dsb).

Cara Online:

  1. Login ke DJP Online.
  2. Pilih menu Layanan > Permohonan Non Efektif.
  3. Isi alasan pengajuan.
  4. Upload dokumen pendukung.
  5. Tunggu persetujuan dari KPP.

Bagaimana Cara Mengajukan Penghapusan NPWP?

Untuk penghapusan, prosesnya sedikit lebih panjang karena sifatnya permanen.

Syarat Dokumen:

  1. Fotokopi KTP.
  2. Surat pernyataan sudah tidak lagi memenuhi syarat subjektif/objektif.
  3. Bagi yang meninggal dunia → surat keterangan kematian.
  4. Untuk badan → akta pembubaran badan dari notaris.

Prosedur:

  1. Ajukan permohonan ke KPP tempat NPWP terdaftar.
  2. Lengkapi dokumen yang diminta.
  3. DJP akan melakukan verifikasi.
  4. Jika disetujui, NPWP akan dihapus permanen.

Contoh Kasus Nyata

Kasus 1: Mahasiswa Punya NPWP

Dina, seorang mahasiswa, dulu mendaftar NPWP saat kerja magang. Sekarang ia kuliah penuh waktu dan tidak punya penghasilan. Solusi terbaik: ajukan NPWP Non Efektif agar tidak kena sanksi karena tidak lapor SPT.

Kasus 2: Pensiun Total

Pak Andi sudah pensiun, tidak punya penghasilan lain. Beliau bisa memilih NPWP Non Efektif. Tapi jika memang sudah tidak akan ada penghasilan lagi selamanya, bisa langsung ajukan Penghapusan NPWP.

Kasus 3: Usaha Bubar

CV Bintang Jaya resmi dibubarkan dengan akta notaris. Maka, CV tersebut wajib mengajukan Penghapusan NPWP Badan agar tidak lagi ditagih untuk lapor pajak.


Penutup

Memahami perbedaan antara NPWP Non Efektif dan Penghapusan NPWP sangat penting agar tidak salah langkah.

  • Jika kondisi hanya sementara (tidak ada penghasilan, usaha berhenti sementara, atau tinggal di luar negeri) → pilih NPWP Non Efektif.
  • Jika kondisi permanen (meninggal dunia, usaha bubar, pindah kewarganegaraan) → pilih Penghapusan NPWP.

Dengan memahami aturan ini, Wajib Pajak bisa lebih tenang, tidak khawatir kena sanksi, dan bisa mengurus kewajiban pajaknya dengan lebih bijak.

Ingat, memiliki NPWP bukan sekadar kewajiban, tapi juga identitas sebagai warga negara yang taat hukum. Namun, kalau memang sudah tidak memenuhi syarat lagi, ada mekanisme resmi untuk menonaktifkan atau menghapus NPWP sesuai kebutuhan.

NPWP untuk Wanita Kawin: Memahami Hak, Status, dan Kewajiban Pajak

0
NPWP untuk Wanita Kawin
NPWP untuk Wanita Kawin

Pendahuluan

Banyak wanita yang baru menikah sering bingung soal status pajak mereka. Pertanyaannya beragam:

  • “Kalau sudah menikah, apakah saya tetap pakai NPWP sendiri?”
  • “Apa NPWP saya otomatis digabung dengan suami?”
  • “Kalau saya punya penghasilan sendiri, bagaimana pelaporannya?”

Kebingungan ini wajar, karena status NPWP wanita kawin memiliki aturan khusus. Selain itu, dalam perpajakan terdapat perbedaan status seperti Pisah Harta (PH), Hidup Berpisah (HB), dan Memilih Terpisah (MT) yang penting dipahami.

Status NPWP Wanita Kawin

Secara umum, wanita kawin dianggap sebagai tanggungan suami dalam urusan pajak. Namun ada kondisi khusus yang memungkinkan istri melaporkan pajaknya sendiri. Status ini tercermin dalam Formulir SPT Tahunan dan akan memengaruhi cara pelaporan pajak.

1. Gabung dengan Suami (Default)

Jika tidak ada perjanjian khusus, penghasilan istri digabung dengan penghasilan suami. Pajak dihitung berdasarkan total penghasilan keluarga dan dilaporkan dalam NPWP suami.

Perbedaan Status PH, HB, dan MT

1. PH (Pisah Harta)

  • Definisi: Suami dan istri memiliki perjanjian pisah harta (prenuptial agreement/postnuptial).
  • Implikasi Pajak:
    • Penghasilan masing-masing suami dan istri dihitung serta dilaporkan terpisah.
    • Istri berhak memiliki NPWP sendiri.
  • Pelaporan:
    • Suami melaporkan SPT Tahunan dengan status PH.
    • Istri melaporkan SPT Tahunan terpisah dengan status PH.

Contoh:
Istri punya usaha dengan omzet Rp600 juta, suami karyawan dengan gaji Rp200 juta. Karena ada pisah harta, keduanya melaporkan SPT sendiri-sendiri sesuai NPWP masing-masing.

2. HB (Hidup Berpisah)

  • Definisi: Suami dan istri secara hukum berpisah tempat tinggal atau sudah ada keputusan pengadilan mengenai perceraian.
  • Implikasi Pajak:
    • Suami dan istri dianggap sebagai Wajib Pajak masing-masing.
    • Penghasilan tidak lagi digabung.
  • Pelaporan:
    • SPT Tahunan suami dilaporkan dengan status HB.
    • SPT Tahunan istri dilaporkan dengan status HB.

Contoh:
Suami dan istri sudah bercerai secara hukum. Istri tetap melaporkan SPT dengan NPWP sendiri, status HB.

3. MT (Memilih Terpisah)

  • Definisi: Meskipun tidak ada perjanjian pisah harta, suami dan istri memilih untuk dikenai pajak secara terpisah.
  • Syarat: Ada surat pernyataan dari istri yang memilih melaporkan pajak secara mandiri.
  • Implikasi Pajak:
    • Penghasilan istri dilaporkan secara terpisah dengan NPWP sendiri.
    • Suami dan istri sama-sama melaporkan SPT.
  • Pelaporan:
    • Suami melaporkan SPT dengan status MT.
    • Istri melaporkan SPT dengan status MT.

