Sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP), kewajiban utamanya bukan hanya sekadar menerbitkan faktur pajak setiap kali ada transaksi, tapi juga melaporkannya dalam SPT Masa PPN. Faktur pajak ibarat “nota resmi” dari transaksi, sedangkan SPT Masa PPN adalah “laporan bulanan” ke Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
Namun kenyataannya, masih ada PKP yang rajin menerbitkan faktur, tapi lupa, lalai, atau bahkan sengaja tidak melaporkannya dalam SPT PPN. Sekilas mungkin terasa aman-aman saja, tetapi sebenarnya ini adalah salah satu hal paling rawan yang bisa memicu “surat cinta” dari DJP alias SP2DK (Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan).
Kenapa Hal Ini Berbahaya?
Setiap faktur pajak yang diterbitkan oleh PKP otomatis terekam dalam sistem DJP. Apalagi sejak adanya e-Faktur dan kini sistem sudah terintegrasi dengan Coretax, data faktur tidak bisa lagi “hilang” begitu saja.
Artinya, jika PKP menerbitkan faktur tapi tidak melaporkannya dalam SPT Masa PPN, DJP langsung bisa melihat ada data yang “nyangkut”. Di mata DJP, hal ini dianggap sebagai ketidaksesuaian (mismatch).
Risiko yang Mengintai PKP
1. Diterbitkan SP2DK
Risiko pertama dan paling sering terjadi adalah PKP akan menerima SP2DK. Surat ini bukan vonis bersalah, tetapi sebuah permintaan klarifikasi. DJP akan menanyakan:
- Kenapa faktur sudah diterbitkan tapi tidak masuk ke SPT?
- Apakah ada kesalahan teknis, misalnya salah input, atau memang sengaja tidak dilaporkan?
- Bagaimana PKP menjelaskan selisih tersebut?
SP2DK biasanya memberi waktu sekitar 14 hari kepada PKP untuk merespon.
2. Jika Tidak Merespon SP2DK → Pemeriksaan Pajak
Apabila PKP tidak menanggapi SP2DK, DJP akan menganggap ada indikasi ketidakpatuhan yang lebih serius. Langkah selanjutnya adalah pemeriksaan pajak.
Pemeriksaan ini sifatnya resmi dan lebih ketat. Tim pemeriksa akan menggali bukti transaksi, rekening koran, pembukuan, dan semua data keuangan. Jika terbukti lalai atau sengaja tidak melaporkan, konsekuensinya bisa berat:
- PPN terutang tetap harus dibayar.
- Ditambah sanksi bunga atau denda.
- Jika dianggap sengaja menghindar, bisa masuk ke ranah pidana pajak.
3. Denda Administrasi
Dalam kasus faktur tidak dilaporkan, PKP bisa terkena denda berupa sanksi administrasi bunga sesuai ketentuan Pasal 13 ayat (2) UU KUP. Saat ini, bunga dihitung berdasarkan suku bunga acuan + uplift factor tertentu.
Selain itu, jika faktur sudah terbit tetapi tidak dilaporkan dan mengurangi penerimaan negara, PKP tetap wajib membayar kekurangan PPN beserta denda.
4. Rusaknya Kredibilitas PKP di Mata DJP
Ingat, DJP menyimpan jejak digital setiap PKP. Sekali saja ada “bendera merah” karena faktur tidak dilaporkan, PKP bisa masuk radar pengawasan yang lebih ketat. Dampaknya:
- PKP lebih sering jadi target SP2DK.
- Potensi diperiksa lebih besar.
- Sulit mengajukan restitusi (permohonan pengembalian pajak) karena dianggap tidak patuh.
Kenapa Banyak PKP Tidak Melaporkan Faktur?
Ada beberapa alasan yang sering terjadi:
- Lupa atau lalai. Saking sibuknya urusan bisnis, pelaporan pajak sering terlewat.
- Kurang paham aturan. Ada yang mengira cukup menerbitkan faktur tanpa perlu melaporkan.
- Sengaja menunda. Beberapa PKP mencoba menunda bayar PPN karena alasan cash flow.
- Kesalahan teknis. Misalnya gagal unggah di e-Faktur, error sistem, atau belum update aplikasi.
Apapun alasannya, risikonya tetap sama: berhadapan dengan DJP.
Bagaimana Cara Menghindari Masalah Ini?
- Disiplin Melaporkan SPT Masa PPN
Ingat, faktur yang sudah terbit harus masuk SPT pada masa pajak yang sama. Jangan menunda atau menganggap sepele. - Gunakan Sistem yang Terintegrasi
Jika usaha Anda sudah besar, sebaiknya gunakan software akuntansi yang terhubung dengan e-Faktur. Dengan begitu, setiap faktur otomatis masuk ke laporan. - Cek Rekonsiliasi Data
Sebelum lapor, lakukan pengecekan antara faktur keluaran dan faktur yang masuk SPT. Jika ada selisih, segera betulkan. - Segera Lakukan Pembetulan SPT
Kalau terlanjur ada faktur yang tidak dilaporkan, lebih baik Anda inisiatif melakukan pembetulan SPT daripada menunggu DJP mengirim SP2DK. - Bangun Komunikasi Baik dengan AR
Setiap PKP punya Account Representative (AR) di KPP. Jangan ragu berkonsultasi jika ada kendala teknis atau kebingungan. AR justru bisa membantu sebelum masalah menjadi besar.
Ilustrasi Kasus
Misalnya, PT XYZ (PKP) pada bulan Juni 2025 menerbitkan 10 faktur dengan nilai PPN Rp120 juta. Namun, saat lapor SPT Masa PPN Juni, yang dilaporkan hanya Rp80 juta.
Sistem DJP otomatis mendeteksi ada selisih Rp40 juta. Bulan berikutnya, PT XYZ mendapat SP2DK yang menanyakan selisih tersebut. Jika PT XYZ langsung merespon dan membetulkan SPT, masalah selesai dengan membayar kekurangan pajak + sanksi bunga ringan.
Tapi jika PT XYZ diam saja, DJP bisa lanjut ke pemeriksaan. Konsekuensinya bisa lebih berat, bahkan bisa dianggap melakukan penghindaran pajak.
Penutup
Menerbitkan faktur pajak tapi tidak melaporkannya dalam SPT PPN bukanlah hal sepele. Risikonya nyata: mulai dari SP2DK, pemeriksaan pajak, sanksi administrasi, hingga rusaknya kredibilitas PKP di mata DJP.
Solusinya sederhana: disiplin melapor, rekonsiliasi data, segera lakukan pembetulan jika ada kesalahan, dan jangan sungkan berkonsultasi dengan AR.
Ingat, faktur pajak adalah “nota resmi” transaksi, sementara SPT Masa PPN adalah “laporan resminya”. Keduanya tidak bisa dipisahkan. Kalau hanya menerbitkan faktur tanpa melapor, sama saja menyalakan alarm bagi DJP.
Jadi, jangan tunggu “surat cinta” SP2DK datang. Lebih baik patuh sejak awal, supaya bisnis tenang dan Anda bisa fokus pada pengembangan usaha, bukan berurusan dengan pemeriksaan pajak.