Setiap pelaku usaha pasti memiliki aset yang digunakan untuk menunjang kegiatan bisnisnya. Ada kendaraan operasional, mesin produksi, komputer, hingga bangunan pabrik. Semua aset ini dalam perpajakan dikenal sebagai harta berwujud.
Namun, seiring waktu, nilai aset tersebut tentu akan berkurang karena pemakaian. Nah, di sinilah muncul istilah penyusutan. Dalam perpajakan, penyusutan bukan sekadar konsep akuntansi, melainkan juga instrumen penting untuk menentukan biaya fiskal yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto.
Jika salah perlakuan, bukan hanya laporan keuangan jadi kacau, tapi juga risiko pajak bisa meningkat. Oleh karena itu, memahami aturan penyusutan harta berwujud adalah kunci bagi wajib pajak agar tetap patuh sekaligus efisien.
Dasar Hukum Penyusutan Harta Berwujud
Beberapa regulasi utama yang menjadi landasan:
- Pasal 11 UU PPh (UU Nomor 36 Tahun 2008) → mengatur masa manfaat, metode, dan aturan umum penyusutan.
- PMK-96/PMK.03/2009 → mengatur pengelompokan harta berwujud bukan bangunan.
- PER-20/PJ/2014 → tentang tata cara permohonan penetapan masa manfaat sesungguhnya.
- PER-10/PJ/2014 → tentang tata cara permohonan penetapan saat mulainya penyusutan.
Dengan aturan ini, wajib pajak memiliki kepastian hukum dalam menghitung biaya penyusutan secara fiskal.
Jenis Harta Berwujud yang Bisa dan Tidak Bisa Disusutkan
Harta yang Tidak Bisa Disusutkan
- Tanah hak milik, HGB, HGU, hak pakai → pada dasarnya tidak bisa disusutkan, kecuali tanah digunakan untuk menghasilkan penghasilan dan nilainya berkurang karena pemakaian (misalnya tanah untuk tambang atau bahan bangunan).
Harta yang Bisa Disusutkan
- Semua aset berwujud yang digunakan untuk memperoleh penghasilan dan memiliki masa manfaat lebih dari 1 tahun, seperti: mesin, kendaraan, komputer, peralatan, serta bangunan (permanen maupun tidak permanen).
Kelompok Harta Berwujud dan Masa Manfaat
Aset dibagi ke dalam kelompok masa manfaat tertentu:
Kelompok | Masa Manfaat | Tarif Garis Lurus | Tarif Saldo Menurun | Contoh Aset |
---|---|---|---|---|
1 | 4 tahun | 25% | 50% | Laptop, komputer, printer |
2 | 8 tahun | 12,5% | 25% | Kendaraan, mesin ringan |
3 | 16 tahun | 6,25% | 12,5% | Mesin berat, kapal tertentu |
4 | 20 tahun | 5% | 10% | Gedung pabrik khusus, instalasi besar |
Bangunan tidak permanen | 10 tahun | 10% | – | Gudang sederhana |
Bangunan permanen | 20 tahun | 5% | – | Gedung kantor, ruko, pabrik permanen |
Metode Penyusutan
Wajib pajak dapat memilih salah satu metode berikut (dan harus konsisten):
- Metode Garis Lurus (Straight Line) → biaya penyusutan sama besar tiap tahun.
- Metode Saldo Menurun (Declining Balance) → beban penyusutan lebih besar di awal, semakin kecil di tahun berikutnya.
Saat Dimulainya Penyusutan
- Umumnya → dimulai pada bulan pengeluaran, atau jika masih dalam pembangunan, saat aset selesai dan siap digunakan.
- Dengan izin DJP (PER-10/PJ/2014) → bisa dimulai pada bulan aset benar-benar digunakan atau mulai menghasilkan.
Permohonan Masa Manfaat Sesungguhnya
Jika aset tidak tercantum dalam PMK-96/2009, maka:
- Secara default masuk Kelompok 3 (16 tahun).
- Tapi wajib pajak bisa mengajukan permohonan ke DJP untuk menetapkan masa manfaat yang lebih sesuai dengan kondisi sebenarnya, dengan melampirkan bukti teknis dan penilaian dari pihak independen.
Contoh Kasus Penyusutan
Misalnya sebuah perusahaan membeli mesin produksi senilai Rp800 juta pada Januari 2024. Mesin ini masuk Kelompok 2 (8 tahun) dengan metode garis lurus.
- Biaya penyusutan tahunan = Rp800 juta ÷ 8 = Rp100 juta.
- Setiap tahun, Rp100 juta dicatat sebagai beban penyusutan fiskal hingga 8 tahun.
Jika pakai metode saldo menurun 25%, maka tahun pertama penyusutan = 25% × Rp800 juta = Rp200 juta, tahun berikutnya dihitung dari nilai sisa buku.
Kenapa Penyusutan Penting untuk Pajak?
- Mengurangi Penghasilan Kena Pajak → beban penyusutan adalah biaya fiskal yang bisa mengurangi laba kena pajak.
- Menggambarkan nilai aset secara realistis → aset yang sudah lama digunakan nilainya tidak sama dengan aset baru.
- Kepatuhan Pajak → salah hitung penyusutan bisa memicu koreksi fiskus saat pemeriksaan.
Kesalahan Umum Wajib Pajak
- Menyusutkan tanah padahal seharusnya tidak boleh.
- Tidak konsisten dalam metode penyusutan.
- Tidak mencatat penyusutan sejak bulan aset digunakan.
- Tidak mengajukan permohonan masa manfaat sesungguhnya padahal aset memiliki karakteristik berbeda.
Penutup
Penyusutan harta berwujud bukan hanya urusan akuntansi, tapi juga bagian penting dalam kepatuhan pajak. Dengan memahami dasar hukum, pengelompokan, metode, hingga prosedur permohonan khusus, wajib pajak bisa lebih tenang dalam menyusun laporan keuangan sekaligus lebih efisien dalam membayar pajak.
Ingat, salah hitung penyusutan bisa berakibat fatal: bukan hanya rugi di laporan keuangan, tapi juga bisa menimbulkan sengketa pajak. Jadi, yuk pahami aturan penyusutan dengan benar, agar bisnis tetap sehat dan pajak tetap aman.