Contoh:
Suami bekerja dengan gaji Rp300 juta setahun, istri karyawan dengan gaji Rp250 juta setahun. Jika digabung, bisa kena tarif progresif tinggi. Dengan memilih terpisah (MT), masing-masing bayar pajak sesuai penghasilan sendiri.

Ringkasan Perbedaan Status

StatusKondisiNPWP IstriPelaporan
PH (Pisah Harta)Ada perjanjian pisah hartaPunya NPWP sendiriSPT terpisah, status PH
HB (Hidup Berpisah)Hidup terpisah/ceraiPunya NPWP sendiriSPT terpisah, status HB
MT (Memilih Terpisah)Suami-istri memilih lapor terpisahPunya NPWP sendiriSPT terpisah, status MT
GabungTidak ada perjanjian, defaultTidak wajib NPWP terpisahPenghasilan istri dilaporkan dalam SPT suami

Penutup

Status NPWP wanita kawin memang bisa membingungkan, apalagi dengan adanya pilihan Pisah Harta (PH), Hidup Berpisah (HB), dan Memilih Terpisah (MT). Namun, aturan ini memberi fleksibilitas sesuai kondisi rumah tangga:

  • Jika ada perjanjian pisah harta → gunakan status PH.
  • Jika sudah cerai atau berpisah → gunakan status HB.
  • Jika ingin hemat pajak dengan lapor terpisah → gunakan status MT.
  • Jika ingin simpel → penghasilan istri digabung dengan suami.

Dengan memahami perbedaan ini, wanita kawin bisa lebih bijak memilih skema yang sesuai dengan kondisi ekonomi dan keluarga.

Perbedaan Skema UMKM Menggunakan Orang Pribadi atau Badan: Menguntungkan yang Mana?

0
pph umkm badan usaha dan orang pribadi
pph umkm badan usaha dan orang pribadi

Saat merintis usaha, salah satu pertanyaan penting yang sering muncul adalah: “Lebih baik usaha saya didaftarkan sebagai orang pribadi atau badan (PT, CV, koperasi)?”

Pertanyaan ini bukan sekadar soal legalitas, tapi juga soal pajak. Sejak adanya skema PPh Final UMKM berdasarkan PP Nomor 23 Tahun 2018, baik orang pribadi maupun badan bisa dikenakan tarif pajak yang sama, yaitu 0,5% dari omzet.

Namun, di balik tarif yang sama, ada perbedaan penting dari sisi aturan, fasilitas, dan jangka waktu. Artikel ini akan membahas secara sederhana: lebih menguntungkan mana, menjalankan UMKM sebagai orang pribadi atau sebagai badan usaha.

Skema Pajak UMKM Orang Pribadi

Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha dengan omzet maksimal Rp4,8 miliar setahun dapat menggunakan skema PPh Final UMKM 0,5%.

Kelebihan Orang Pribadi:

  1. Administrasi Lebih Mudah
    Tidak wajib menyusun laporan keuangan yang rumit. Cukup pencatatan sederhana omzet bulanan.
  2. Ada Fasilitas Rp500 Juta Bebas Pajak
    Berdasarkan ketentuan, omzet sampai dengan Rp500 juta per tahun dibebaskan dari PPh Final UMKM. Hanya omzet di atas Rp500 juta yang dikenakan 0,5%.
  3. Lebih Hemat di Awal Usaha
    Cocok untuk pengusaha kecil yang baru mulai, karena tidak perlu biaya pendirian perusahaan atau akta notaris.

Kekurangan Orang Pribadi:

  1. Jangka Waktu Terbatas 7 Tahun
    Setelah 7 tahun, orang pribadi UMKM wajib pindah ke skema umum (pembukuan + tarif progresif).
  2. Tanggung Jawab Tidak Terbatas
    Utang usaha = utang pribadi. Jika ada masalah, aset pribadi bisa terdampak.
  3. Sulit Mengakses Modal Besar
    Banyak investor atau bank lebih percaya pada badan usaha formal dibanding usaha perorangan.

Skema Pajak UMKM Badan (PT, CV, Koperasi, Firma)

Badan usaha dengan omzet maksimal Rp4,8 miliar setahun juga bisa menggunakan tarif PPh Final UMKM 0,5%.

Kelebihan Badan:

  1. Citra Lebih Profesional
    Dengan bentuk badan hukum, usaha terlihat lebih bonafide di mata mitra bisnis maupun bank.
  2. Tanggung Jawab Terbatas (untuk PT)
    Pemilik tidak bertanggung jawab dengan aset pribadi atas utang perusahaan (kecuali ada wanprestasi khusus).
  3. Akses Modal Lebih Mudah
    Perusahaan berbadan hukum lebih mudah mengajukan pinjaman, kerjasama, maupun pendanaan dari investor.
  4. Pajak Setelah UMKM Bisa Lebih Ringan
    Setelah jangka waktu PP 23 habis, badan usaha tetap bisa mendapat tarif PPh Badan yang relatif lebih kecil (tarif umum 22% → bahkan bisa lebih rendah jika ada fasilitas tertentu).

Kekurangan Badan:

  1. Administrasi Lebih Rumit
    Wajib membuat laporan keuangan, menyelenggarakan pembukuan, dan melapor SPT Badan tiap tahun.
  2. Tidak Ada Fasilitas Rp500 Juta Bebas Pajak
    Berbeda dengan orang pribadi, badan usaha langsung kena 0,5% dari omzet pertama, tanpa ada batas bebas pajak.
  3. Jangka Waktu Lebih Singkat
    Badan hanya bisa menggunakan tarif final 0,5% selama 4 tahun. Setelah itu, wajib pindah ke skema PPh Badan normal.
  4. Biaya Pendirian
    Ada biaya legalitas (akta notaris, SK Kemenkumham, NPWP Badan, dsb).

