Memasuki tahun 2025, pemerintah hadirkan sebuah langkah nyata untuk meredam tekanan ekonomi sekaligus menjaga daya beli masyarakat. Salah satunya: **insentif Pajak Penghasilan Pasal 21 **yang Ditanggung Pemerintah (DTP) khusus untuk pegawai di sektor industri padat karya. Ketentuan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 10 Tahun 2025 (PMK 10/2025).
Insentif ini diharapkan menjadi angin segar bagi sektor seperti tekstil, alas kaki, furnitur, dan sejenisnya—di mana banyak tenaga kerja digunakan dan pendapatan pekerja rentan tergerus biaya hidup.
Apa Itu PPh Pasal 21 DTP & Siapa yang Mendapatkan?
Secara umum, PPh Pasal 21 adalah pajak atas penghasilan yang diterima pegawai, dan biasanya akan dipotong oleh pemberi kerja. Namun, dalam skema DTP, beban pajak itu ditanggung oleh pemerintah, bukan pegawai. Dengan demikian:
- Pegawai akan menerima penghasilan bersih tanpa dipotong PPh Pasal 21 (selama memenuhi syarat).
- Pemberi kerja tetap wajib membuat bukti pemotongan dan melaporkan pemanfaatannya.
- Insentif ini hanya berlaku untuk masa pajak 2025.
Dalam PMK 10/2025 juga disebutkan bahwa jika insentif ini ternyata melebihi potongan PPh Pasal 21 tahunan, selisihnya tidak dikembalikan ataupun dikompensasikan. Hal ini penting untuk diperhatikan agar tidak berharap insentif “kelebihan.”
✅ Kriteria Penerima Insentif
Agar pekerja dan pemberi kerja bisa memanfaatkan fasilitas ini, keduanya harus memenuhi kriteria berikut:
- Kriteria Pemberi Kerja : Harus melakukan usaha di salah satu bidang industri padat karya, seperti: alas kaki, tekstil, furnitur, serta kulit dan barang dari kulit. Mempunyai Klasifikasi Lapangan Usaha (KLU) sesuai lampiran PMK 10/2025. Terdaftar di basis data administrasi perpajakan DJP.
- Kriteria Pegawai : Pegawai tetap ataupun tidak tetap. Harus memiliki NPWP atau NIK yang sudah terintegrasi ke sistem DJP. Penghasilan bruto tetap atau teratur tidak boleh melebihi batas tertentu (misalnya Rp10.000.000 per bulan) jika pegawai tetap, atau rata-rata dalam satuan harian jika pegawai tidak tetap.
Kedua kriteria ini “kumulatif”—artinya, kalau salah satu tidak terpenuhi, insentif tidak bisa didapat.
📆 Waktu, Pelaporan, dan Ketentuan Teknis
- Insentif berlaku untuk masa pajak Januari–Desember 2025.
- Pemberi kerja wajib menyetorkan PPh Pasal 21 DTP secara tunai, bersamaan dengan pembayaran penghasilan pegawai.
- Meskipun pajak ditanggung pemerintah, bukti pemotongan tetap dibuat oleh pemberi kerja.
- Pelaporan insentif dilakukan melalui SPT Masa PPh Pasal 21/26 setiap bulan.
- Pembetulan atau pelaporan insentif yang dilakukan setelah batas waktu (31 Januari 2026 untuk laporan 2025) tidak diterima sebagai pemanfaatan insentif, dan wajib menyetor PPh Pasal 21 biasa tanpa insentif.
🛡️ Manfaat & Pertimbangan
Manfaat utama:
- Pegawai lebih terbantu karena penghasilan bersih tidak dikurangi potongan pajak.
- Daya beli tetap terjaga, yang juga menopang aktivitas ekonomi di sektor padat karya.
- Insentif terfokus pada industri padat karya yang memerlukan dorongan substansial.
Pertimbangan & catatan:
- Jika pegawai mendapatkan pendapatan di atas batas, insentif bisa hilang untuk bulan-bulan berikutnya.
- Meski insentif, pihak pemberi kerja tetap harus melaporkan dan membuat bukti pemotongan agar legalitasnya tidak bermasalah.
- Insentif terlalu besar dibanding tarif pajak tahunan bisa menyebabkan distorsi, jadi pemerintah mengatur agar kelebihan tidak dikembalikan.
📚 Dasar Hukum & Landasan
- UU PPh & UU HPP – mengatur kewajiban pemotongan dan ketentuan perpajakan nasional.
- PMK 10/2025 – khusus mengatur PPh Pasal 21 DTP sebagai stimulus industri padat karya.
- Aturan teknis pelaporan & integrasi ke sistem pajak – bagian dari transformasi sistem perpajakan digital DJP (Coretax) yang memastikan transparansi dan kepatuhan.
🔍 Contoh Kasus Singkat
Bayangkan Ibu Sari bekerja di pabrik tekstil. Gaji bulanannya Rp9 juta — di bawah batas maksimal. Pabrik tersebut termasuk KLU industri padat karya dan terdaftar di DJP. Dengan PMK 10/2025:
- PPh Pasal 21 yang seharusnya dipotong dari gaji Ibu Sari ditanggung pemerintah.
- Ibu Sari menerima seluruh gaji Rp9 juta bersih, tanpa pengurangan pajak.
- Perusahaan tetap membuat bukti pemotongan dan melaporkannya ke DJP sebagai insentif.
Ini menjadi “angin segar” di tengah biaya hidup yang terus meningkat.