Perbandingan Jangka Waktu dan Fasilitas

AspekOrang Pribadi UMKMBadan UMKM
Tarif0,5% dari omzet (final)0,5% dari omzet (final)
Fasilitas Rp500 JutaAda (bebas pajak omzet ≤ Rp500 jt)Tidak ada
Jangka WaktuMaksimal 7 tahunMaksimal 4 tahun
AdministrasiSederhana, cukup pencatatanHarus pembukuan & laporan formal
Akses ModalTerbatasLebih luas (bank, investor)
Tanggung Jawab HukumTidak terbatasTerbatas (khusus PT)

Contoh Kasus Nyata

Kasus 1: Usaha Warung Kopi – Omzet Rp300 Juta Setahun

  • Orang pribadi: Bebas pajak, karena omzet masih di bawah Rp500 juta.
  • Badan usaha: Tetap kena 0,5% × Rp300 juta = Rp1,5 juta.

👉 Jelas lebih untung sebagai orang pribadi.

Kasus 2: Bisnis Fashion – Omzet Rp2 Miliar Setahun

  • Orang pribadi: Kena pajak 0,5% × (Rp2 M – Rp500 jt) = Rp7,5 juta.
  • Badan usaha: Kena pajak 0,5% × Rp2 M = Rp10 juta.

👉 Dari sisi pajak, orang pribadi lebih hemat. Tapi dari sisi citra usaha, badan lebih meyakinkan.

Kasus 3: Startup Teknologi – Omzet Rp4,5 Miliar Setahun

  • Orang pribadi: Pajak = 0,5% × (Rp4,5 M – Rp500 jt) = Rp20 juta.
  • Badan usaha: Pajak = 0,5% × Rp4,5 M = Rp22,5 juta.

👉 Pajak pribadi sedikit lebih kecil, tapi usaha teknologi biasanya butuh legalitas badan untuk mendapat investor.

Jadi, Menguntungkan yang Mana?

Jawabannya tergantung kondisi usaha:

  • Jika usaha masih kecil, omzet < Rp500 juta → Lebih menguntungkan sebagai orang pribadi, karena ada fasilitas bebas pajak.
  • Jika omzet menengah (Rp500 juta – Rp4,8 miliar) dan usaha masih sederhana → Orang pribadi tetap lebih hemat, terutama karena administrasinya simpel.
  • Jika usaha sudah besar, butuh investor, atau kerja sama dengan pihak ketiga → Lebih baik pakai badan, meski pajak sedikit lebih tinggi.

Penutup

Baik skema UMKM untuk orang pribadi maupun badan usaha punya kelebihan dan kekurangan. Orang pribadi lebih fleksibel, hemat, dan ada fasilitas bebas pajak Rp500 juta, tetapi jangka waktu 7 tahun dan keterbatasan akses modal bisa jadi hambatan. Sebaliknya, badan usaha lebih profesional, dipercaya, dan tanggung jawab hukum terbatas, tetapi jangka waktu tarif final hanya 4 tahun dan sejak awal langsung kena pajak tanpa pembebasan.

Kuncinya, pahami kondisi usaha Anda. Jika baru mulai merintis, gunakan fasilitas UMKM orang pribadi. Tapi jika usaha sudah berkembang, membutuhkan legalitas, atau ingin melangkah lebih jauh, bentuklah badan usaha agar lebih mudah dalam kerjasama dan pembiayaan.

Dengan memahami aturan pajak, kita bisa memilih jalan yang paling pas: bukan sekadar cari tarif paling murah, tapi juga yang paling mendukung pertumbuhan usaha.

Perbedaan PPh Skema Umum dan Skema UMKM untuk Orang Pribadi

0
PPh UMKM dan PPh Umum
PPh UMKM dan PPh Umum

Banyak pelaku usaha kecil maupun pekerja lepas sering bingung saat mengurus pajak. Pertanyaan yang paling sering muncul adalah:

  • “Saya harus ikut skema PPh UMKM atau pakai skema umum?”
  • “Kalau omzet saya kecil, apakah otomatis masuk UMKM?”
  • “Apa bedanya bayar PPh 0,5% dengan PPh progresif orang pribadi?”

Kebingungan ini wajar, karena aturan pajak memang terdengar teknis. Padahal, kalau dipahami dengan bahasa sehari-hari, sebenarnya perbedaannya sederhana. Artikel ini akan membahas secara humanis tentang perbedaan PPh skema umum dan PPh skema UMKM untuk orang pribadi, lengkap dengan contoh kasus nyata agar lebih mudah dipahami.

Apa Itu PPh Skema Umum?

PPh skema umum adalah cara penghitungan pajak penghasilan dengan tarif progresif sesuai Pasal 17 Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh). Tarifnya naik sesuai besarnya penghasilan kena pajak:

  • Sampai Rp60 juta → 5%
  • Rp60 juta – Rp250 juta → 15%
  • Rp250 juta – Rp500 juta → 25%
  • Rp500 juta – Rp5 miliar → 30%
  • Di atas Rp5 miliar → 35%

Artinya, semakin besar penghasilan, semakin tinggi tarif pajak yang dikenakan.

Wajib Pajak orang pribadi yang memilih skema ini biasanya menghitung pajak dengan cara:

  1. Menentukan omzet setahun.
  2. Mengurangi dengan biaya (pembukuan) atau menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN).
  3. Mengurangkan lagi dengan PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak).
  4. Baru kemudian mengalikan dengan tarif progresif di atas.

Skema ini lebih cocok untuk orang pribadi yang omzetnya besar atau sudah terbiasa membuat laporan keuangan.

Apa Itu PPh Skema UMKM?

Sejak terbitnya PP Nomor 23 Tahun 2018, pemerintah memberikan kemudahan bagi UMKM berupa PPh Final UMKM dengan tarif hanya 0,5% dari omzet bulanan.

Namun ada fasilitas tambahan bagi orang pribadi:
👉 Jika omzet setahun tidak melebihi Rp500 juta, maka bagian omzet sampai Rp500 juta dibebaskan dari PPh Final UMKM.
Hanya omzet yang melebihi Rp500 juta yang dikenakan pajak 0,5%.

Contoh:

  • Omzet Bu Ani selama setahun = Rp450 juta → bebas pajak karena di bawah Rp500 juta.
  • Omzet Pak Budi = Rp700 juta → yang kena pajak hanya Rp200 juta (Rp700 juta – Rp500 juta).
    Pajak terutang = 0,5% × Rp200 juta = Rp1 juta.

Fasilitas ini sangat membantu pelaku usaha mikro agar tidak terbebani pajak di tahap awal usahanya.

Perbedaan Utama PPh Skema Umum dan UMKM

AspekPPh Skema UMKM (PP 23/2018)PPh Skema Umum (UU PPh Pasal 17)
Subjek PajakOrang pribadi UMKM, omzet ≤ Rp4,8 MSemua Wajib Pajak orang pribadi
Tarif0,5% dari omzet (flat, final)Progresif 5%–35% dari penghasilan neto
Dasar PengenaanOmzet bulananPenghasilan neto (omzet – biaya – PTKP)
Kewajiban AdministrasiSederhana, tanpa pembukuanWajib pembukuan atau pencatatan
Keadilan PajakSama rata untuk semua omzetLebih adil, karena menyesuaikan kemampuan
Jangka Waktu PemakaianMaksimal 7 tahun (orang pribadi)Berlaku selamanya

Contoh Kasus

Contoh 1: Omzet di Bawah Rp500 Juta

Pak Rudi punya usaha makanan ringan dengan omzet Rp400 juta setahun.

  • Skema UMKM → bebas PPh Final karena omzet < Rp500 juta.
  • Skema umum (pakai norma 30%) → Penghasilan neto = Rp120 juta, PKP = Rp66 juta, pajak progresif sekitar Rp3,3 juta.

👉 Kesimpulan: Untuk omzet kecil, fasilitas bebas pajak UMKM lebih menguntungkan.

Contoh 2: Omzet Rp700 Juta

Bu Dini, penjahit rumahan, omzet Rp700 juta.

  • Skema UMKM → hanya Rp200 juta kena pajak (Rp700 juta – Rp500 juta).
    PPh Final = 0,5% × Rp200 juta = Rp1 juta.
  • Skema umum (pakai norma 40%) → Penghasilan neto = Rp280 juta, PKP = Rp226 juta.
    Pajak progresif = sekitar Rp29 juta.

👉 Jelas lebih ringan pakai UMKM.

Kapan Sebaiknya Pakai Skema UMKM?

  • Jika usaha masih kecil dan omzet belum terlalu besar.
  • Jika tidak punya pencatatan keuangan yang rapi.
  • Jika ingin cara cepat, mudah, dan praktis dalam menghitung pajak.

Kapan Sebaiknya Pakai Skema Umum?

  • Jika omzet mendekati Rp4,8 miliar atau sudah melewati batas waktu pemakaian skema UMKM.
  • Jika biaya usaha besar, sehingga laba bersih sebenarnya kecil.
  • Jika sudah punya laporan keuangan yang baik.

Penutup

Pada akhirnya, baik PPh skema umum maupun PPh UMKM memiliki tujuan yang sama: memastikan setiap warga negara berkontribusi adil terhadap pembangunan. Skema UMKM hadir untuk mempermudah, sedangkan skema umum memberikan keadilan karena memperhitungkan biaya dan penghasilan neto.

Bagi Wajib Pajak orang pribadi, kuncinya ada pada memahami kondisi usaha sendiri. Jika masih kecil dan butuh kemudahan, gunakan skema UMKM. Jika usaha sudah berkembang dan laporan keuangan rapi, skema umum bisa lebih sesuai.

Jangan takut dengan pajak—anggaplah pajak sebagai bagian dari perjalanan usaha kita. Dengan taat pajak, usaha jadi lebih aman, dan kita ikut membangun negeri.

Hitung PPh Final Lebih Mudah dengan Kalkulator Pajak UMKM

0
kalkulator pajak UMKM
kalkulator pajak UMKM

Pajak UMKM, Masalah Sehari-hari Para Pelaku Usaha

Bagi banyak pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), urusan pajak seringkali dianggap rumit. Padahal, kewajiban pajak UMKM sebenarnya sederhana: cukup membayar PPh Final UMKM sebesar 0,5% dari omzet bulanan (sesuai PP No. 23 Tahun 2018).

Namun, masalah muncul saat harus menghitung sendiri.

  • “Omzet saya bulan ini Rp30 juta, berapa ya pajak yang harus saya bayar?”
  • “Kalau omzet naik-turun setiap bulan, bagaimana cara menghitungnya?”
  • “Apa benar saya hanya bayar 0,5% dari omzet?”

Pertanyaan-pertanyaan ini sering muncul di kalangan UMKM. Alih-alih fokus pada pengembangan usaha, waktu habis hanya untuk menghitung pajak.

Solusi Praktis: Kalkulator Pajak UMKM

Untuk menjawab kebingungan itu, kini tersedia kalkulator pajak UMKM yang bisa diakses secara gratis di alamat:
👉 https://kalkulator.konsulpajak.com

Fitur ini dirancang khusus untuk membantu Wajib Pajak orang pribadi pemilik usaha kecil menghitung dengan cepat berapa PPh Final yang harus dibayarkan setiap bulan.

Caranya pun sangat mudah:

  1. Buka link kalkulator.
  2. Masukkan omzet bulanan Anda.
  3. Tekan tombol “Hitung”.
  4. Hasil perhitungan pajak akan langsung tampil.

Tidak perlu rumus ribet, tidak perlu buka undang-undang pajak, dan tidak perlu khawatir salah hitung.

Kenapa Perlu Menggunakan Kalkulator Pajak UMKM?

Gratis dan Mudah Digunakan
Tidak ada biaya berlangganan. Siapa saja bisa langsung pakai tanpa registrasi.

Menghemat Waktu
Hanya dalam hitungan detik, Anda bisa tahu berapa pajak yang wajib dibayar.

Akurat Sesuai Aturan Pajak
Perhitungan pajak mengikuti ketentuan PP 23/2018, sehingga hasilnya dapat dipertanggungjawabkan.

Mendorong Kepatuhan Pajak
Dengan tahu persis jumlah pajak, UMKM bisa lebih disiplin membayar pajak tepat waktu tanpa menebak-nebak.

Ayo Manfaatkan Fitur Ini!

Pajak bukan sekadar kewajiban, tapi juga kontribusi nyata kita untuk pembangunan. Dengan adanya kalkulator pajak UMKM, perhitungan pajak tidak lagi menjadi momok yang menakutkan.

Jangan ragu untuk mencoba langsung di 👉 https://kalkulator.konsulpajak.com.
Manfaatkan fitur ini secara gratis, dan jadikan pengelolaan pajak UMKM Anda lebih ringan, sederhana, dan menyenangkan.

Dengan pajak yang dihitung dengan benar, UMKM bisa lebih fokus pada hal yang paling penting: mengembangkan usaha dan meraih kesuksesan.

Konsekuensi Jika Wajib Pajak Tidak Membuat Pemberitahuan Norma Penghitungan Penghasilan Neto

0

Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN) sering menjadi “jalan pintas” yang sah untuk menghitung penghasilan kena pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi. Namun, ada aturan penting yang sering terlewat: Wajib Pajak yang ingin menggunakan norma wajib menyampaikan pemberitahuan ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) dalam jangka waktu tertentu.

Sayangnya, banyak yang tidak menyadari hal ini. Akibatnya, ketika melaporkan SPT Tahunan, penghasilan dihitung dengan norma padahal tidak pernah mengajukan pemberitahuan. Lalu apa konsekuensinya? Mari kita bahas secara lebih detail.

Dasar Hukum

Ketentuan pemberitahuan norma diatur dalam:

  1. Pasal 14 ayat (2) UU PPh (UU No. 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan). Disebutkan bahwa Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dan tidak menyelenggarakan pembukuan dapat menghitung penghasilan neto dengan norma apabila memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan.
  2. PER-17/PJ/2015 tentang Norma Penghitungan Penghasilan Neto. Menegaskan kembali kewajiban pemberitahuan tersebut dan mengatur tata cara pelaksanaannya.

Apa yang Terjadi Jika Tidak Ada Pemberitahuan?

1. Wajib Pajak Dianggap Wajib Membuat Pembukuan

Apabila Wajib Pajak tidak menyampaikan pemberitahuan norma dalam waktu 3 bulan pertama tahun pajak, maka secara otomatis dianggap memilih untuk menyelenggarakan pembukuan.

Artinya, penghasilan neto tidak boleh lagi dihitung dengan norma, melainkan harus dihitung berdasarkan laporan keuangan yang memuat pencatatan penghasilan, biaya, dan laba rugi sesuai standar akuntansi.

2. Risiko Koreksi Fiskus

Jika Wajib Pajak tetap menggunakan norma di SPT Tahunan tanpa pemberitahuan resmi, fiskus (petugas pajak) berhak melakukan koreksi.

  • Koreksi dilakukan dengan menganggap pembukuan wajib ada.
  • Bila tidak ada pembukuan, maka fiskus bisa menerbitkan pajak kurang bayar berdasarkan penghitungan sendiri (official assessment).

3. Sanksi Administrasi

Selain kewajiban pajak pokok yang mungkin bertambah akibat koreksi, Wajib Pajak juga bisa dikenakan sanksi administrasi berupa bunga atau denda sesuai Pasal 13 UU KUP.

4. Potensi Sengketa

Bila Wajib Pajak merasa sudah benar menghitung dengan norma meskipun tidak memberitahukan, hal ini bisa menimbulkan sengketa dengan DJP. Penyelesaiannya bisa panjang, mulai dari keberatan hingga banding.

Ilustrasi Kasus

Kasus 1: Pedagang Tanpa Pemberitahuan

Pak Andi, seorang pedagang pakaian, memiliki omzet Rp400 juta setahun. Ia menghitung pajak dengan norma (30%) tanpa menyampaikan pemberitahuan ke KPP.

  • Penghasilan neto dihitung sendiri = Rp120 juta.
  • Setelah dikurangi PTKP, ia lapor SPT dengan PPh terutang Rp3 juta.

Namun saat diperiksa, DJP menemukan bahwa Pak Andi tidak pernah mengajukan pemberitahuan norma.

  • Akibatnya, ia dianggap wajib melakukan pembukuan.
  • Karena tidak ada laporan keuangan, fiskus melakukan koreksi dan memperkirakan penghasilan neto sebenarnya Rp200 juta.
  • Pajak terutang jadi Rp10 juta, sehingga ada kurang bayar Rp7 juta plus sanksi bunga.

Kasus 2: Freelancer Desainer

Bu Sari, seorang freelancer, omzet Rp300 juta. Ia juga pakai norma (50%), tapi lupa menyampaikan pemberitahuan.

  • DJP kemudian menolak penggunaan norma.
  • Karena tidak ada pembukuan, DJP menggunakan data transaksi dari rekening bank untuk menghitung pajak.
  • Hasilnya jauh lebih tinggi dari yang dilaporkan Bu Sari.

Kasus ini menunjukkan betapa pentingnya pemberitahuan norma sebagai dasar legalitas penggunaan metode tersebut.

Mengapa DJP Mengatur Pemberitahuan?

Ada dua alasan utama:

  1. Kepastian Hukum
    Dengan pemberitahuan, DJP tahu siapa saja yang memilih menggunakan norma. Ini penting untuk menghindari perdebatan di kemudian hari.
  2. Disiplin Administrasi
    Norma hanya boleh digunakan oleh WP dengan omzet kecil. Tanpa pemberitahuan, bisa saja WP besar ikut menggunakan norma untuk menekan pajak, padahal secara aturan mereka wajib pembukuan.

Memahami Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN) dengan Cara Sederhana

0
norma-penghitungan-penghasilan-netto
norma-penghitungan-penghasilan-netto

Pendahuluan

Bagi banyak pelaku usaha kecil, wiraswasta, maupun profesional yang baru belajar pajak, menghitung penghasilan kena pajak seringkali terasa rumit. Ada istilah laporan keuangan, biaya yang boleh dikurangkan, sampai perhitungan laba rugi. Padahal, tidak semua Wajib Pajak punya kemampuan membuat laporan keuangan yang detail.

Nah, untuk kondisi seperti inilah Direktorat Jenderal Pajak memberikan fasilitas yang disebut Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN). Norma ini bisa dianalogikan sebagai “jalan pintas” yang sah secara hukum bagi Wajib Pajak orang pribadi yang tidak menyelenggarakan pembukuan.

Apa Itu Norma Penghitungan Penghasilan Neto?

Secara sederhana, Norma Penghitungan Penghasilan Neto adalah persentase tertentu yang sudah ditetapkan pemerintah untuk menghitung penghasilan neto dari usaha atau pekerjaan bebas seseorang.

Jadi, alih-alih repot mencatat semua pengeluaran, kita cukup menggunakan persentase yang ditentukan sesuai jenis usaha. Dari persentase itulah dihitung berapa penghasilan neto yang akan dikenakan pajak.

Contoh:

  • Seorang pedagang sembako dengan omzet Rp400 juta per tahun.
  • Menurut lampiran norma, usaha perdagangan eceran punya norma 30%.
  • Maka penghasilan neto = 30% × Rp400 juta = Rp120 juta.
  • Rp120 juta inilah yang kemudian menjadi dasar perhitungan Pajak Penghasilan (PPh).

Dasar Hukum NPPN

Ada beberapa regulasi penting yang mengatur penggunaan norma ini, yaitu:

  • Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU No. 7 Tahun 1983 tentang PPh sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan).
  • Pasal 14 menyebutkan bahwa Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan tidak menyelenggarakan pembukuan dapat menghitung penghasilan neto dengan menggunakan norma.
  • Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-17/PJ/2015 tentang Norma Penghitungan Penghasilan Neto. Lampiran peraturan ini berisi daftar jenis usaha dan besarnya persentase norma untuk setiap daerah.
  • Surat Edaran Dirjen Pajak serta regulasi teknis yang memperbarui lampiran norma, karena bisa berbeda antara satu daerah dan daerah lainnya.

Siapa yang Bisa Menggunakan NPPN?

Tidak semua Wajib Pajak bisa memakai norma ini. Ada syarat yang harus dipenuhi:

  • Subjek Pajak : Hanya berlaku untuk orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas. Wajib Pajak badan (PT, CV, yayasan, dsb.) tidak bisa menggunakan norma.
  • Syarat Omzet : Wajib Pajak dengan peredaran bruto (omzet) setahun kurang dari Rp4,8 miliar. Jika omzet lebih besar, maka wajib menyelenggarakan pembukuan.
  • Pemberitahuan ke KPP : Wajib Pajak yang memilih menggunakan norma harus menyampaikan pemberitahuan tertulis ataupun secara elektronik ke Kantor Pajak paling lambat 3 bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan.

Bagaimana Cara Menggunakan NPPN?

Langkah-langkahnya cukup sederhana:

  1. Hitung Omzet
    Catat seluruh peredaran bruto atau omzet setahun. Misalnya, hasil jualan online selama 1 tahun Rp300 juta.
  2. Cek Norma Sesuai Jenis Usaha
    Lihat di lampiran PER-17/PJ/2015. Misalnya, usaha perdagangan eceran di wilayah Jawa norma = 30%.
  3. Kalikan dengan Norma
    Rp300 juta × 30% = Rp90 juta → inilah penghasilan neto.
  4. Hitung PPh Terutang
    Dari Rp90 juta, kurangi dengan PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak). Misalnya status WP lajang PTKP = Rp54 juta.
    • Penghasilan Kena Pajak (PKP) = Rp90 juta – Rp54 juta = Rp36 juta.
    • PPh = 5% × Rp36 juta = Rp1,8 juta setahun.

Contoh Kasus Nyata

Contoh 1: Pedagang Warung Makan

Pak Joko memiliki warung makan kecil dengan omzet Rp500 juta per tahun.

  • Norma usaha rumah makan = 40%.
  • Penghasilan neto = 40% × Rp500 juta = Rp200 juta.
  • Dikurangi PTKP (misalnya Rp54 juta) → PKP = Rp146 juta.
  • PPh terutang:
    • Rp60 juta pertama = 5% × Rp60 juta = Rp3 juta.
    • Sisanya Rp86 juta = 15% × Rp86 juta = Rp12,9 juta.
    • Total PPh = Rp15,9 juta.

Contoh 2: Freelancer Desainer Grafis

Bu Rani bekerja sebagai freelancer dengan penghasilan bruto Rp150 juta setahun.

  • Norma pekerjaan bebas (jasa profesional) misalnya 50%.
  • Penghasilan neto = 50% × Rp150 juta = Rp75 juta.
  • Dikurangi PTKP Rp54 juta → PKP = Rp21 juta.
  • PPh terutang = 5% × Rp21 juta = Rp1,05 juta.

Kelebihan dan Kekurangan NPPN

Kelebihan:

  • Praktis: Tidak perlu membuat laporan keuangan detail.
  • Mudah dihitung: Tinggal pakai persentase norma.
  • Legal: Diatur jelas dalam UU dan peraturan Dirjen Pajak.

Kekurangan:

  • Kurang mencerminkan kondisi riil: Bisa jadi sebenarnya biaya lebih besar dari norma, tetapi tetap dihitung sesuai norma.
  • Tidak fleksibel untuk omzet besar: Jika omzet sudah mendekati Rp4,8 miliar, lebih baik membuat pembukuan agar biaya bisa diklaim lebih rinci.

Tips Praktis bagi Wajib Pajak

  • Cermati jenis usaha: Norma tiap usaha berbeda. Jangan sampai salah klasifikasi.
  • Arsipkan bukti penghasilan: Meski pakai norma, sebaiknya tetap punya catatan omzet.
  • Konsultasi ke KPP: Jika ragu memilih norma atau pembukuan, bisa diskusi dengan petugas pajak.
  • Perhatikan batas omzet: Jika usaha berkembang dan omzet tembus Rp5 miliar, wajib beralih ke pembukuan.

Penutup

Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN) adalah fasilitas yang mempermudah Wajib Pajak orang pribadi dalam memenuhi kewajiban pajaknya. Dengan adanya norma, penghitungan penghasilan neto jadi lebih sederhana, terutama bagi usaha kecil, pedagang, maupun pekerja lepas yang belum siap menyusun laporan keuangan detail.

Dasar hukumnya jelas, yaitu Pasal 14 UU PPh dan PER-17/PJ/2015 beserta lampirannya. Intinya, selama omzet masih di bawah Rp4,8 miliar setahun dan sudah menyampaikan pemberitahuan ke KPP, Wajib Pajak bisa menggunakan norma dengan tenang.

Pada akhirnya, memilih norma atau pembukuan tergantung kondisi usaha. Jika ingin praktis, norma bisa jadi pilihan. Tetapi jika usaha sudah besar, pembukuan lebih adil karena biaya usaha bisa dihitung sesuai kenyataan.

Dengan memahami konsep ini, kita bisa lebih siap dan tenang dalam melaksanakan kewajiban pajak—tanpa harus bingung dengan istilah rumit.

Pengenaan PPh atas Jasa yang Dilakukan Orang Pribadi: Dipotong PPh Pasal 21 atau PPh Pasal 23?

0
PPh atas Jasa yang Dilakukan Orang Pribadi
PPh atas Jasa yang Dilakukan Orang Pribadi

Dalam praktik perpajakan di Indonesia, salah satu isu yang sering menimbulkan kebingungan adalah bagaimana pengenaan Pajak Penghasilan (PPh) atas jasa yang dilakukan oleh orang pribadi. Kebingungan ini terutama muncul ketika harus menentukan apakah pemotongan dilakukan melalui PPh Pasal 21 atau PPh Pasal 23.

Sekilas, keduanya sama-sama mengatur mengenai pemotongan pajak atas penghasilan dari jasa. Namun, keduanya memiliki objek, subjek, dan mekanisme yang berbeda. Artikel ini mencoba mengupas perbedaan tersebut dengan bahasa sederhana, agar mudah dipahami oleh praktisi pajak, pengusaha, maupun masyarakat umum.

Sekilas tentang PPh Pasal 21

PPh Pasal 21 adalah pajak yang dikenakan atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima oleh orang pribadi dalam negeri.

Dasar hukum utama:

  • Pasal 21 UU PPh (UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan).
  • Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-16/PJ/2016 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26.
  • PMK-168 Tahun 2023 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak atas Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan,Jasa, atau Kegiatan Orang Pribadi

Secara sederhana, PPh 21 berlaku jika:

  • Penerima penghasilan adalah orang pribadi,
  • Sumber penghasilan tersebut terkait dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan,
  • Hubungan hukum bisa berupa pegawai, bukan pegawai, atau tenaga ahli.

Contoh : dokter, notaris, pengacara, akuntan, konsultan, dosen, maupun pengajar yang memberikan jasa profesional.

Sekilas tentang PPh Pasal 23

Berbeda dengan Pasal 21, PPh Pasal 23 dikenakan atas penghasilan yang berasal dari modal, penyerahan jasa, atau hadiah dan penghargaan, yang diterima oleh Wajib Pajak dalam negeri atau BUT (Bentuk Usaha Tetap).

Dasar hukum utama:

  • Pasal 23 UU PPh
  • Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 141/PMK.03/2015 tentang Jenis Jasa Lain sebagai Objek Pemotongan PPh Pasal 23.

Objek PPh 23 jasa meliputi jasa manajemen, jasa konsultan, jasa teknik, jasa perantara, dan puluhan jenis jasa lainnya sebagaimana dirinci dalam PMK 141/2015. Namun, penting digarisbawahi: PPh 23 umumnya berlaku untuk penerima penghasilan berupa Badan, bukan orang pribadi. Tarif PPh 23 untuk jasa adalah 2% dari jumlah bruto, tidak termasuk PPN.

Di Mana Sering Terjadi Kebingungan?

Kebingungan muncul ketika seseorang menggunakan jasa orang pribadi namun jasa yang diberikan masuk dalam daftar “jasa lain” yang diatur di PPh Pasal 23.
Contoh kasus:

  • Sebuah perusahaan menggunakan jasa konsultan pajak orang pribadi. Apakah dipotong PPh 21 atau PPh 23?
  • Perusahaan membayar jasa pelatihan yang dilakukan oleh seorang trainer individu. Apakah dipotong PPh 21 atau PPh 23?

Di lapangan, sebagian pihak cenderung menggunakan Pasal 23 karena menyamakan semua jenis jasa konsultan ke Pasal 23, tanpa melihat siapa penerimanya. Padahal, menurut aturan, jika penerima penghasilan adalah orang pribadi, maka yang berlaku adalah PPh Pasal 21, bukan Pasal 23.

Prinsip Dasar Penentuan

Untuk memudahkan, mari kita tarik garis tegas:

  • Jika penerima penghasilan adalah orang pribadi → PPh Pasal 21.
  • Jika penerima penghasilan adalah badan (CV, PT, firma, yayasan, dll.) → PPh Pasal 23.

Dengan kata lain, yang menjadi pembeda utama adalah status subjek pajak penerima penghasilan. Bukan semata-mata jenis jasanya. Hal ini ditegaskan dalam berbagai aturan teknis, termasuk:

  • PER-16/PJ/2016, yang menyebutkan bahwa pembayaran kepada tenaga ahli (dokter, pengacara, akuntan, konsultan, notaris, dll.) yang menjalankan pekerjaan bebas, dipotong PPh Pasal 21.
  • PMK 141/2015, yang mengatur jasa lain sebagai objek Pasal 23, tetapi berlaku bila penerima penghasilan adalah badan.
  • PMK-168 Tahun 2023 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak atas Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan,Jasa, atau Kegiatan Orang Pribadi

Ilustrasi Kasus

Agar lebih jelas, mari kita lihat ilustrasi berikut:

  • Kasus 1: Konsultan Individu
    Perusahaan A menggunakan jasa konsultan bisnis independen bernama Budi (orang pribadi, NPWP ada). Perusahaan membayar fee Rp100.000.000.
    → Karena Budi adalah orang pribadi, maka perusahaan wajib memotong PPh 21 tenaga ahli, bukan PPh 23.
  • Kasus 2: Konsultan Berbadan Hukum
    Perusahaan A menggunakan jasa konsultan bisnis PT XYZ. Fee yang dibayarkan Rp100.000.000.
    → Karena penerimanya adalah badan (PT), maka perusahaan wajib memotong PPh 23 sebesar 2% dari jumlah bruto, yaitu Rp2.000.000.

Tarif PPh 21 untuk Jasa Orang Pribadi

Tarif PPh 21 untuk tenaga ahli atau jasa orang pribadi berbeda dengan pegawai. Mekanismenya adalah:

  • Dasar pengenaan adalah 50% dari penghasilan bruto.
  • Atas penghasilan neto tersebut, dikenakan tarif Pasal 17 UU PPh (tarif progresif orang pribadi).

Contoh:

  • Fee bruto Rp100.000.000
  • Penghasilan neto = 50% x Rp100.000.000 = Rp50.000.000
  • Dikenakan tarif progresif (misalnya 5% untuk lapisan pertama sampai Rp60 juta).
  • Maka PPh terutang = 5% x Rp50.000.000 = Rp2.500.000

Penutup

Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan:

  • PPh Pasal 21 berlaku untuk jasa yang dilakukan oleh orang pribadi, termasuk tenaga ahli dan pekerjaan bebas.
  • PPh Pasal 23 berlaku untuk jasa yang diterima oleh badan usaha, baik berupa PT, CV, firma, maupun yayasan.
  • Perbedaan ini penting dipahami agar tidak salah memotong, yang bisa berakibat pada sanksi administrasi di kemudian hari.

Cara Membuat Kode Otorisasi di Coretax

0
Cara Membuat Kode Otorisasi di Coretax
Cara Membuat Kode Otorisasi di Coretax

Dalam era digitalisasi perpajakan, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) terus berupaya memberikan kemudahan bagi Wajib Pajak melalui sistem terbaru bernama Coretax. Salah satu fitur penting di sistem ini adalah kode otorisasi. Meski terdengar teknis, sebenarnya kode otorisasi hanyalah “kunci keamanan” yang memastikan bahwa setiap transaksi atau permohonan pajak yang kita lakukan memang benar dilakukan oleh pemilik akun, bukan orang lain.

Bagi sebagian orang, istilah ini mungkin masih terdengar rumit. Namun, dengan pemahaman yang tepat, pembuatan kode otorisasi di Coretax sebenarnya sederhana dan sangat membantu dalam menjaga keamanan data serta transaksi pajak kita.

Apa Itu Kode Otorisasi?

Kode otorisasi / tanda tangan digital / Passphrase adalah kombinasi khusus antara huruf, angka dan karakter khusus yang kita buat pada saat pertama kali akses ke sistem perpajakan coretax. Fungsi kode otorisasi tersebut adalah untuk memvalidasi aktivitas tertentu. Misalnya, ketika Anda ingin mengajukan permohonan pemindahbukuan, mengubah data, atau melakukan transaksi yang bersifat sensitif.

Fungsinya mirip seperti PIN pada ATM atau kode OTP (One-Time Password) pada aplikasi perbankan. Tanpa kode otorisasi ini, transaksi Anda tidak akan diproses oleh sistem. Jadi, meskipun Anda sudah login ke akun Coretax, kode otorisasi tetap dibutuhkan sebagai lapisan keamanan tambahan.

Cara Membuat Kode Otorisasi di Coretax

Step pertama untuk membuat kode otorisasi pastinya adalah login di halaman coretax dan login dengn menggunakan NIK (Nomor KTP) serta password akun coretax anda

Berikutnya silahkan klik menu Profil Saya dan pilih sub menu Permintaan Kode Otorisasi / Sertifikat Elektronik

Berikutnya kolom-kolom NIK/NPWP , Nama, Alamat, Email dan Nomor Handphone akan terisi otomatis sesuai data kita dan silahkan scroll ke bawah

Berikutnya pada bagian Jenis Sertifikat Digital silahkan pilih opsi Kode Otorisasi DJP

Berikutnya silahkan isi kolom Passphrase dengan minimal 8 karakter yang terdiri dari minimal 1 Huruf kapital, 1 angka dan 1 karakter khusus. selanjutnya centang pernyataan dan klik Simpan

Berikutnya akan muncul notifikasi bahwa Sertifikat Digital berhasil dibuat.

Untuk melakukan pengecekan apakah status pembuatan kode otorisasi / sertifikat digital sudah valid, maka silahkan masuk ke menu Profil Saya

Berikutnya setelah masuk ke menu profil silahkan pilih Nomor Identifikasi Eksternal

Berikutnya silahkan pilih menu Digital Certificate dan cek kolom Status Kepemilikan jika berstatus invalid maka silahkan scroll ke kanan

Berikutnya silahkan klik menu Periksa status

maka akan muncul status sukses dan akan muncul 2 menu yaitu tombol periksa status dan menghasilkan. silahkan klik tombol Menghasilkan

Maka akan otomatis terupdate kolom status ke[pemilikan menjadi valid

Pembuatan kode otorisasi di Coretax adalah langkah kecil yang memberikan dampak besar bagi keamanan transaksi pajak Anda. Dengan kode ini, setiap aktivitas yang dilakukan akan lebih terjamin keasliannya, sehingga terhindar dari penyalahgunaan akun.

Meskipun awalnya terlihat teknis, sebenarnya prosesnya sederhana—tidak jauh berbeda dengan membuat PIN ATM atau password email. Jadi, jangan ragu untuk segera membuat dan menggunakan kode otorisasi di Coretax agar setiap kewajiban perpajakan Anda berjalan aman, lancar, dan terlindungi.